...July 14, 2080...
...Jakarta, Indonesia...
.........
Mereka berdua tidak tahu, betapa menyedihkannya mereka di mata Freya.
Dengan senjata busur panah dan sebuah pistol model lawas, bagi Freya, dua pemuda itu tak lebih dari sepasang anak nakal yang sedang mengejar layangannya yang putus.
"Bawa dia hidup-hidup," kata si pemuda kedua, dengan suara bariton dan Bahasa Inggris yang cukup fasih. Kalimat itu sukses membuat Freya mendengus geli.
Si pemuda pertama menyeringai lagi, memamerkan deretan giginya yang kebetulan rapi dan bersih. "Kau yakin kalau dia bukan mutan?" tanyanya, membuat Freya menaikkan sebelah alis. Lalu pemuda itu kembali berkata, "Lihat, mata dan kulitnya berkilau. Apakah tidak sebaiknya kita cek lebih dulu?"
Tidak ada jawaban dari pemuda kedua. Dia diam. Tapi mata cokelatnya mengamati dengan begitu intens, seperti sedang menelanjangi objeknya.
Freya balas menatap kedua bola mata pemuda itu. Sepasang mata yang begitu jernih dan tajam. Seperti batu permata Fire Opal yang pernah ia lihat di Mexico. Tapi, Freya benci tatapan itu.
"Biarkan aku yang mengeceknya. Akan kulihat apakah ada ekor di bokongnya atau tidak," tambah si pemuda pertama.
Spontan, Freya melotot. "Diam atau akan kubuat kau tidak bisa bicara selamanya?"
"Wow, aku suka bule galak," balas pemuda itu dengan senyum tengil.
Freya benci melihat manusia konyol. Tangannya gatal ingin cepat-cepat menghabisi pemuda-pemuda itu agar tidak semakin membuang waktunya. "Jika kalian masih ingin bernapas, jangan menghalangi jalanku."
"Jalanmu? Apa kau mabuk?" Si pemuda pertama tertawa hambar. "Ini negaraku. Kau tak pantas menyebut tanah airku sebagai jalanmu. Harusnya kau malu. Kecuali kalau kau memang tak memiliki ********. Haha!"
"Jaga mulutmu!" tukas Freya kesal. "Bumi ini sudah hancur. Tidak ada hak milik atas siapa pun di Bumi ini."
"Ya, tapi, asal kau tahu, mobil yang ada di belakangmu itu milikku," sahut si pemuda kedua yang sebelumnya hanya diam.
Freya melirik mobil Pajero Sport itu dengan sudut matanya. "Aku tak melihat ada namamu di sana, jadi kau tak berhak mengakuinya," jawab Freya penuh percaya diri, meski pada dasarnya ia sadar kalau pakaian dan senjata yang ada di sana adalah milik mereka berdua. Sekarang ia tahu mengapa mobil itu memiliki bahan bakar penuh, serta memiliki gantungan kunci berbentuk busur panah.
"Kau bisa melihat sendiri platnya," ucap pemuda itu dengan suara dingin dan wajah angkuh.
Lagi, Freya melirik mobil itu. Ia menemukan nomor B 2509 SD tertera di sana, dengan tahun pajak yang sudah habis 7 tahun yang lalu.
Sebelum Freya sempat menimpali ucapan itu, si pemuda pertama yang lebih dulu berkata, "2509 adalah ulang tahunnya. Dan 'SD' adalah singkatan dari; Sagara Danuja. Itu namanya."
Sejujurnya, Freya tidak peduli apakah mobil itu benar miliknya atau bukan. Ia sungguh tak peduli. Satu-satunya alasan Freya mempertahankan mobil itu adalah karena ia tak ingin mengelilingi tempat asing ini dengan berjalan kaki semalaman. Mood-nya sudah cukup buruk hari ini. Ia tidak ingin memperburuknya lagi dengan rasa sakit di kakinya nanti.
Pelan, akhirnya Freya menurunkan Revolvernya. Ia menarik napas dan menatap kedua pemuda itu secara bergantian. "Aku harus bayar berapa untuk menumpang?"
Si pemuda pertama yang memiliki kulit sedikit lebih gelap itu ikut menurunkan pistolnya. Dia tersenyum kecil. "Satu ciuman di pipi kiriku sepertinya sudah cukup."
Mendengar itu, Freya kembali bergerak untuk menodongnya. Ia benar-benar ingin sekali membuat pemuda itu membungkam selamanya. "Kau——"
"Hei, santai, Nona. Aku hanya bercanda," cengirnya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Dia berjalan menghampiri Freya. Disusul pemuda kedua yang katanya bernama Sagara Danuja itu. Setelah jarak mereka cukup dekat, pemuda tengil itu kembali berucap, "Ada pepatah lama mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Jadi, kenalkan, aku Gentala Dierja. Panggil saja Genta. Dan ini temanku, Sagara Danuja. Kau bisa memanggilnya Gara."
Diam adalah satu-satunya hal yang bisa Freya lakukan saat ini. Ia hanya menatap keduanya tanpa selera dan memasukkan Revolvernya ke dalam saku.
"Maaf sudah membuatmu merasa terancam tad——"
"Aku sama sekali tidak merasa terancam," sambar Freya tangguh. "Itu seperti permainan anak kecil bagiku."
Genta menggeleng tak habis pikir. Gadis berseragam Angkatan Udara di hadapannya itu benar-benar jagoan. "Selain sifat angkuhmu, bolehkah aku tahu siapa namamu?"
"Akan kukatakan jika itu menjadi tiket tumpanganku."
"Cukup menarik." Genta menyentikkan jemarinya. "Cerdas, berani dan angkuh. Tipikal seorang gadis dengan inisial nama... R?"
Freya mendengus. Bermain tebak-tebakan tak pernah ia sukai. Tapi melihat pemuda itu malu karena salah menebak adalah hal yang ternyata bisa membuatnya merasa lebih percaya diri.
"Tidak. Aku hanya bercanda," ujarnya lagi. "Kau memiliki nama depan... F? Freya? Am I right?"
Holly sh——Freya ingin mengumpat. Bagaimana mungkin lelaki itu tahu namanya?
Dengan rahang mengeras, Freya mengambil Revolver dan kembali mengacungkannya tepat ke hadapan pemuda itu. "Jangan bermain-main denganku!"
Mengangkat kedua tangannya, Genta menyeringai lebar. Ia sangat suka melihat gadis itu kesal. "Ingat, Freya, sepandai-pandainya tupai melompat, ada tupai lain yang lebih pandai lagi," ledeknya, masih dengan seringai mengejek. "Lihat senjatamu. Harusnya kau tak lupa itu," imbuhnya.
Cepat, Freya menatap Revolvernya. Di bagian kanan senjatanya terukir sebuah sandi morse yang membentuk namanya.
Genta mendorong Revolver itu agar menjauh darinya dan berkata, "Benda itu sepertinya sangat berharga. Lebih baik kau menyimpannya dan bersiap untuk menempuh perjalanan bersama dua pemuda tampan ini."
...*...
Bangkai singa ditemukan tak jauh dari sebuah mini market, dekat kantor pengiriman barang. Sebuah anak panah menancap di tubuh singa itu. Baunya menyengat, menandakan kematiannya tak lebih dari tiga hari.
"Pasti ada orang yang masih hidup," ujar Josh sambil menutup hidungnya, sesaat sebelum masuk ke dalam mini market itu untuk mencari makanan.
Di belakangnya, Puja membalas, "Apakah tidak sebaiknya kau berikan aku senjata? Siapa pun yang kita temui, kita harus berjaga-jaga."
Tiba di dalam mini market itu, Josh berhenti sejenak di depan rak snack kentang. Ia menatap Puja lekat-lekat. "Apa yang biasa kau pegang?"
"Apa pun. Tapi aku lebih suka senapan angin," jawabnya cepat.
"Aku tak memiliki itu." Josh mengambil sebuah pistol jenis Dessert Eagle dan memberikannya pada gadis itu. "Hanya ini yang tersisa."
"Terima kasih."
"Gunakan itu baik-baik. Pemiliknya adalah seseorang yang sangat berharga bagiku."
Mendengar itu, Puja yang semula mengamati senjata barunya, kini mendongkak. Ia menemukan sepasang mata zamrud yang menyala. Wajah itu mengingatkannya pada pahatan patung Dewa Yunani, begitu mulus, tanpa cacat sedikitpun. "Siapa orang beruntung itu?" tanyanya, setelah sekian lama tenggelam dalam wajah rupawan itu.
Josh tak cepat membalas. Ia berjalan menyisir tempat itu, mencoba menemukan makanan yang masih layak konsumsi——meskipun nyatanya ia selalu memakan makanan yang tak layak. Akhirnya iaa mengambil beberapa kacang kaleng, cokelat stik, dan air mineral. "Namanya Samuel Hall. Dia adalah pria yang tangguh," jawabnya.
"Apakah dia ayahmu?"
"Secara biologis, bukan. Tapi Samuel sangat menyayangiku lebih dari dirinya sendiri."
Puja mendesah kecil. Ia mengambil sebuah kantung belanja berwarna cream dan memasukan dua botol parfum ke dalamnya. "Kau ternyata sangat sentimentil, ya."
Josh tahu, Puja berkata demikian karena gadis itu melihat matanya yang sedikit berkaca-kaca. Ada kesedihan dalam tatapannya. "Apakah laki-laki tidak boleh bersedih?" Josh melemparkan pertanyaan retoris. "Samuel adalah manusia paling berjasa dalam hidupku. Tanpanya, aku mungkin sudah mati."
Dengan gerakan lamban, Puja beralih pada rak sebelah. Ia mengambil gunting, rol rambut, dan beberapa bungkus pembalut. Setelah itu, ia membalas, "Kau salah. Yang membuatmu tetap hidup adalah dirimu sendiri. Kau tidak mati karena jalanmu memang masih panjang. Dewa memberikan kepercayaan agar umurmu panjang, kau tak boleh menyia-nyiakannya."
"Kau masih percaya Tuhan?" Josh berjalan menghampiri gadis itu. Perbekalan yang ia dapatkan sudah cukup untuk tiga atau empat hari ke depan. Ranselnya sudah penuh. Pundaknya bisa lecet jika ia menambah jumlah bekalnya lagi.
Mantap, Puja mengangguk. Ia menyentuh dadanya dan berkata, "Tuhan ada di sini. Dia tak akan pergi kemana pun sampai aku mati. Apa yang membuatmu berhenti mempercayai-Nya?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Josh hanya menatap Puja tanpa kedip. Seakan meyakinkan diri bahwa memutuskan untuk pergi bersama gadis itu tak akan menimbulkan banyak masalah. Terlebih karena Josh merasa telah berhutang budi pada Freya, tapi malah membiarkannya pergi sendirian.
Merasa kalau lawan bicaranya tak akan memberikan jawaban, Puja menghela napas panjang. Ia menyampirkan tas belanja itu di bahunya. "Sebaiknya kita memilih tempat untuk beristirahat. Baru besok pagi kita mencari kendaraan," ucapnya, sesaat kemudian berjalan keluar mini market dengan langkah lenggang.
Ketika Puja baru tiba di ambang pintu, Josh berkata, "Puja, kita memang memiliki tujuan dan cara masing-masing untuk mendapatkan apa pun yang kita inginkan. Kau boleh melakukan apa saja. Tapi, aku ingatkan, jangan sampai caramu merugikan orang lain. Sebab, cara yang buruk tak akan memberikan hasil yang baik."
Kalimat itu sukses membuat langkahnya terhenti. Puja memutar tubuhnya. "Jika yang kau maksud adalah jangan menyakiti Freya apa pun yang terjadi, maafkan aku, Josh. Aku tidak bisa berjanji padamu untuk itu," katanya sembari menyimpan pistol di balik punggungnya.
...*...
"Berhenti. Turunkan aku di sini."
Langit menggelap. Matahari perlahan pulang ke peraduannya. Angin berhembus semakin kencang. Hawa dingin mulai mencabik-cabik kulit. Suara jangkrik dan hewan-hewan nokturnal samar-samar terdengar.
Freya berkata kalau ia akan menumpang hingga menemukan tempat bermalam. Dan setelah menempuh perjalanan selama tiga jam, akhirnya Freya menemukan tempat yang cocok. Pilihannya jatuh ke sebuah bangunan cukup besar di sudut kota. Tempatnya tampak aman. Tembok dan atapnya utuh. Hanya saja, bagian depan bangunan itu sangat kotor dan mulai berlumut. Catnya berwarna kuning keemasan, meskipun kini sudah luntur dan memudar.
"Aku tak mengulangi perintahku," kata Freya yang duduk di kursi belakang.
Genta yang kini berada di balik kemudi meliriknya melalui spion. "Kau pikir aku tega meninggalkan seorang gadis bermalam sendirian di tengah kota mati?"
Sampai kapan pun, Freya tak akan pernah suka mendengar kalimat semacam itu. Ia berharap hanya Genta-lah manusia konyol yang masih hidup di Bumi ini. "Aku tak mudah mengingkari janji. Kesepakatan kita adalah memberikanku tumpangan sampai aku menemukan tempat bermalam. Jadi, biarkan aku keluar." Freya menatap keluar jendela. Ia memandangi rumah yang sudah tertinggal beberapa meter di belakangnya.
"Inilah gunanya berkomunikasi," kata Genta, sedikit di luar pembicaraan. "Sedari tadi, kau hanya diam, tak menjawab atau pun bertanya pada kami. Padahal, kami memiliki tempat yang jauh lebih layak daripada rumah yang kau pilih itu."
"Maksudmu?"
"Kami punya markas. Bukan hanya aku dan Gara yang tinggal di sana."
Freya membelalak. Namun pada akhirnya, ia memilih diam.
"Lima belas menit lagi kita sampai," kata Genta lagi. Sementara Gara lebih banyak diam selama perjalanan. Ia hanya menjawab pertanyaan Genta dengan satu-dua kalimat, setelah itu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sama seperti Freya, ia juga tak suka basa-basi. "Kalau kau mau camilan, ambil saja. Ada roti selai keju di sana. Orang barat suka makan keju, 'kan?"
Freya menutarkan kedua bola matanya. Lima belas menit akan menjadi perjalanan yang panjang saat ia harus mendengarkan segala ocehan pemuda itu.
"Aku bukan radio yang hanya bisa kau dengar. Berbincanglah denganku. Cukup Gara saja yang menyebalkan dan tidak seru," omelnya, juga menatap Gara yang masih bergeming.
"Untuk apa kau masih bertahan dengan orang menyebalkan?"
tanya Freya, masih menatap jalanan yang sudah tidak mulus lagi. "Tinggalkan saja orang yang membuatmu sengsara. Dengan begitu, hidupmu akan menjadi lebih ringan."
Melalui kaca spion, Freya tahu kalau Gara tengah menatapnya. Hanya sepasang mata Fire Opal itu yang berani memandanginya lebih dari sepuluh detik.
"Apakah itu juga yang kau lakukan pada teman-temanmu?" Gara balik bertanya. Sebenarnya Freya tidak menduga kalau pemuda itu yang akan bertanya demikian.
"Aku tak memiliki teman," balas Freya lugas.
Genta tertawa hambar. "Kau bukan tak memilikinya, tapi kau yang tak menganggap mereka sebagai teman." Sekarang Genta tahu, gadis macam apa yang tengah ia hadapi ini.
"Aku bisa melakukan apa pun sendirian," ucapnya penuh keangkuhan.
"Jika kau tak mencari teman, lalu sebenarnya apa tujuanmu datang kemari?"
"Kau tidak berhak menanyakan hal itu padaku."
"Egois tak akan membuatmu tetap hidup, Freya. Kau butuh orang lain. Manusia adalah makhluk sosial. Secerdas apa pun otak yang kau miliki, kau pasti membutuhkan seseorang untuk mencapai tujuanmu itu. Jadi, jangan bersikap seolah kau adalah yang paling kuat saat di hadapanku. Bahkan hanya satu kali dorongan, aku bisa membuatmu mendesah kesakitan."
Mata Freya membulat saat mendengar kalimat terakhir. Sebelah tangannya bergerak hendak mengambil Revolvernya, tapi kemudian, Genta paham apa yang akan ia lakukan.
"Kau yakin kalau kami tak memiliki apa yang kau cari?" Genta melirik Freya melalui sudut matanya. "Kau ingin menghabisi kami tanpa mendapatkan apa pun? Apakah kau yakin kalau sifat egoismu ini yang akan mengantarkanmu pada tujuanmu?" Pertanyaan itu diakhiri dengan suara decitan rem. Genta menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung kecil yang lampunya menyala. Satu-satunya bangunan yang bercahaya di tengah-tengah kota mati yang gelap gulita.
Melihat pemandangan itu, Freya urung mengeluarkan Revolvernya. Ia menatap lurus ke depan. Suara diesel terdengar samar-samar. Ada dua orang yang keluar dan segera membukakan pintu gerbang. Satu perempuan, dan satu lagi laki-laki.
Genta melajukan mobilnya melewati gerbang, hingga akhirnya benar-benar berhenti di halaman gedung itu. "Welcome home, Freya."
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments