...July 15, 2080...
...Jakarta, Indonesia...
.........
"Do you miss her?"
Josh tercenung mendengar pertanyaan frontal itu. Ia sendiri enggan menyimpulkan perasaannya sebagai sebuah kerinduan. Tapi ia juga tak bisa menyangkal kalau Freya memiliki magnet tersendiri untuk menarik atensinya. Josh serba bingung. Kebimbangan ini membuatnya sedikit kesal.
"Itu bukan hal yang harus kita bicarakan sekarang," jawabnya tanpa memandang gadis India itu.
"Kau tak pandai menyembunyikan perasaan, Josh." Puja sudah memutuskan untuk tidak menghabiskan pie apelnya. Ia benar-benar hilang selera. Sebagai gantinya, Puja meneguk air mineral hingga tandas, memberikan efek kenyang yang sebenarnya tidak terlalu baik karena perutnya masih belum terisi penuh. "Hebatnya mata, ia bisa menjelaskan sesuatu tanpa perlu bicara," imbuhnya, diakhiri dengan membuang botol air mineralnya ke sembarang arah.
Josh memiliki cara lain untuk menghalau ketidaksukaannya pada situasi seperti ini. Ia berdiri dan menyampirkan ranselnya di bahu kanan, menatap Puja sejenak, lalu berkata, "Aku tak suka perempuan penuduh. Jadi berhentilah menebak-nebak sesuatu dalam isi kepala orang lain. Lagipula, tak ada yang lebih penting selain terus bergerak. Perjalanan kita mungkin masih sangat panjang."
Langkah tegas diambil Josh dengan mantap. Ia sekarang berjalan memimpin, tak menunggu Puja terlebih dahulu seperti apa yang selalu ia lakukan. Kini menjadi keras adalah sebuah usahanya untuk membentengi diri. Dan mungkin hal itu jugalah yang digunakan Freya untuk melindungi dirinya sendiri.
Hidup ini sulit, penuh dengan segala kamuflase dan ketidakpastian. Bumi begitu tua, layak untuk segera pulang ke pemiliknya. Dan manusia sudah tak dianggap lagi sebagai khalifah, sebab segala kekacauan ini telah menjadi ladang dosa-dosanya. Bahagia, cinta, serta kedamaian, telah menjadi bagian-bagian dari ketidakmungkinan; yang hanya mampu diraih dengan keajaiban atau keberuntungan semata.
Perjalanan ini, apakah Josh akan menemui titik akhir yang ia inginkan——setidaknya satu kebahagiaan kecil yang ia impikan seumur hidupnya? Benarkah Semesta akan membiarkan dirinya mencicipi secuil kedamaian yang ia harapkan? Atau, Josh masih belum layak untuk menerima kebaikan Tuhan?
Sayangnya, bahkan Josh sendiri sudah tak mempercayai adanya Tuhan. Jadi bagaimana mungkin ia bisa berdoa kalau semua ini akan berjalan sesuai rencana?
Barangkali, ia terlalu angkuh, terlalu enggan mengakui keberadaan Sang Pencipta. Atau, mungkin juga ia terlalu kerdil untuk melihat bagaimana besarnya kekuasaan Tuhan, menyaksikan seperti apa hebatnya keajaiban yang dimiliki-Nya, sebab ia memang tak pernah melihat keindahan dunia. Malangnya, Josh terlahir ketika dunia sudah hancur. Maka, mata dan hatinya tak bisa menerima segala hal tentang ketuhanan. Ia tak percaya animisme dan dinamisme.
Meski begitu, Josh tetap yakin kalau ada sesuatu yang memengaruhi setiap peristiwa yang terjadi di dunia ini.
...*...
"Tampaknya ini jalan buntu."
Gara tak melihatnya begitu.
Pemandangan di hadapan mereka adalah sebuah objek menyedihkan yang berisi bangkai-bangkai mobil, reruntuhan bangunan, dan pohon tumbang yang menghalangi jalan. Tumpukan mobil itu tertata rapi, seperti sengaja dibuat untuk menghalangi jalan, dan di baliknya merupakan sebuah camp yang seingat Gara digunakan untuk karatina para pasien Nyxoro.
Benz memang tak pernah berpatroli hingga ke tempat ini, maka wajar saja jika ia tak bisa mengetahui semua hal tentang Jakarta.
"Dulu, itu zona merah. Salah satu daerah terlarang pada saat pandemi Nyxorovirus," jelas Gara, membuat Benz hanya ber-oh ria. "Apakah dua rekanmu adalah orang yang pandai memanjat?"
Freya tahu, pertanyaan itu ditujukan untuknya, maka ia memilih jawaban apa yang paling tepat. "Aku tak ingat apakah mereka keturunan kera atau bukan. Lagipula, aku lebih mengenal jenis-jenis anjing daripada mereka berdua."
Sarkastis, egois, dan berani. Itulah tiga hal yang Gara lihat dari Freya.
"Kalau begitu, mereka tidak mungkin melewati jalan ini," simpul Gara tanpa mengomentari kalimat yang dibuat Freya untuknya. Kemudian ia beralih menatap Benz yang berdiri di sampingnya. "Salah satu kendaraan di sini pasti bisa kita gunakan. Coba temukan yang layak."
"Baik, aku mulai dari kanan," jawab Benz segera bergerak.
Sementara Freya ragu dengan ide itu. "Kau tidak lihat kalau mobil-mobil itu sangat menyedihkan? Bahkan tak ada satu pun mobil yang tak memiliki penyok. Ayolah, jangan membuang-buang waktu."
Mendengar itu, justru Benz yang menyahut, "Kau belum tahu, Freya. Di tangan Sagara Danuja, hati yang patah saja bisa ia perbaiki."
"Cih, lelucon macam apa itu?"
"Sayang sekali, itu bukan lelucon." Benz melangkah mendekati mobil-mobil itu, disisir dari arah kanan sesuai ucapannya.
Gara hendak bergerak dari arah kiri, tapi sebelum melakukan itu, ia menatap Freya sejenak, memasang wajah super keren——tapi sangat menjengkelkan bagi Freya. "Selagi kami memilih, kau bisa duduk manis di sana sembari makan kacang."
"Wait, what did you say?" Freya nampak tersinggung dengan apa yang Gara katakan.
"Aku menyuruhmu untuk duduk dan makan kacang."
"Dan menonton kalian seperti orang bodoh?"
Gara tersenyum mencibir. Mengapa melihat gadis itu kesal menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan? "Kau tak suka diperintah, 'kan?"
Tak peduli dengan pertanyaan retoris itu, Freya berjalan lurus ke depan, mengambil bagian tengah untuk mencari mobil yang masih layak untuk dipakai.
Melihat itu, Gara tak berkomentar apa pun. Tapi diam-diam, Benz tersenyum menikmati perdebatan dua manusia itu.
Di bagian kiri, Gara mulai menyisir mobil-mobil itu dan melihat setiap bagiannya satu per satu. Jenis-jenis mobil yang ia temukan sangat beragam, mulai dari yang biasa sampai yang sangat hits——pada zamannya. Ada Lamborgini berwarna merah, Mini Cooper silver, Honda Jazz hitam, bahkan ada juga mobil terbaru yang terkenal pada tahun 2060-an, yaitu Toyota e-Racer III dan BMW Vision Next 200.
Tapi, Gara tak tertarik pada mobil-mobil mewah itu. Ia memilih berjalan dua meter ke samping, kemudian mengamati sebuah mini bus berwarna oranye yang lumayan bagus. Kaca bagian depannya mulus, body kanan dan kirinya cukup baik meskipun terdapat penyok dan sedikit berlumut. Ban-bannya juga masih lengkap, hanya perlu diteliti apakah sudah bocor atau masih layak dipakai. Sisanya, Gara melihat ke sisi kanan, ia membuka kap mesin dan memeriksanya.
Dengan menggunakan senter LED, Gara mengecek setiap komponen-komponen mesinnya dengan hati-hati dan perlahan. Ia menunduk, memasukan separuh badannya ke dalam ruang mesin itu, lalu menyentuh silinder head, yakni sebuah komponen utama yang di dalamnya terdapat ruang bakar. Silinder head terbuat dari bahan alumunium alloy ringan yang memiliki efisiensi pendingin yang baik.
Pada mobil normal, dalam komponen itu terdapat mekanisme valve train yang bertugas mengatur posisi valve terbuka atau tertutup. Di luar kerja komponen itu, Gara belum menemukan kejanggalan apa pun. Lalu, ia mengarah pada blok silinder, komponen pasangan dari head silinder. Kedua komponen itu memiliki fisik yang masih bagus.
"Kau menemukan sesuatu?"
Itu Freya, kedua kaki jenjang miliknya dapat dilihat Gara dengan jelas dari ruang mesin itu. Dengan gerakan penuh kehati-hatian, Gara menyembulkan kepalanya dan menatap gadis itu. "Kenapa? Kau lebih tertarik dengan penemuanku?"
Oh, Freya tidak suka kalimat itu. Dia mendecih dan menendang kaki Gara di bagian tulang keringnya. "Aku tak suka pertanyaanku dibalas dengan pertanyaan lain."
"Aku tak suka caramu menendangku," ucap Gara, kemudian berdiri dan menghadapi gadis itu dengan wajah lusuhnya——yang justru terlihat sangat keren.
Belum sempat Freya membalas, tahu-tahu Benz berlari ke arah mereka dan menggaruk tengkuknya sendiri. "Aku tidak menemukan yang layak. Sepertinya memang tid——oh, kau sudah menemukannya, Ga?"
"Hampir," sahut Gara pelan.
Sedetik setelahnya, Gara berjalan dan membuka pintu kemudi mobil itu dan duduk di kursinya. Ia tak sempat membersihkan debu-debu yang menempel, fokus utamanya adalah memastikan fungsi mobil tersebut.
Gara merogoh sesuatu dari kantung celananya, mengambil sebuah gantungan yang berisi besi-besi pipih berukuran kecil. Ia memasukan satu besi pipih itu ke dalam lubang kunci dan memutarnya perlahan.
"Kau pikir dia akan berhasil?" cetus Freya yang terdengar seperti sebuah bisikan.
Benz tersenyum lebar. "Kau bisa lihat sendiri. Sagara Danuja memiliki berbagai macam formasi puzzle yang tidak bisa dirangkai. Setiap bagiannya adalah hal-hal gila yang aku sendiri kadang tak bisa mempercayainya," ucapnya penuh filosofi. "Oh, dia juga yang memperbaiki kameraku, omong-omong," imbuh Benz pelan.
Kalimat terakhir membuat Freya melirik sebuah kamera yang menggantung di leher pemuda itu, lalu berusaha mempercayainya meski tak ingin.
Sementara itu, Gara sedang berusaha menghidupkan mesinnya dengan menekan tombol starter. Ia mencoba menekannya berkali-kali, tapi tidak ada suara apa pun kecuali desau angin yang melintasi wajahnya.
"He just wasting time," gumam Freya, mulai bosan dengan situasi ini.
Gara turun dari kemudi dan kembali memeriksa mesin mobilnya.
"Apa yang salah?" tanya Benz, yang begitu buta dengan dunia permesinan.
"Pistonnya belum bekerja." Gara menyerahkan senter dan menyuruh Benz untuk membantunya. "Jantung mesin mobil adalah piston. Sebab, pistonlah yang langsung berhubungan dengan proses pembakaran. Jika pistonnya tak berfungsi, kita harus menggantinya dengan piston mobil lain."
Hasil yang diberikan dari pembakaran di dalam Piston yaitu tenaga atau energi gerak. Naik turunnya komponen mesin mobil ini mampu memberikan tenaga, hasilnya akan berlanjut ke mekanisme engkol, fly wheel.
Terakhir, tenaga tersebut akan sampai pada penggerak roda. Pada piston terdapat pin piston yang memiliki fungsi dengan connecting rod. Pin piston menghubungkan melalui bushing dan meneruskan tekanan pembakar. Pin piston terbuat dari baja nikel.
Gara mengecek bagian-bagiannya lebih teliti lagi, tak ingin melewatkan satu komponen pun.
"Apa yang bisa kubantu?"
Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba Freya menawarkan sebuah bantuan. Hal itu tentu saja membuat Benz sedikit terkejut, begitupun dengan Gara. Tapi, mereka menyambut baik kemurahan hati si gadis ketus itu.
"Carilah piston di mobil lain dengan fisik yang masih utuh," titah Gara akhirnya.
Tanpa anggukan, tanpa mengiyakan, Freya melenggang pergi untuk menemukan apa yang diperintah oleh Gara.
"Apa tugasku?" tanya Benz dengan seringai lebarnya.
"200 meter di sebelah barat ada tempat pengisian bahan bakar, kau bisa mengambilnya satu drigen. Lalu, pastikan di sana ada pompa angin."
"Siap, Kapten Gara!"
"Hei, berhenti mengatakan itu."
"Hahaha!"
...*...
Genta sudah menunggu sepuluh menit di dalam mobil bersama Matt, tapi Eartha tak kunjung keluar dari dalam bangunan itu.
"Apa yang dia lakukan? Kenapa lambat sekali?" gumam Genta mulai tak sabar. Ia terus mengawasi kaca spion.
Di sebelahnya, Matt menyahut, "Dia sedang menggunakan tampon."
"Maksudmu, pembalut?"
Matt mengangguk polos. "Iya. Memangnya kau tidak tahu kalau dia sedang dalam periode menstrualnya?"
"Memangnya aku harus tahu?"
"Ck, kupikir kau tahu semua tentangnya," decak anak laki-laki itu sembari menahan senyum geli. "Tapi kau tahu 'kan kalau dia menyukaimu?"
Dengan kedua mata membulat, Genta membalas, "Sejak kapan kau suka membual? Gadis itu justru sangat membenciku. Jangan coba-coba mengelabuiku, Matty!"
"Aku tidak bohong. Eartha menyukaimu!"
"Siapa yang menyukai siapa?"
Suara itu membuat keduanya mengejang seketika. Matt berusaha memasang wajah normal ketika gadis itu masuk ke dalam mobil dan meletakan ranselnya di kursi sebelah.
"Aku menyukai kucing, aku ingin sekali memeliharanya," dusta Matt.
"Bukankah kau membenci kucing?"
"Benci dan suka itu beda tipis, 'kan? Kita selalu berkata kalau kita membenci sesuatu, padahal kita sangat menginginkannya. Bukankah manusia memang pandai menyembunyikan perasaan?"
Ucapan Matt tidak seperti anak laki-laki berusia 13 tahun sewajarnya. Kadang dia bahkan mengetahui hal-hal yang belum semestinya ia ketahui. Matt memang anak yang seru dan imajinatif, tapi sejujurnya ia begitu rapuh dengan kenangan-kenangan lama dan hal-hal yang mengingatkannya pada orang tua.
"Wow, anak ini tumbuh cerdas," kata Genta sembari menghidupkan mesin mobilnya. "Tak salah aku memberinya ikan kaleng kadaluwarsa, haha!"
"Sialan kau!" balas Matt sambil menyikut lengan Genta. "Um, by the way, aku ingin bicara dengan Benz, berikan Portofonnya."
Genta menyerahkan benda itu pada Matt dan mulai mengemudi dengan kecepatan sedang.
Eartha menutuskan untuk fokus pada jalanan, sementara Matt mulai mengirimkan pesan suara untuk Benz.
"Holla, it's me Monkey. Posisi?"
Piip!
"Hei, o, kami berada di zona merah kilometer 20. Gara sedang memperbaiki sebuah mobil."
"Oh, keren! Bagaimana dengan gadis New York itu?"
Piip!
"Gara menemukan teman debat yang tepat. Gadis itu sedikit menyebalkan, tapi Gara masih bisa mengatasinya. Berapa lama lagi kalian tiba?"
Matt melirik Genta, lalu berkata, "Mereka ada di zona merah kilometer 20. Berapa lama untuk tiba di sana?"
"Katakan saja satu jam lagi kita sampai," jawabnya dengan pandangan lurus ke depan.
Kembali menekan tombol on, Matt kembali berkata melalui Portofonnya, "Kami sedang meluncur. Tunggu satu jam lagi."
Piip!
"Kau tak lupa membawa topi baseball-ku, 'kan?"
"Aman. Aku bahkan membawakan beberapa celana dalammu yang ketinggalan."
Piip!
"Astaga, kau baik sekali. Terima kasih!"
"Urwell. Kalau begitu, see you later!"
Piip!
"See you too, Matty!"
Tidak ada balasan lagi, Matt menekan tombol off. Ia menyerahkan benda itu pada pemiliknya dan mulai sibuk dengan gundam di tangannya.
Mau bagaimanapun, Matt tetaplah anak kecil yang masih suka bermain dan tak seharusnya melakukan perjalanan berat seperti ini. Entah apa yang menyebabkan anak itu terlantar dan sendirian di bandara. Sepertinya dia memang sengaja ditinggalkan, tapi Genta tak pernah tega untuk mengatakan asumsinya pada anak itu.
Di sela-sela perjalanan, Genta menyetel sebuah musik dengan lagu Rapp yang menceritakan tentang kebenciannya pada pemerintah. Lagu itu milik salah satu Rapper favoritnya saat kecil, Christo Harry, yang akhirnya meninggal dunia saat serangan nuklir di Los Angles terjadi.
"Genta, bagaimana kalau kita semua mati di kota ini?" tanya Matt begitu tiba-tiba, bahkan Genta sendiri tak menduga kalau Matt akan bertanya seperti itu.
Di kursi belakang, Eartha yang lebih dulu menyahut. "Kita tidak bisa lari dari kematian, Matt. Tapi kita harus berusaha untuk bertahan hidup, sesulit apa pun itu."
"Meskipun tak ada alasan lagi untuk hidup? Mengingat Bumi sudah hancur, alam sudah mengambil alih semuanya, apakah kita harus membuang-buang waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada?"
Eartha terdiam. Anak itu selalu berpikir jauh, selalu memiliki pertanyaan-pertanyaan sensitif yang kadang membuat lawan bicaranya tidak mampu menjawab.
Menarik napas panjang, Genta akhirnya menyahut, "Apa maksudmu tentang sesuatu yang sebenarnya tidak ada?"
"A hope, a dream, and peace. Semua yang kita harapkan, sebenarnya tidak ada, 'kan? Kita tidak memiliki alasan apa pun untuk hidup. Kita semua hanya menunggu giliran untuk mati. Jadi, untuk apa kita susah payah bertahan dengan segala kekacauan ini?"
"Gara tak akan senang mendengar semua ini, Matt."
"Tapi di sini tidak ada Gara, dan karena itulah aku ingin membicarakannya dengan kalian. Karena Gara terlalu optimis terhadap semua hal, aku benci itu."
Genta mendengus kecil, ia mulai tidak mengerti dengan pola pikir bocah itu. "But, why? Bukankah optimis itu bagus?"
"Sebelum itu, aku tanya kalian berdua. Apakah kalian yakin kalau Gara adalah orang yang tepat untuk kita ikuti? Apakah kalian tahu siapa dia dan apa tujuannya menyelamatkan kita semua? Tidakkah kalian berpikir kalau dia terlalu malaikat untuk hal ini? Apakah ada manusia sebaik dia di dunia yang seperti ini?"
"Dia memang malaikat, Matt. Kenapa kau meragukannya?"
Matt diam sejenak. Ia seperti menyembunyikan sesuatu yang selama ini tak pernah ditunjukkannya pada siapa pun. Ia menyimpan gundamnya ke dalam saku, lalu menatap Genta dengan kedua bola mata birunya yang nanar. "Kalian tahu soal jurnal milik Gara yang sampulnya berwarna merah tua?"
Genta mengangguk, begitupun dengan Eartha yang terus mendengarkan percakapan itu dengan seksama.
"Aku tak sengaja melihat isi jurnalnya. Dan kalian tahu apa yang kutemukan? Di sana ada nama kalian, lengkap dengan tanggal lahir dan kode-kode aneh yang aku tidak tahu apa artinya itu," jelas Matt dengan suara menggebu. "Tapi, ada satu hal yang membuatku bingung, dia bahkan sudah menulis nama Freya sebelum gadis itu datang."
Mendengar kalimat terakhir, Genta membelalak tak percaya. "Benarkah? Lalu, apakah ada nama lain yang tertulis di sana?"
"Ya. Aku melihat nama Josh, Puja, dan Nam."
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments