...July 14, 2080...
...New Delhi, India...
.........
Ketika Josh dan Freya berjarak sepuluh meter dari pesawat itu, mereka menemukan seorang perempuan berambut panjang tengah menodongkan senapan ke arah mereka.
Perempuan itu telah selesai mengisi avtur ke dalam pesawat. Dia melakukannya dengan begitu cermat dan cepat. Sementara Josh dan Freya masih terengah.
Josh yang pertama kali mengangkat kedua tangannya. Sedangkan Freya sedang mencuri kesempatan untuk mengambil Revolvernya.
"Bisa kita bicara baik-baik?" tanya Josh, mengamati penampilan perempuan itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Wajahnya murni pribumi, dia asli India. Terlihat jelas dari hidung mancung, alis tebal, dan mata honey-nya yang gemerlap.
Dibandingkan Freya, perempuan itu terlihat lebih bersahabat dari sorot matanya yang hangat. Harusnya dia bisa ditaklukan lebih mudah daripada Freya. Tapi, Josh tak bisa berbahasa India. Semoga saja perempuan itu mengerti ucapannya.
"Kau bisa Bahasa Inggris?" Josh masih berusaha bernegosiasi. Lain halnya dengan Freya yang tampak tak suka karena ada seseorang yang lagi-lagi hendak mengambil alih pesawatnya.
Merasa perempuan itu cukup lengah, Freya mencoba merogoh Revolvernya dari dalam saku, saat tahu-tahu perempuan itu melepaskan tembakan ke udara sebagai peringatan.
JDOR!
"Angkat tanganmu!" Suara gadis itu penuh gemetar. Matanya mengarah pada Josh dan Freya secara bergantian, tapi ia tak menunjukkan ada keberanian dalam dirinya. Perempuan itu hanya terdesak. Ia tak benar-benar berniat untuk melakukan itu. Terlihat dari gerak tubuhnya yang panik dan gamang.
"Apa yang kau mau?" tanya Freya, dengan sorot mata tajam melebihi saat ia menatap Josh untuk pertama kali.
Perempuan itu diam. Dia masih mengarahkan senapannya pada mereka secara bergantian.
"Aku tahu kau tak butuh pesawatnya," kata Freya. Ia menaikkan sebelah alis dan ujung bibirnya, sebuah ekspresi di mana ia tengah meremehkan seseorang. "Kalau kau menginginkan pesawat, tempat ini memiliki lebih dari tiga pesawat. Kau hanya perlu memperbaikinya. Tapi, bukan itu yang kau inginkan."
Josh menoleh, ia melihat Freya dalam kengerian yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. Saat di mana gadis itu mampu mempermainkan adrenalinnya. Saat di mana untuk pertama kalinya ia merasa terhina sebagai laki-laki. Saat di mana seorang gadis bisa membuatnya mabuk sekaligus merasa terancam di waktu yang bersamaan.
"Kau butuh pilot, karena kau tak tahu cara mengemudikannya," simpul Freya akhirnya.
Perempuan yang usianya diperkirakan di bawah mereka itu mendengus kecil. "Hh, kalian berdua adalah monster!"
Josh berjalan mendekat, tak peduli perempuan itu semakin menodongnya dengan senapan. Bau alkohol menguar di sekeliling tubuh perempuan itu. Pasti dia sedang mabuk. Wajar saja jika caranya berdiri tampak tak seimbang.
"Kalau kau bersedia, kita bisa bekerja sama," bujuk Josh, lagi-lagi dia menggunakan cara halus.
"Josh, hentikan usahamu. Dia tak akan menyerah." Freya berusaha mengingatkan rekan barunya itu. Ia memiliki cara lain untuk melumpuhkam lawannya. Dan Freya tidak mungkin menggunakan cara halus untuk melakukan itu.
Dengan gerakan super cepat, Freya merogoh Revolvernya kemudian menembak kaki kiri perempuan itu hingga limbung.
JDOR! Perempuan itu terjatuh dan senapannya yang lepas dari pegangan segera diambil alih oleh Josh.
"KEPARAT!" umpat perempuan itu sambil meringis kesakitan.
Freya memutar Revolvernya dengan bangga dan berkata, "Terima kasih sudah mengisi bahan bakarnya."
Perempuan itu melotot. Kesal dengan tingkah sombong Freya yang begitu lihai. Sementara Josh menodong perempuan itu dengan senapan miliknya, takut-takut kalau dia kembali berulah.
Lenggang, Freya berjalan menuju pesawatnya dan tidak menghiraukan segala sumpah serapah perempuan itu. Menyusul, Josh ikut melangkah perlahan di belakang Freya sembari terus mengawasi perempuan yang kini terduduk di tanah sambil memegangi kaki kirinya.
"Kalian tidak bisa meninggalkanku!" teriaknya penuh amarah.
Freya dan Josh menoleh. Keduanya sepakat untuk menanyakan perihal yang sama. Tapi Freya mewakilkannya. "Kenapa kami tidak bisa?"
"Kalau bukan karena aku, kalian tidak akan menemukan avturnya."
"Remeh. Aku akan melakukan apa pun untuk menemukannya."
Mendengar jawaban Freya, perempuan itu mendengus kasar. "Hh, bukan hanya itu, aku juga tahu di mana tempat yang paling aman."
Freya sedikit terkejut dengan pernyataan itu, tapi bukan berarti ia mudah diperdaya. Mau bagaimanapun, Freya tak pernah membiarkan dirinya terjebak dalam lubang yang sama sebanyak dua kali. Untuk itu, ia harus membuat perempuan itu berada di bawah kakinya, setidaknya sampai dia bisa bicara jujur atas apa pun yang dia tahu.
"Apa maksudmu tempat yang paling aman?" Josh menyahut.
Perempuan itu tersenyum licik. Ia berusaha berdiri dengan susah payah dan berkata, "Aku akan mengatakannya jika kalian bisa memastikan aku tiba di tempat itu dengan selamat."
Freya dan Josh saling pandang. Sebenarnya Freya malas berurusan dengan manusia yang banyak tingkah. Tapi ucapan perempuan itu patut diuji. Lagipula, Freya juga tak memiliki alasan yang kuat untuk meninggalkan perempuan itu selain karena dia berniat membajak pesawatnya.
Dengan helaan napas panjang, Freya berjalan ke dalam pesawat sembari bertitah pada Josh, "Kau urusi perempuan merepotkan itu. Pastikan aku tak mendengar celotehannya."
"Kau yakin akan membawanya?" Sebenarnya bukan itu yang ingin Josh tanyakan. Yang ada di kepalanya sekarang adalah, "Kau yakin tak akan membunuhnya setelah mengetahui keinginannya?"
Josh tidak berhak menghakimi Freya dengan menganggapnya sebagai perempuan berdarah dingin. Tapi, Josh juga tidak bisa memungkiri kalau pandangannya terhadap gadis itu benar-benar mengerikan. Jadi, ia berpikir akan lebih baik meninggalkan perempuan India itu di sini, alih-alih membawanya pergi dengan alasan ingin menggali informasi saja darinya. Lagipula, Josh tidak ingin mengambil risiko dengan mengajak perempuan itu ke dalam lingkaran penuh otoritas yang dimiliki Freya. Gadis itu lebih berbahaya dari kelihatannya.
"Aku tak mengulang perintahku," balas Freya ketus, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam cockpit tanpa berkata apa-apa lagi.
...*...
"Namaku Puja Gupta. Kau bisa mengganti panggilan 'perempuan sialan itu' menjadi namaku. Telingaku terasa terbakar mendengarnya."
Josh menoleh ke belakang, sadar kalau perempuan itu sudah bangun dari tidurnya. Mungkin saja perempuan itu sudah lama mendengar percakapan mereka.
Waktu menunjukkan pukul 4 pagi saat pesawat mereka berada di ketinggian 30.000 kaki.
"Katakan di mana kita harus mendarat," ucap Freya tanpa menoleh ke belakang. Terdapat penekanan dalam setiap kata yang ia ucapkan.
Perempuan yang mengaku bernama Puja itu mencoba menegakkan duduknya. Kaki kirinya sudah diobati oleh Josh. Tak ada lagi peluru yang bersarang di dagingnya. Ia meringis kecil menahan rasa sakit yang masih tersisa. Tapi ia baik-baik saja.
"Bisakah kau sedikit lebih bersabar?" Puja terkekeh geli.
Freya tak membalas lagi setelah itu. Ia tahu, tujuan mereka masih cukup jauh. Karena itulah Puja tak ingin mengatakannya lebih awal.
Masih dengan menoleh ke belakang, Josh menatap Puja lamat-lamat. Gadis itu duduk di sudut cockpit dengan tangan dan kaki yang terikat. Puja tak membawa apa pun selain tas kecil dan senapannya. Dia mengenakan baju ketat berwarna abu-abu yang dipadukan dengan celana jogger hitam yang sudah belel. Di luar penampilannya yang mengenaskan, Puja masih bisa dibilang cukup cantik dengan hidung mancung dan bibir ranumnya.
"Tadi kau bilang, kami berdua adalah monster. Apa maksudmu?" tanya Josh akhirnya, setelah sekian lama mencoba memikirkan apa maksud dari perkataan Puja tadi malam.
Sebelum menjawab, Puja tertawa. Hal itu membuat Freya terganggu dan ingin sekali menyumpal mulutnya. "Apakah kekasihmu itu tidak mengatakan sesuatu tentang negaraku?"
"Dia bukan kekasihku," ralat Josh.
Di waktu yang bersamaan, Freya ikut menyahut, "Kau pikir aku sudi menyandang status itu?"
Josh tak ingin memperdebatkan hal itu dengan Freya. Ia tahu, ia tak akan menang. Untuk itu, Josh lebih memilih mengabaikannya dan kembali menelisik Puja. "Dia hanya berkata kalau negaramu mendapatkan serangan fosgen sepuluh tahun yang lalu. Apa ada hal lain?"
"Kau bisa bertanya pada kekasihmu siapa yang melakukan itu," ujar Puja dingin.
Mendengar hal itu, Josh menatap Freya, meminta penjelasan darinya.
Tapi Freya tak mengatakan apa-apa. Dia hanya melirik bahunya sendiri sedang sudut matanya dan memberi sebuah isyarat. Awalnya, Josh tak mengerti apa artinya. Tapi ketika ia mengamati seragam yang dikenakan gadis itu, Josh mungkin bisa menebak siapa pelakunya.
"Kami tak ada hubungannya," kata Josh, setelah yakin kalau yang menyerang India pada waktu itu adalah bangsa barat, terutama Inggris dan Amerika.
Puja mendecih, wajahnya kini benar-benar menandakan kalau ia tengah menyimpan dendam lama. "Kau pikir rakyat biasa dan orang-orang kecil seperti kami ada hubungannya?" Ia mencengkeram ikatannya di balik punggung. Menahan amarah sangat membuatnya tersiksa. "Semua orang yang tak berdosa ikut mati. Musuh kalian hanya kepada petinggi kami, tapi kalian justru melenyapkan kami semua tanpa belas kasihan sedikit pun!"
Josh dan Freya terdiam. Meskipun mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan tragedi itu, tatap saja, Puja akan memukul rata semua bangsa barat memiliki reputasi yang buruk baginya.
"Kalian tahu bagaimana rasanya melihat semua orang sesak napas dan mati di depan mata kalian sendiri? Apa kalian tahu sesakit apa gas itu menggerogoti paru-paru dan menghentikan fungsi pernapasan kalian? APA KALIAN TAHU ITU, HAH?!"
Freya memutar tubuh, tangan kirinya menodongkan Revolver ke arah gadis itu tepat di kepalanya. "Berhenti bersikap seolah kau adalah korban! Kau bukan satu-satunya manusia yang kehilangan orang yang kau sayangi! Bukan hanya kau yang harus hidup sendiri dan berjuang susah payah untuk menyelamatkan diri! KITA SEMUA DI SINI MENGALAMINYA! KAU DENGAR ITU?!"
Hening. Tak ada yang berani bersuara. Ucapan Freya sepenuhnya benar. Mereka bertiga adalah korban. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingin semua ini terjadi.
Puja diam. Tapi ia masih berani menatap Freya yang tengah berapi-api.
"Kau tidak tahu terima kasih. Harusnya kau bersyukur hanya kakimu yang kutembak." Freya memicingkan matanya. Hanya satu sentuhan jari saja, ia sudah bisa melubangi kepala Puja dengan Revolvernya.
"Freya, jangan lakukan itu." Josh berusaha menahan Freya, meskipun itu merupakan pekerjaan yang sulit. "Kita mungkin membutuhkannya."
Tersenyum sinis, Freya melirik Josh dengan sorot mata tajamnya yang tak pernah gagal menciutkan nyali lawan bicaranya. "Kita? Sejak kapan kau dan aku menjadi kita?"
"Fre--"
"Bisakah kau diam?" Freya benar-benar murka. "Kalian berdua hanya menumpang di pesawatku. Jadi, bersikaplah lebih tahu diri."
"Kalau bukan karena aku, pesawatmu tidak akan bisa terbang," sahut Puja, masih berusaha menyulut emosi Freya.
"SHUT UP!" teriak Freya bergema. Dadanya naik turun menahan amarah yang melonjak. Ia kemudian melempar Revolvernya ke sembarang arah, yang tak sengaja jatuh ke pangkuan Josh dan berakhir di bawah kakinya.
Freya kembali menatap tombol-tombol di hadapannya. Ia mulai fokus lagi.
Sementara Josh tak berani melakukan apa pun selain membisu. Dugaannya memang benar. Freya adalah bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Dia seakan memiliki kuasa atas dirinya. Dan entah kenapa, Josh mengikuti permainan itu.
Sebagai laki-laki, Josh tak punya banyak hal yang bisa dijadikan tampeng untuk melindungi dirinya dari otoritas yang Freya lakukan. Gadis itu tanpa batas. Dia adalah definisi liar, penuh gairah, dan berambisi. Setiap jalan yang ia tempuh merupakan suatu hal penting yang tak boleh dikacaukan oleh orang lain. Freya mengingatkannya pada perapian yang membara di kala musim dingin.
Beberapa menit setelahnya, keheninganlah yang mengambil peran. Josh mengambil sebuah buku di dalam ranselnya dan mulai membaca. Ia sebenarnya tak ingin lari dari segala kekacauan ini. Ia ingin meluruskan perselisihan antara dirinya, Freya, dan Puja. Tapi hal itu bukan sesuatu yang bisa ia lakukan saat ini.
Setelah hampir setengah jam berlalu, tiba-tiba Puja berdeham kecil. Ia menggeser posisinya sedikit dan menarik napas panjang. Josh tahu kalau gadis itu hendak mengatakan sesuatu, namun ia ragu. Siapa pun akan mengalami hal itu setelah apa yang terjadi tadi.
Tapi Josh tak bisa memastikan kalau Puja benar-benar akan takluk pada Freya seperti apa yang ia lakukan. Josh takut kalau kedua gadis itu tak bisa akur. Hal itu akan menghambat perjalanan mereka.
Tak sampai dua menit setelah helaan napas itu, Puja akhirnya berkata, "Sebentar lagi kita sampai. Kau hanya perlu mendarat di salah satu bandara terdekat yang ada di Indonesia."
Cukup terkejut dengan kalimat itu, Josh tak mampu menahan diri untuk tidak menoleh. Lagi-lagi nama negara itu menjadi salah satu puzzle yang harus ia temukan pasangannya.
"Ada apa dengan negara itu?" Josh tahu kalau suaranya penuh dengan keheranan, tapi ia tidak peduli. "Aku melihat penerbangan terakhir menuju ke Indonesia. Sebagian besar penduduk India bermigrasi ke sana. Sebenarnya apa yang dimiliki Indonesia sehingga kalian semua ingin pergi ke sana?"
Lagi-lagi dengan senyuman penuh misteri, Puja seperti sengaja membawa Josh ke dalam permainannya yang lain. Ia tetap mempertahankan senyuman itu dan berkata, "Kau akan tahu setelah kita tiba."
Tak suka dengan kalimat itu, Freya menoleh untuk menusuk gadis itu dengan sorot mata tajamnya. "Beberapa jam ke depan, aku tak bisa memastikan apakah kau bisa tersenyum seperti itu lagi atau tidak."
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments