...July 15, 2080...
...Jakarta, Indonesia...
.........
"Kita harus putar arah," gumam Josh yang lebih terdengar seperti hembusan angin sepoi-sepoi di musim semi.
Puja mengernyitkan dahi, merasa salah dengar dengan apa yang barusan Josh ucapkan. Ia melangkah lebih panjang, matanya menatap jalanan yang dipenuhi bangkai bangunan-bangunan pencakar langit.
"Kita akan kembali ke tempat semula," ucap Josh lagi, kali ini dibarengi dengan tatapan tajam dan langkah yang berhenti secara mendadak.
Langit kian gelap, angin mulai menerbangkan benda-benda kecil yang berserakan dan membuat rambut mereka terbang-terbang. Puja ikut terhenti, dipandanginya pemuda itu dengan tekun. Begitu tak pahamnya ia dengan Josh sampai dadanya merasa bergejolak menahan kesal. "Apa maksudmu?"
"Kau bilang soal seseorang yang mendekat ke arah kita. Kalau benar itu adalah Freya, kita harus kembali padanya."
Ucapan Josh kali ini terdengar sangat menyebalkan bagi Puja. Mereka sudah berjalan kaki hingga sejauh ini, melewati berbagai macam rintangan, dan sekarang Josh berkata kalau mereka harus kembali? Apa ada hal yang lebih gila lagi daripada ini?
"Josh, apa kau sudah tidak waras?"
"Tidak ada waktu untuk berdebat, Puja. Kita harus bergerak."
"Bagaimana kalau orang itu bukan Freya?"
Josh menaikkan sebelah alisnya, merasa bahwa pertanyaan itu jauh lebih ringan dari dugaannya. "Bukankah itu yang kau harapkan? Kau akan lebih aman bertemu dengan orang asing daripada bertemu lagi dengan Freya."
Pelan, Puja mendengus. "Kau benar. Tapi bukan berarti aku mau kembali lagi ke sana."
"Kita harus kembali."
Final, Josh berjalan begitu cepat ke arah selatan, bergerak ke tempat terakhir kali mereka berpisah dengan Freya. Ia bahkan menggandakan kecepatannya, melebihi gerakan sebelumnya. Dan Puja masih diam di tempat semula. Menatap punggung Josh yang kian menjauh, meratapinya dengan segala sumpah serapah atas kebodohannya sendiri. Kalau tahu akhirnya akan seperti ini, Puja tidak perlu repot-repot mengadu pada Josh tentang apa yang didengarnya.
Merasa kalau Puja tak mengikutinya, Josh menoleh ke belakang. "Kau akan tetap di sana?"
Puja tidak cepat membalas. Ia sebenarnya bosan memperdebatkan hal-hal yang berkaitan dengan Freya. Tapi kali ini Josh cukup keterlaluan.
Josh berlari ke arahnya dan menarik tangannya dengan cengkeraman yang kuat. "Kita harus secepatnya menemukan orang lain sebelum hujan datang."
Kakinya terseret-seret, Puja begitu marah karena Josh mulai lupa dengan janjinya sendiri. "Apakah semua tentang Freya selalu membuatmu seantusias ini? Jika iya, untuk apa tempo hari kau mendukungku? Apakah——"
Sebuah kilatan cahaya di langit membuat suara Puja terhenti. Sepersekian detik setelahnya, suara petir terdengar bergemuruh. Jdrrr! Suara itu spontan membuat Josh melindungi Puja dengan merangkul bahunya.
Jarum-jarum air mulai turun dari langit dan merembas di atas kepala. Mereka pun merunduk, merendahkan tubuh dan bergerak mencari tempat berlindung.
Keduanya berjalan cepat menuju sebuah bangunan yang bagian atapnya masih utuh. Bangunan itu berwarna abu-abu tua dengan kombinasi warna putih yang sudah menguning dan kotor. Di atasnya ada lampu kecil-kecil yang membentuk sebuah tulisan "Beauty Clinic Natalie". Tanpa berpikir panjang, Josh menggiring Puja untuk masuk ke dalam bangunan itu.
Hujan mulai deras kala mereka berhasil membuka pintu dan melangkah masuk. Isinya cukup berantakkan. Alat-alat perawatan kecantikan berserakan di mana-mana. Barang-barang seperti kursi, majalah, bahkan televisi pun berada di lantai dalam keadaan pecah.
Josh mengambil senter untuk penerangan, mengamati bangunan satu lantai itu dan menilik apakah komposisi bangunannya masih layak dihuni atau tidak. Setelah melihat-lihat sebentar, Josh menemukan banyak kaca yang pecah dan hanya tinggal separuh. Untuk menghindari air hujan dan angin masuk ke dalam ruangan, Josh meminta Puja untuk mencari beda yang bisa menutupnya.
"Untuk sementara, kita bisa berlindung di sini. Tapi coba kau cari sesuatu untuk menutupi bagian-bagian yang terbuka," titah Josh pada Puja yang masih sedikit syok karena hujan dan petir yang datang begitu tiba-tiba. Josh meletakan ranselnya di atas meja rias dan bergegas mencari sesuatu.
Tanpa membalas, Puja berjalan ke sisi lain untuk menemukan benda yang dimaksud. Ia bergerak di sisi kiri, sedangkan Josh ke sisi kanan.
Bangunan itu ternyata cukup luas dan terbagi lagi menjadi beberapa ruangan dengan sekat-sekat tembok setinggi dada orang dewasa. Josh melihat ada lemari kayu yang berada di sudut ruangan creambath. Ia mendekati lemari itu dan mendorongnya ke arah jendela yang pecah. Satu celah sudah tertutup, kini Josh memiliki tiga celah lagi yang harus ditutup sebelum air masuk ke dalam ruangan.
Puja menemukan gorden, ia memberikan dua helai gorden itu kepada Josh dan mencari benda lain.
Tidak ada paku, Josh menggunakan jepitan rambut yang terbuat dari besi untuk mengaitkannya ke jendela. Ia menggabungkan dua helai gorden itu untuk satu jendela karena sehelai saja masih terlalu tipis.
Sesaat setelahnya, Puja kembali lagi, kali ini ia tidak membawa apa pun. Tapi, bukan berarti ia tak menemukan sesuatu. "Josh, pintu kamar mandi di sana lepas, mungkin kau bisa membawanya ke sini untuk menutupi bagian lain."
Oh, itu kabar bagus. Josh cepat bergerak ke arah yang dimaksud dan mengangkat pintu kayu itu dengan perlahan. Ia memosisikan kayunya secara vertikal agar tidak kesulitan ketika melewati sekat di ruangan itu.
Josh meletakan pintu itu di jendela depan, lalu mengganjalnya dengan sebuah kursi kayu agar tidak jatuh. Kini tersisa satu jendela yang masih terbuka di kaca bagian bawahnya. Josh mengambil sebuah meja memanjang dan mengaturnya agar berdiri menutupi bagian yang rusak.
Di atas meja rias, Puja terduduk sembari memangku kedua tangannya di atas paha. Ia melihat Josh yang terengah dan berkeringat. "Minumlah, kau terlalu tergesa-gesa," katanya.
Di luar sana, hujan turun begitu deras. Angin bertiup kencang, petir bergantian menyambar, seperti berada di atas kepala mereka. Suhu berubah menjadi begitu dingin.
Setelah menghabiskan separuh botol air mineralnya, Josh duduk di lantai, menghadap ke arah jendela yang utuh dan menonton milyaran kubik air yang jatuh ke Bumi.
"Apakah kau masih bisa mendengar seseorang yang bergerak ke arah kita saat hujan?" tanya Josh sekonyong-konyong. Ia menatap gadis di seberangnya, melihat apakah ada gerakan mata yang penuh muslihat atau tidak.
"Jika itu bisa membuat kita berdebat, aku tidak mau membahas hal itu lagi," jawabnya, di luar dugaan.
"Jika memang benar itu adalah kemampuanmu, aku akan sangat menghargainya. Jadi, kau tidak perlu menutupinya dariku."
"Ya, dia semakin dekat. Dan sekarang aku yakin, dia tak sendirian."
...*...
Badai siklon bergerak cepat mengelilingi suatu pusat, yang sumbernya berada di daerah tropis, salah satunya yang terjadi hari ini di Jakarta, Indonesia. Angin yang berputar menyebabkan tekanan udara yang sangat rendah, juga memiliki kecepatan mencapai 250 km/jam, atau bahkan lebih dari itu. Pusat badai ini terjadi di Samudera Hindia, yang tertiup oleh angin timur menuju laut-laut yang ada di Indonesia.
"Ini terjadi lebih cepat dari perkiraanmu, Benz," celetuk Genta yang kini tengah mengemudi di tengah hujan lebat. Angin terus berhembus kencang. Membuat Genta harus mengendarai mini bus itu dengan kecepatan rendah.
Kini Nam sudah resmi bergabung bersama mereka. Ia diterima dengan cukup baik. Dan Gara memutuskan untuk cepat bergerak dengan menggunakan satu kendaraan saja. Mobil Pajero miliknya ditinggalkan di area zona merah itu.
Benz duduk di samping Genta. Sementara di belakangnya ada Nam, lalu di seberangnya ada Eartha yang duduk bersama Matt. Sedangkan Freya memilih untuk duduk di kursi ketiga dari belakang, berseberangan dengan Gara yang berada di sudut kanan kursi paling belakang. Mini bus itu memiliki kapasitas 10 penumpang, yang terbagi menjadi lima baris ke belakang.
"Perhitungan manusia memang tidak pernah 100% akurat, Ta. Tapi aku masih bersyukur, kita bisa pergi tepat waktu," balasnya sembari menatap jalanan.
"Benz benar. Dia tetap berguna di saat-saat seperti ini. Jadi, berhentilah bersikap seolah dia salah memperhitungkan sesuatu," sahut Eartha. "Dia bahkan lebih baik darimu," imbuhnya sarkas.
Genta tertawa kecil. "Wow, kenapa jadi kau yang tersinggung?"
"Aku tidak tersinggung, aku hanya berusaha mengatakan sebuah kenyataan."
"Sudahlah, kalian tak ada hentinya berdebat," lerai Benz, merasa kalau perdebatan sepasang musuh itu tidak tepat dalam situasi seperti ini.
Freya asik dengan lamunannya. Ia menatap ke arah jendela, melihat setiap air yang mengalir pada kaca dan mengernyit sedikit kala suara petir bergemuruh di atas mereka.
Jelas, sesuatu menganggu pikirannya. Ia merasa telah sepenuhnya terdistraksi oleh apa yang dilakukan Gara terhadapnya. Kini semua hal tentang kotak musik, masa lalu, peristiwa-peristiwa mengerikan, dan wajah Sagara Danuja telah memenuhi otaknya.
Ia meraba ransel dalam pangkuannya, merasakan kotak musik itu berada di kantung teratas dan bermaksud untuk mengeluarkannya. Tapi, belum sempat melakukan hal itu, Gara berucap pelan di belakangnya. "Jika kau berniat untuk membuang atau menggembalikan benda itu padaku, kau akan menyesal. Karena aku tahu, benda itu sangat berharga bagimu."
Melalui sudut matanya, Freya bisa melihat kalau saat ini Gara tengah duduk berjegang di kursi paling belakang sembari menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Ia tidak peduli apakah yang disuntikan itu sejenis psikotropika atau bukan, yang jelas, Freya benar-benar terganggu dengan kalimatnya. Ia merasa kalau Gara sudah lancang menebak-nebak sesuatu yang ada dalam pikirannya. Tapi sialnya, tebakan Gara sepenuhnya benar.
"Oh, jadi kau merasa kalau kau bisa membaca pikiranku, huh?" balas Freya dengan suara yang cukup pelan. Ia yakin, orang-orang yang berada di depan tak akan mendengar mereka karena suaranya teredam oleh hujan. "Jangan bersikap seolah kau adalah Dewa. Bagiku, kau tak lebih dari seorang pecandu dengan aroma oli dan besi berkarat yang melekat di tubuhmu."
Usai memasukan kembali jarum suntiknya ke dalam ransel, Gara sempat menaikkan ujung bibirnya. "Menurutmu, apakah aku hanya tahu siapa ibumu?"
Kedua bola mata Freya membulat seketika. Tapi kemudian, ia memicing dan sedikit mengubah posisi duduknya agar bisa menatap pemuda itu dengan sorot penuh kebencian.
"Freya, I can't tell how much I know who you're, but probably the answers will show you."
Sesuatu seperti berdesir dalam darah Freya, matanya menunjukkan bahwa kalimat itu begitu menganggu. Ia mencengkeram kedua lengannya sendiri, membuat buku-buku tangannya memutih.
Freya belum sempat membalas kalimat itu, saat tahu-tahu Genta mengerem secara mendadak. Ngikkkk! Suara decitan itu begitu keras, bersamaan dengan tubuh mereka yang terdorong ke depan, kemudian terhempas kembali ke belakang.
Di depan, rekan-rekannya ribut.
"Genta! Kau gila, ya?!" Eartha adalah orang pertama yang selalu mengomeli Genta. Ia bahkan berdiri dan memukul punggung kursi yang duduki oleh pemuda itu.
Genta menoleh. "Astaga, aku tidak tahu kalau ada rusa yang mau menyeberang, jadi aku spontan menginjak rem," balasnya mencoba membela diri.
Seekor rusa yang dimaksud oleh Genta kini berlari ke arah barat. Hewan itu berteduh di sebuah ruko bersama beberapa ekor zebra.
"Masih beruntung kau tak menabraknya," celetuk Nam yang sudah mulai berani mengisi percakapan di antara mereka. "Mereka juga berhak hidup."
"Kau dengar itu, Earth?" Genta sekarang merasa bahwa dirinya ada yang mendukung. Biasanya Matt yang melakukan hal itu, tapi sekarang dia menjadi lebih banyak diam dan asik membongkar-pasang gundamnya.
Eartha tak menyahut lagi. Ia duduk dengan kedua tangan menyilang di depan dada dan kembali diam.
Genta kembali menginjak pedal gas. Ia mengemudi dengan kecepatan rendah. Mini bus yang mereka tumpangi mulai terasa berat oleh angin yang terus berhembus kencang. Pepohonan berayun ke kanan dan ke kiri. Barang-barang yang awalnya berserakan di jalanan, kini mulai tersapu dan terbang ke timur. Genta mulai kesulitan dalam mengendalikan mini bus itu.
"Hei, lihat!" Benz spontan terpekik ketika menemukan angin yang berputar-putar dan berpusat di ujung barat mereka. Angin itu melingkar, membentuk seperti pusaran yang menghisap benda-benda di sekitarnya.
Kilat-kilat petir terus bersahutan, hujan semakin besar dan tak terkendali. Mini bus yang mereka tumpangi mulai terdorong ke arah timur, sedikit demi sedikit. Dan beberapa pohon sudah tercabut dari akarnya, masuk ke dalam pusaran angin yang jaraknya sekitar 100 meter dari mereka.
Gara berjalan ke depan dan menyuruh Benz untuk pindah. Ia kini duduk di samping Genta dan mencoba memberinya saran terbaik. "Injak pedal gasnya, perlahan. Kita bergerak ke utara. Pelan dan tetap lurus."
"Ga, sepertinya aku tidak bisa," balas Genta yang tampak kesulitan karena angin mencoba menghentikan laju mobilnya.
Dari belakang, Freya mulai mendekatkan diri pada rekan-rekannya. Ia berdiri di antara kursi Nam dan Eartha, kemudian menepuk pundak keduanya. "Berpeganglah erat-erat dan tetap tenang. Percayalah, ini jauh lebih baik daripada saat terjadi turbulensi di pesawat terbang."
"Itu sangat membantu, Freya," ucap Gara penuh sarkastis. "Tidak ada yang lebih baik. Ini sama-sama mengerikan. Jadi, tetaplah waspada. Berdirilah dan pegang besi-besi di atas kalian, pastikan kepala kalian tidak terbentur."
Benz, Nam, Eartha, dan Matt melakukan perintah Gara tanpa komentar. Sementara Freya menatap pemuda itu dan memegangi kursi di kedua disisinya.
"Ga, kita harus melakukan sesuatu!" teriak Genta panik kala melihat angin ****** beliung itu semakin mendekat ke arah mereka.
Gara diam sejenak, memikirkan sebuah rencana yang aman dan cepat. Lalu ia bergerak ke belakang, seperti mengambil sesuatu dari ranselnya dan berteriak, "Aku akan turun!"
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments