*
*
Kaysa setiap hari melewati alamat yang di dapatnya dari Alan. Entah itu di pagi hari saat dia pergi, atau sore harinya ketika pulang. Bahkan tak jarang juga dia sengaja melewati rumah tersebut pada siang hari sepulangnya dia menjemput Aslan dari sekolah. Tapi rumah tersebut masih saja sepi. Padahal ini sudah memasuki bulan ke tiga setelah terakhir kali dia bertemu dengan Rama di depan gedung TV 7 dengan meninggalkan kesalah fahaman yang belum terselesaikan.
"Mama, kita lagi nungguin siapa sih? sering banget lewat sini padahal biasnya jalan pulang kan nggak ke sini?" protes Aslan yang sedikit memicingkan matanya ketika matahari di siang yang terik itu menerpa wajahnya.
Kaysa tak menjawab, namun sibuk memeriksa ponselnya dan perhatiannya dia tujukan pada satu nomor yang masih juga belum aktif sejak tiga bulan yang lalu.
"Mama!" bocah itu menarik ujung kemeja putih sang ibu agak keras untuk menyadarkannya dari lamunan.
"Ya sayang? kenapa?"
"Aku capek, juga laper. Kan udah waktunya makan siang?" ucap Aslan dengan polosnya.
"Oh, sebentar." Kaysa merogoh dompetnya di dalam tas, melihat isinya yang hanya tersisa dua lembaran uang berwarna biru.
Sudah hampir satu bulan sejak terakhir kali Radit sang mantan suami memberinya uang untuk kebutuhan mereka, dan dia dengan terpaksa menerimanya demi Aslan. Walau dengan banyak pertimbangan dan perasaan takut bahwa pria itu akan berlaku seenaknya kepada mereka karena telah memberikan nafkan untuk anaknya. Namun ternyata pria itu tak melakukan apa yang selama ini di khawatirkannya.
Sejak dia berhenti mencari berita untuk TV 7, Kaysa mendadak jadi pengangguran dan tak memiliki penghasilan apapun untuk menyambung hidup mereka. Dirinya pun tak memiliki semangat lagi untuk mencari bahan pemberitaan. Percuma saja kalau berita yang di buatnya akan di plintir lagi sesuai keinginan orang-orang berkuasa. Jadilah kini, dia terpaksa bergantung pada pemberian Radit.
Sementara usahanya melamar pekerjaan ke banyak tempat belum juga membuahkan hasil. Seperti hari ini, dia baru saja menghadiri interview di sebuah hotel untuk tenaga office girl.
"Aslan mau makan apa?" Kaysa bertanya.
"Apa aja lah, yang penting makan. Emang uangnya masih ada?"
"Ada, nih." dia menunjukkan isi dompetnya.
"Segitu cukup nggak beli ayam goreng? yang di abang-abang pinggir jalan aja, nggak usah ke keefsi." Aslan dengan mata berbinar.
"Cukup. Makan nasi padang mau? biar kenyang. Nanti kalau mama sudah dapat pekerjaan lagi kita ke keefsi."
"Nggak usah janji, mama kan lagi nganggur?"
"Ish, ... kamu kalau ngomong suka bener?"
"Emang bener kan? makanya kita cuma keliling-keliling gini doang setiap hari? lagian kenapa nggak minta sama papa aja sih? papa kan uangnya banyak."
"Nggak boleh minta-minta sama papa."
"Kenapa? kan udah aku bilang kalau papa uangnya banyak?"
"Dari mana Aslan tahu kalau uang papa banyak?"
"Rumah kita yang dulu besar, papa punya mobil yang keren, banyak juga. Terus kerjanya di gedung yang tinggiiiiii banget." bocah itu mengingat setiap kali sang ayah membawanya ke tempat kerja.
"Sementara kita tinggalnya di apartemen yang kecil." lanjut Aslan dengan suara pelan.
"Aslan maunya sama papa ya, biar tinggalnya di rumah yang besar, naik mobil yang bagus. Tidak seperti mama yang cuma ngontrak dan setiap hari ke sekolah jalan kaki?"
"Nggak, bukan gitu." Aslan mendongakkan wajahnya dengan raut panik.
"Mungkin seharusnya Aslan tinggal dengan papa, biar tidak susah seperti mama."
"Nggak mau! di rumah papa aku nggak ada temen. Papanya selalu kerja, aku di tinggalin sama tante yang galak."
"Hum?" Kaysa menarik sebelah alisnya ke atas.
"Tantenya nggak suka sama aku."
Kaysa terdiam.
"Mama jangan marah, kan aku cuma nanya." Aslan meraih tangan ibunya. "Ya udah nggak usah minta sama papa, kita makan nasi padang aja biar kenyang. Tapi belinya di bungkus ya, biar nasinya banyak. Aku mau makannya di rumah." bocah itu mengalihkan topik pembicaraan.
"Mama, ayo beli nasi padang yang di belokan itu?" Aslan menarik-narik lengan Kaysa, hingga perempuan itu berjalan mengikutinya.
*
*
Rama tiba di depan rumah sederhananya pada sore hari. Pekarangan depan terlihat tak terurus. Paving blok di tumbuhi rumput liar, dan bunga-bunga yang tumbuh tak terkendali. Tentu saja, waktu tiga bulan itu tidaklah sebentar. Apa lagi sepeninggal Livia, tempat itu hanya dia bersihkan asal saja.
"Mas Rama? Sudah pulang?" seorang tetangga di samping rumah menyapanya.
"Sudah bu. Baru saja."
"Alhamdulillah, tugasnya lancar Mas?"
"Lancar."
"Syukurlah. Nanti pergi lagi?" perempuan itu mendekati pagar pembatas.
"Belum tahu, tapi sekarang istirahat dulu."
"Begitu ya?"
Rama menganggukka kepala.
"Soalnya dari kemarin suka ada yang datang ke sini nyari Mas Rama. Kadang tanya udah pulang atau belum?"
"Cari saya? siapa?"
"Kurang tahu Mas. Belum pernah ke sini."
"Laki-laki?"
"Perempuan Mas."
"Perempuan?"
"Iya, kadang-kadang bawa anak kecil. Anak laki-laki seumuran cucu saya lah."
Rama terdiam, dia mengingat siapa saja kenalannya.
"Istrinya ya? Kok saya nggak tahu kalau mas Rama udah nikah? kita kan tetanggaan dari bapaknya masih ada?"
Rama sedikit tertawa.
"Ibu ngaco, mana ada saya punya istri?"
"Ya habis kayaknya dia serius nyari nya. Apa lagi seminggu ini hampir tiap hari datang. Nggak tanya-tanya lagi sih, dia cuma berdiri aja di depan pagar. Habis itu, pergi." jelas si tetangga.
"Oh, ...
"Atau mungkin saudara dari kampung?"
Rama kembali mengingat. Tapi rasa-rasanya dia tak memiliki kerabat dengan ciri-ciri yang di jelaskan. Lagi pula semua kerabatnya yang di Bandung tidak ada yang dekat dengannya, apa lagi sampai bersedia berkunjung. Itu mustahil.
"Ya udah lah, mungkin besok juga dia balik lagi." perempuan itu mengakhiri percakapan.
"Oh iya bu, mungkin."
"Kalau begitu saya pamit ya mas?"
"Iya bu, terimakasih."
***
"Siapa pula yang datang?" pria itu melemparkan tasnya ke atas meja berdebu. Membuka beberapa tirai yang tertutup rapat, lalu menarik kain yang menutupi sofa, kemudian menjatuhkan tubuh lelahnya di sana. Mencoba memejamkan mata sebentar untuk beristirahat.
Setelah menjalani pelatihan khusus selama tiga bulan rasanya di membutuhkan waktu untuk beristirahat. Dan bisa di pastikan dirinya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Rama sama sekali tidak menyangka bahwa pelatihannya untuk menjadi anggota pasukan khusus akan seberat itu. Dia memang tahu pasti akan menjalani latihan ekstrim, tapi siapa pun tidak ada yang mengira akan seekstrim itu.
"Livia, kakak sudah berhasil. Kamu bangga kan?" dia meraih foto sang adik yang menempel di dinding.
Gadis belia dengan seragam putih biru yang pengambilan fotonya dia ingat pada saat kelulusannya dari akademi kepolisian.
"Tapi sabar ya, kakak belum bisa menemukan orang jahat yang telah menyakiti kamu. Tapi kakak janji, kakak akan melakukannya." katanya lagi, lalu memeluk benda itu di dadanya.
*
*
Kaysa merasa bahagia bukan kepalang, ketika di percobaannya yang terakhir mengunjungi rumah milik Rama setelah mengantarkan Aslan ke sekolah dan menemukan pria itu yang tengah sibuk membersihkan rumput di pekarangan rumahnya.
Dia berdiri di dekat pagar setinggi dadanya itu dengan perasaan yang campur aduk. Gembira, takut juga gugup.
Gembira karena akhirnya dia menemukan Rama. Takut karena mungkin saja pria itu akan marah menolak kedatangannya. Ingat kesalahan apa yang jelas tidak di perbuatnya, tapi tidak juga bisa dia sangkal. Dan gugup entah karena apa.
"Rama?" panggilnya, pelan dengan kedua tangan memegangi pintu pagar dengan erat.
Pria itu menoleh, lalu memutar tubuh setelah mengenali wajah Kaysa.
Mereka sama-sama tertegun di tempatnya masing-masing. Namun perempun itu segera membukan kunci slot di bagian atas pagar, lalu mendorong benda tersebut sehingga terbuka dan dirinya dapat masuk.
Langkahnya pelan dan ragu-ragu, namun dia kuatkan tekad untuk menemuinya. Meski mungkin akan mendapatkan penolakan dari pria itu.
Kedua sudut bibirnya dia tarik untuk membentuk sebuah senyuman, dan membuatnya semanis mungkin. Siapa tahu akan bisa meluluhkan hati pria itu yang wajahnya tampak datar tanpa ekspresi.
"Hai." sapanya ketika jarak mereka sudah cukup dekat.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Rama malah bertanya.
"Aku ... mencari kamu."
"Ada apa?" pria itu mengerutkan dahi.
"Mau minta maaf." Kaysa langsung pada maksudnya.
"Minta maaf untuk apa?"
"Untuk ..." mereka sama-sama saling memindai keadaan masing-masing.
Kaysa dengan stelan rok hitam dan kemeja putih karena berniat kembali melamar pekerjaan ke tempat lainnya setelah gagal di interview kemarin, dan Rama yang hanya mengenakan celana training dan kaus tipis berwarna abu-abu. Yang bagian lehernya sudah basah oleh keringat karena begitu selesai olah raga pagi dia langsung membersihkan halaman rumahnya yang di penuhi rumput liar. Kulit wajahnya kini terlihat lebih gelap dari terakhir mereka bertemu, tentu saja mungkin di sebabkan oleh latihan kerasnya di kamp selama tiga bulan terakhir.
"Ma-maaf. Soal berita itu aku tidak tahu apa-apa. Semuanya mereka rubah menjadi seperti yang kita lihat. Tapi aku bersumpah, aku tidak tahu." Kaysa berujar. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi kali ini, dan usahanya harus berhasil.
Rama tampak menghela napas dalam-dalam.
"Ram, aku bersumpah." Kaysa lebih mendekat lagi.
"Masih saja di bahas? padahal sudah tiga bulan berlalu kan?" pria itu menjawab.
"Aku tahu, tapi tetap saja. Aku belum sempat menjelaskannya dan kamu sudah pergi."
"Ck! tidak usah repot-repot." pria itu menjatuhkan alat pencabut rumputnya ke tanah.
"Tapi aku tetap harus melakukannya."
"Tidak usah Kay, tidak perlu."
"Tetap saja."
"Sudah tidak penting."
Kaysa terdiam.
"Aku bahkan sudah lupa." pria itu tergelak. "Aku tidak punya waktu untuk memikirkannya. Jadi ... sudahlah." katanya lagi.
"Apa?"
"Tidak usah di pikirkan. Kalau soal reputasiku yang kamu khawatitkan itu sama sekali tidak berpengaruh untukku. Aku sudah terbiasa di sebut polisi bermasalah, bukan hal besar." Rama tertawa lagi.
"Jadi, ... tidak apa-apa. Kamu bisa tenang sekarang."
Kaysa tertegun.
"Hanya segitu saja?" dia bereaksi, dan sebenarnya merasa kecewa karena tanggapan pria di depannya hanya biasa saja.
"Lalu apa maumu? aku marah-marah dan menamparmu begitu?"
"Setidaknya kamu bicara."
"Aku sudah bicara, lalu apa?"
"Aku pikir kamu akan berteriak, dan memaki. Lalu mengusirku dari sini."
"Karena di pemberitaan aku sebagai petugas kasar dan bermasalah jadi kamu mengira jika aku harus begitu ya?"
"Tidak juga, tapi ... aku kira kamu masih marah. Aku bahkan tidak bisa tidur nyenyak selama tiga bulan belakangan karena memikirkanmu."
"Hah? memikirkan aku?"
"Maksudku, memikirkan masalah berita itu dan semua yang ada di dalam wawancaranya. Aku pikir akan menyulitkanmu, dan selebihnya ...
"Tidak ada pengaruhnya." Rama memotong ucapannya.
"Beruntungnya aku pergi setelah pemberitaan itu, tidak tahu kalau masih di sini. Tapi mereka sudah menanganinya dengan baik."
"Benarkah?"
"Iya. TV 7 di larang menghadiri konferensi pers ataupun memuat berita apa pun yang berhubungan dengan kepolisian atau kasus-kasus yang berhubungan dengan itu. Situs resminya bahkan sudah di blokir, apa kamu tidak tahu?"
Kaysa kembali tertegun. Dia memang tidak tahu apa-apa, karena sejak kasus pemberitaan soal Rama tiga bulan yang lalu dirinya memblokir segala akses yang memungkinkannya kembali berhubungan dengan TV 7 dan siapa pun yang berkaitan dengannya.
"Aku ... memang tidak tahu soal itu."
"Benarkah? lalu bagaimana kamu bekerja?"
"Aku ... sudah tidak bekerja lagi di sana."
"Oh ya?"
"Iya. Aku bahkan sudah tidak lagi mencari berita sejak yang terakhir itu."
"Kenapa?" Rama bersedekap.
Kaysa menggelengkan kepala.
"Aku malas, apa bagusnya membuat berita yang akhirnya semua fakta di dalamnya di pelintir demi kepentingan rating dan popularitas? rasanya hasil kerjamu sia-sia, dan idealisme mu di nodai. Aku bukan wartawan yang seperti itu."
Rama mendengarkan setiap ucapannya dengan tenang.
"Jadi aku putuskan untuk berhenti saja, aku sudah tak lagi punya harapan di dunia jurnalis. Aku patah hati."
Tawa menyembur begitu saja dari mulut Rama, dan rasanya percakapan ini mulai lucu.
"Malah tertawa?"
"Aneh sekali mendengar perempuan dewasa sepertimu bicara begitu."
"Memangnya kenapa? aku kan kecewa. Memangnya perempuan dewasa tidak boleh merasa kecewa ya? setelah kita bekerja begitu keras untuk mendapatkan hasil yang baik, tapi kenyataan tidak berpihak kepada kita. Apakah aku salah kalau merasa kecewa? karena sepertinya semua yang aku lakukan sia-sia saja." Kaysa mendengus kasar.
"Kamu sedang curhat?" ejek Rama. Entah mengapa dia merasa senang dengan situasi ini.
"Bisa juga di sebut begitu. Bukankah aku menyedihkan? gagal berumah tangga, karirku tidak berhasil, lalu usahaku juga tidak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan. Lalu setelah ini apa lagi? di usir dari apartemen?"
Rama kembali tertawa.
"Kamu menertawakan aku ya? betapa konyolnya ini, selama tiga bulan hidupku tidak tenang karena merasa bersalah, dan aku khawatir kepadamu yang tak ada kabar sama sekali, tapi kamu malah menertawakan aku."
"Habisnya kamu lucu. Terlalu overthinking, dan mengira segalanya berakhir buruk."
"Karena begitu biasanya. Apa pun yang aku lakukan selalu berakhir buruk. Rumah tangga, Aslan, dan sekarang pekerjaan."
Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal karena merasa percakapan ini mulai menjurus ke arah pribadi.
"Ah, ... aku jadi ngelantur kan?" Kaysa menepuk kepalanya sendiri.
"Kamu mau masuk?" tib-tiba saja Rama menawarkan.
"Ap-apa?"
"Apa kamu mau masuk? berlama-lama berdiri di sini nanti kamu pusing karena kepanasan." ulang pria itu.
"Mm ...
"Mungkin mau minum teh sebentar?" tawarnya lagi, yang segera di sesalinya ketika dia menyadari ucapannya.
"Minum teh?" Kaysa menatap curiga. "Terimakasih tapi sepertinya tidak, aku harus mengirimkan surat lamaran hari ini. Kalau tidak, bulan depan kami harus keluar dari apartemen." tolaknya yang kemudian pergi begitu saja tanpa permisi. Meninggalkan Rama yang terdiam dengan mulut sedikit menganga.
*
*
*
Bersambung ...
😂😂😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Kustri
kematian Livia smoga bs terungkap & menangkap pelaku
curiga ama suami & kepala tv7
2023-07-14
0
Dewi Tarra
kenapa kaysa gk cari pekerjaan lain selain jdi kontributor berita?
2023-01-26
1
Devi Handayani
iihh kamu anak kecill.... kok perkataanmu bener semua sih😅😅😅
2022-08-31
1