07 | Earthquake

...July 15, 2080...

...Jakarta, Indonesia...

.........

Punggung kokoh pemuda itu menyita seluruh atensinya. Freya tak bisa berpandang ke arah lain, matanya terkunci. Dan setiap langkah yang mereka ambil, Freya meyakininya.

"Sudah berapa lama kalian tinggal di sini?" Itu adalah kalimat pertama yang ia lontarkan selama lima belas menit berjalan mengelilingi base camp. Freya menyenteri jalannya, berharap tak ada benda tajam yang ia injak karena bangunan itu rupanya dikelilingi oleh reruntuhan.

Gara menghisap rokoknya yang hampir habis, ia melirik Freya yang berada dua langkah di belakangnya. "Harusnya kau bertanya; siapa yang pertama kali tinggal di sini?"

Oh, wow, sekarang ada manusia yang berani berkata sarkastis padanya. Freya sedikit tersinggung. Ia tak pernah dikoreksi. Biasanya semua yang ia ucapkan mengandung sarkas, tapi kini justru sebaliknya. Jadi, Freya memilih bungkam, menyimpan kalimat umpatannya untuk momen yang lebih tepat.

Tahu kalau Freya tak akan membalas, Gara kembali berkata, "Genta yang pertama kali tinggal di sini. Dia menjalani hari-harinya di sini selama empat bulan. Sampai akhirnya kami bertemu di sebuah bengkel. Waktu itu aku sedang memperbaiki mobilku, dan tiba-tiba dia datang dengan niat mengambil mobil itu dariku. Singkat cerita, kami berdamai. Aku memberikan tumpangan dan dia memberikan tempat tinggal."

Gara memberi jeda sejenak. Mereka kini memasuki sebuah gang kecil yang letaknya tak jauh dari base camp. Biasanya Gara dan yang lainnya bergantian mengelilingi seluruh tempat untuk memastikan tak ada hewan buas yang mendekati tempat tinggal mereka. Tapi sekarang ia menemukan teman yang mau ikut berjaga dengannya. Meskipun pada dasarnya Gara masih tak yakin apakah Freya berada di pihak yang sama atau sebaliknya.

"Berbulan-bulan, kami mengumpulkan makanan, senjata, dan mencari keberadaan manusia lain. Lalu, kami bertemu Matt. Dia ditemukan pingsan di dekat bandara dengan luka berat di kepalanya. Dia tidak ingat apa pun. Tapi semakin hari, keadaannya kian membaik. Dia mulai ingat siapa namanya, dari mana ia berasal, dan kejadian apa yang terakhir kali menimpanya.

Setelah Matt, kami bertemu Benz. Dia berhasil membantu aku dan Genta yang hampir tenggelam di lumpur hisap. Lalu kami membawanya ke tempat ini. Terakhir, Genta menemukan Eartha yang tengah di serang singa hutan, sekitar satu bulan yang lalu. Dia menyelamatkan Eartha dan mengajaknya untuk tinggal bersama kami. Hanya itu yang ingin kau tahu?"

Sepasang mata cokelat itu berkilau melebihi sinar bulan malam ini. Freya menemukan malaikat. Tatapan yang begitu menyihir itu tak pernah didapatkannya dari manusia mana pun. Caranya bicara memiliki magis, suaranya terdengar seperti lantunan mantra-mantra suci. Sagara Danuja begitu membius, ia dipenuhi daya tarik. Dan sialnya, Freya mengakui segala kemisteriusan itu.

"Apakah pendengaranmu masih berfungsi dengan baik?" Pertanyaan itu berhasil membuat Freya berpaling ke arah lain.

"Cukup. Kau tak perlu bercerita lebih banyak lagi," jawab Freya akhirnya.

Dengan gerakan yang sedikit kasar, Freya berjalan mendahului. Ia memastikan Revolvernya masih berada di dalam saku dan memiliki cukup peluru. Setelah itu, ia mencoba mengawasi sekitar dengan mempertajam pendengarannya.

Di gang-gang sempit itu, banyak bangunan yang sudah benar-benar rata dengan tanah. Sementara sisanya adalah pohon-pohon yang tumbuh liar di sepanjang jalan. Tanah yang mereka pijak sedikit retak. Beberapa di antaranya bahkan membentuk kubangan atau sebuah jurang kecil.

Langit begitu bersih dari awan. Pagi ini pasti akan menjadi pagi pertama yang melelahkan bagi Freya bersama rekan-rekan barunya. Ia menduga kalau mereka memiliki banyak tugas dan rencana yang akan melibatkan dirinya. Freya bisa merasakan itu karena tadi ia tak sengaja mendengar laporan-laporan dari Benz, Matt, dan Eartha kepada Sagara. Hal tersebut membuat Freya menyimpulkan bahwa Sagara-lah yang memimpin kelompok ini. Meski begitu, Freya sama sekali tidak merasa takut kalau sewaktu-waktu ia harus berhadapan dengan pemuda di belakangnya itu.

Omong-omong soal pemuda, ingatan Freya kembali mengulang perihal pertemuannya dengan Joshua Miller. Pemuda menyebalkan yang begitu mudah ia kendalikan. Josh sangat penurut dan baik. Tapi, dua hal itu jugalah yang menjadi kelemahannya.

Kendati demikian, Freya berharap kalau pemuda itu bisa bertahan dan menjaga Puja——setidaknya sampai tujuan gadis itu terpenuhi.

"Siapa yang sedang berlarian di pikiranmu?" tanya Gara yang tiba-tiba sudah berjalan sejajar dengannya.

Freya memilih objek lain sebagai pelampiasan matanya. "Bukan urusanmu."

"Itu sudah menjadi urusanku."

"Atas dasar apa kau——"

"Mulai sekarang, kau adalah tanggung jawabku. Apa pun tujuanmu datang ke Indonesia, aku harus tahu itu. Karena aku, Genta, dan semua yang ada di sini sudah memutuskan akan meninggalkan tempat ini pekan depan," jelas Gara membuat Freya mengerutkan dahi.

"Maksudmu?"

"Kita tidak bisa terus-menerus tinggal di kota ini. Jakarta sudah semakin rendah. Pulau Jawa mungkin akan terbelah dalam hitungan bulan. Kita harus pergi ke pulau lain, atau bahkan mencari negara yang masih layak untuk dihuni."

"Jadi, Indonesia bukan tempat yang paling aman?" Freya tak berencana akan bertanya dengan nada seheran itu, tapi kemudian ia melakukannya.

Gara menemukan sepasang mata biru yang membelalak dan berkobar. Ada keterkejutan di sana, tapi ia sendiri tak tahu mengapa Freya bisa sekecewa itu mendengar penuturannya. "Apakah ada yang bilang kalau Indonesia adalah tempat yang paling aman?"

Detik itu, Freya berhenti melangkah. Jika bukan karena Puja, mungkin Freya tidak akan buang-buang waktu untuk datang ke negara ini. Ia mungkin sudah melenceng jauh dari tujuannya, tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain memendam kekesalan. "Seseorang memberitahuku bahwa tempat yang paling aman adalah Indonesia. Tapi dia tidak mengatakan di mana lokasi tepatnya."

"Apakah dia masih hidup?"

Freya menatap Gara. Apakah ia harus mengatakan pada pemuda itu kalau di luar sana masih ada dua manusia yang masih hidup? Atau ia harus diam dan menyembunyikan ini sampai tujuannya tercapai?

Ketika Freya masih memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada Gara, tiba-tiba pemuda itu kembali menyudutkannya dengan pertanyaan, "Kau meninggalkannya?"

Apakah berbohong di saat-saat seperti ini masih dihalalkan?

Freya masih diam. Apa pun jawaban yang ia berikan, sepertinya Gara sudah mengetahui kebenarannya lebih dulu. Sekarang ia berpikir kalau pemuda itu mampu membaca pikirannya, dan tentu saja itu bukan kabar bagus.

"Katakan di mana terakhir kali kau meninggalkannya," desak Gara, sukses membuat Freya mendengus kesal.

"Aku tak yakin mereka masih hidup."

"Mereka?"

"Ya, ada dua orang. Salah satunya mengalami luka tembak di kaki kiri."

Gara menyunggingkan sebuah senyuman miring, lalu berkata, "Aku tahu itu perbuatan siapa."

...*...

Ketika Josh membuka mata, ia tak menemukan sosok Puja di mana pun.

Cahaya matahari yang berwarna keemasan menembus celah-celah kaca jendela. Perapian yang semalam menjadi menerangan mereka hanya tersisa abu dan beberapa kayu yang belum terbakar. Josh bangkit, kemudian berjalan mencari keberadaan gadis itu dengan mengelilingi seluruh ruangan.

Semalam mereka sepakat untuk gantian berjaga. Puja tidur lebih dulu. Setelah pukul 3 pagi, Josh membangunkannya dan berkata kalau Puja harus berjaga. Sekarang sudah hampir pukul delapan. Puja mungkin sengaja tak membangunkannya karena Josh terlihat sangat kelelahan.

Tapi sekarang Josh tak menemukan Puja di ruangan mana pun. Jadi, ia memilih duduk di kursi besi yang sudah berkarat dan mencari baju di ranselnya sebelum membersihkan diri.

Tak lama kemudian, Puja keluar dari arah timur dengan hanya menggunakan bra dan handuk berwarna cokelat yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

Mendengar langkah kaki, Josh berkata, "Kukira kau meninggalkanku. Dari man——" suara Josh terhenti ketika matanya menemukan pemandangan tak biasa.

Dengan gerakan normal, Puja berjalan mendekat. "Oh, kau mencariku? Aku baru saja mandi," katanya datar. Lalu ia melepas handuknya dan mengambil celana yang tersampir di atas kursi. Sekarang gadis itu benar-benar mengekspos 90% bagian tubuhnya. Dan tentu saja hal itu membuat wajah Josh memerah seketika.

"Kenapa kau tidak mengenakannya di dalam kamar mandi?" Josh berpaling ke arah sembarang. Tapi ia juga tak bisa berbohong kalau ia tidak melihat tubuh Puja yang begitu mulus dan mengenakan dalaman berwarna hitam.

Alih-alih segera mengenakan celananya, Puja justru bergerak semakin dekat, sengaja mempersempit jarak di antara mereka. "Kenapa? Apakah salah kalau aku lupa membawa baju ganti ke dalam kamar mandi?"

Sekarang Puja sudah benar-benar berada di hadapannya. Josh semakin risih. "Kalau begitu, cepat kenakan pakaianmu."

Puja tersenyum. Ia mengangkat wajah Josh dengan tangannya dan menatap pemuda itu lekat-lekat. "Sudah lama aku ingin bertanya pada seseorang mengenai tubuhku. Lihat aku, apakah aku terlalu kurus?"

Dengan gerakan yang sedikit kasar, Josh menyingkirkan tangan Puja dari wajahnya. Ia berdiri, menatap Puja dengan sorot mata tak suka.

Melihat itu, tentu saja Puja semakin tertantang. "Apakah ukuran payudaraku sudah cukup?" tanyanya, lalu meraih tangan Josh dan memaksa pemuda itu untuk memegang dadanya.

Josh mengibaskan tangannya dan berkata, "Hentikan. Lebih baik kau cepat sarapan dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan."

"Aku hanya meminta pendapatmu, kau tak perlu sekasar itu." Puja mendengus geli melihat wajah Josh yang berubah menyerupai kepiting rebus. "Jangan bilang kalau kau tak pernah menyentuh perempuan."

Melihat Josh yang diam saja, Puja yakin kalau pemuda itu memang tak pernah menyentuh perempuan.

"Oh, ayolah, Josh. Kau sudah pubertas, 'kan?"

"Berhenti membahas hal sepert——"

"You acting like a kids, Josh. It's so funny."

Puja menggeleng terkekeh. Ia sangat suka melihat ekspresi Josh sekarang. Dia benar-benar mempermalukan pemuda itu. Dan tentu saja Josh tidak terima.

"Sekalipun aku sudah pernah menyentuh perempuan, bukan berarti aku juga mau menyentuhmu," balas Josh dengan suara tegas dan lugas. "Seharusnya perempuan waras tidak melakukan hal seperti yang kau lakukan barusan. Kecuali, kau memiliki gangguan jiwa. Kau bisa ingat itu baik-baik?"

Wajah Puja berubah seketika.

Sikap Josh benar-benar berbeda setelah ia berpisah dengan Freya. Puja tidak tahu apakah Freya yang membuat Josh tunduk, atau memang pemuda itu sebenarnya sangat arogan dan sensitif. Puja tak benar-benar bisa mengerti mengenai hal itu. Ia kesal karena setelah mengucapkan kalimat yang menyakiti hatinya, kini Josh melenggang pergi ke kamar mandi tanpa menoleh lagi padanya.

...*...

Jalan Pintu II Raya lebih lebar dari jalan-jalan lain, tapi juga lebih rusak dari semua jalan yang pernah dilewati. Meski aspal dan bagian trotoarnya sudah banyak yang hancur, jalan itu masih bisa dilalui dengan kecepatan sedang. Genta masih bertugas sebagai pengemudi. Sementara di sebelahnya, Gara mengawasi wilayah yang mereka lewati dengan pintu jendela yang terbuka.

Di kursi tengah, Freya dan Eartha duduk berdampingan. Sementara di kursi paling belakang ada Matt dan Benz yang sejak tadi tak henti-hentinya bermain tebak-tebakan kartu.

Berdasarkan cerita Freya semalam, dua rekannya ditinggalkan tak begitu jauh dari Bandara Halim Perdanakusuma. Mungkin sekitar empat sampai lima kilometer dari sana. Tapi jika kedua orang itu bergerak dengan cepat, mungkin perkiraannya bisa lebih jauh lagi. Dan tentu saja bukan pekerjaan yang mudah untuk menemukan dua manusia asing di tengah kota mati ini.

"Kenapa kau tidak membunuhnya?" tanya Eartha setelah mendengar cerita lengkap mengenai pertemuannya dengan Puja tempo hari.

Freya sendiri sebenarnya enggan membahas gadis itu lebih jauh. Tapi ia juga bosan kalau sepanjang jalan hanya mendengarkan suara Matt dan Benz yang heboh di belakang sana. Maka ia menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan Eartha untuknya.

"Aku tak memiliki alasan yang kuat untuk membunuhnya," balas Freya dingin.

Eartha dan Freya siang ini sama-sama mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Jika Freya memadukannya dengan celana jogger hitam, beda halnya dengan Eartha yang memilih sebuah rok rempel selutut berwarna cokelat tua. Eartha juga mengenakan sepatu boot hitam yang tinggi.

"Apakah membunuh seseorang harus memiliki alasan?" Eartha bukan gadis yang lembut, bukan pula gadis kasar seperti Freya. Dia memiliki aksen Afrika dalam Bahasa Inggrisnya. Kulitnya begitu eksotis dan berkilau. Freya juga mencium aroma yang begitu wangi dari tubuhnya. Sepertinya Eartha tipikal gadis yang pandai merawat diri.

"Tidak selalu. Tapi aku tidak ingin melihatnya mati terlalu mudah." Freya masih dengan gaya khasnya yang angkuh dan dingin. Diliriknya Gara yang duduk tepat di depannya. Lelaki itu menatapnya dari kaca spion.

Eartha menyentikkan jarinya dan berkata, "Kau benar. Kalau begitu, aku juga tidak akan membiarkan Genta mati dengan mudah."

Mendengar pernyataan menyebalkan itu, si pemilik nama menoleh ke belakang. Dilihatnya Eartha dengan tatapan permusuhan. "Kau memang tidak akan membiarkanku mati, Earth."

Entah masalah apa yang membuat Eartha begitu kesal dengan Genta. Jujur saja, Freya bingung menafsirkan arti dari perdebatan mereka. Karena yang ia tahu, justru Genta-lah yang menyelamatkan Eartha dari maut.

Tapi setelah dipikir-pikir, tak ada gunanya memperdalam masalah itu. Freya juga enggan menanyakannya. Jadi, ia hanya diam dan mendengarkan dua manusia itu berdebat tanpa memedulikan sekitarnya.

Sementara itu, Freya kembali fokus pada jalanan. Ia mencoba mencari keberadaan Josh dan Puja——meskipun nyatanya ia sangat tidak ingin melakukan hal itu.

Tapi ketika semua orang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing, tiba-tiba saja mobil yang mereka tumpangi terasa hilang keseimbangan. Genta mengendalikan stirnya dengan sekuat tenaga, tapi tanah yang berada di bawah mereka bergerak sangat cepat. Suara gemuruh membuat bulu kuduk merindung. Getaran itu terjadi selama beberapa menit. Mereka semua saling berpegangan.

"Kita tak boleh berhenti," ujar Gara di sela-sela gempa itu.

Tak ada yang menyahut ucapannya, semua fokus mengatur napasnya masing-masing.

Sampai akhirnya, getaran mulai melambat. Mobil yang mereka tumpangi tak lagi terombang-ambing. Tapi sebagai gantinya, mereka melihat jalanan yang semakin retak. Tanah terbelah dengan acak. Genta tak yakin bisa meneruskan perjalanan karena di depan sana banyak lubang yang tercipta akibat gempa barusan.

"Ini terjadi lebih cepat dari yang aku perkirakan," kata Benz di kursi belakang. "7,2 Skala Richter, Pantai Selatan pasti mengalami tsunami. Dan ini 10% lebih besar dari gempa pekan lalu. Kita harus berhati-hati," imbuhnya.

Mendengar itu, Freya melirik Benz dengan sudut matanya sehingga membuat Eartha diam-diam berbisik, "Dia ahli geologi."

"Benarkah?" Freya berharap suaranya tidak terdengar kagum, tapi sepertinya ia gagal. "Kalau begitu, apa keahlian Gara?" tanyanya, masih dengan volume rendah, mengikuti Eartha yang melakukannya lebih dulu.

Sebelum menjawab, Eartha tersenyum lebar. Sekilas, ia melirik objek yang mereka bicarakan, lalu membalas, "Kau tak akan percaya sebelum melihatnya sendiri."

Ada desau aneh yang membuat Freya tiba-tiba menjadi gelisah. Aura pemuda itu begitu gelap, tapi juga sangat cemerlang di waktu yang bersamaan. Ia tak mengerti mengapa ada manusia sekompleks itu. Gara benar-benar membuatnya penasaran setengah mati. Tapi, meski begitu, ia tak akan lupa pada kenyataan bahwa Gara telah memperingatinya tadi malam.

"Mulai sekarang, kau adalah tanggung jawabku. Apa pun tujuanmu datang ke Indonesia, aku harus tahu itu."

Suara itu berdengung di telinganya, berlarian di pikirannya. Semacam suara rekaman rusak yang tak memiliki tombol henti. Freya benci ketika seseorang sudah memegang kendalinya. Ia harus cepat-cepat bertindak.

Freya tak akan membiarkan siapa pun menguasainya, termasuk Sagara Danuja sekalipun.

[...]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!