*
*
"Ayo cepat sayang, mama hampir terlambat!" mereka berjalan tergesa menuju sekolah.
"Kan udah aku bilang, mama jahit sepatunya malam. Tapi baru mama kasih ke tukang sol tadi subuh, jadinya kita telat!" Aslan menggerutu.
"Iya, maaf. Mama yang salah."
"Lain kali kalau ada apa-apa tuh langsung di kerjain dong, jangan di nanti-nanti." bocah itu mengomel lagi.
"Sipa bos, mama akan ingat." mereka kini sudah tiba di depan gerbang.
"Terus soal bukunya gimana? kan aku malu kalau pinjam terus? mana di ledekin terus lagi sama temen-temen."
"Iya, nanti mama usahakan ya? Aslan yang sabar, dan doakan mama terus, oke?" Kaysa mengusap puncak kepala putranya.
"Hu'um." Aslan menganggukkan kepala. "Mama harus rajin kerjanya, biar dapat uang." sang putra menyemangati.
"Baik pak, laksanakan." perempuan itu berdiri tegak sambil melakukan gerakan penghormatan.
"Mentang-mentang yang mau di wawancaranya polisi, mama jadi gitu?" Aslan mencibir.
"Harus, biar dia terkesan."
"Terkesan karena apa? Emangnya mama mau wawancara atau mau apa sih?"
"Pokoknya, gitulah. Nanti kamu juga ngerti."
"Ah, iya aku lupa. Aku kan masih kecil, nggak ngerti urusan orang dewasa yang bikin pusing." ucap Aslan dengan ekapresinya yang lucu.
"Nah itu tahu. Sudah, sana masuk. Mama harus buru-buru ke GBK."
"Nanti pulangnya?"
"Mama jemput, kamu seperi biasa tunggu di sini. Kalau mama belum datang jangan dulu pergi ya?" pesan sama yang selalu Kaysa ucapkan.
Aslan memganggukkan kepala.
"Jangan ikut orang asing, jangan juga percaya kalau ada yang bilang dia teman mama. Mama tidak akan menyuruh orang lain untuk menjemput kamu." perempuan itu mengingatkan.
"Oke."
"Bye Aslan, mama pergi."
"Bye mama."
*
*
Rama sudah berlari sebanyak tiga putaran, kemudian beberapa kali sprint, dan latihan fisik yang cukup berat sebelum akhirnya dia melakukan gerakan pendinginan dan berhenti.
Pria itu beralih ke tempat yang lebih teduh, kemudian menenggak air mineral yang di sodorkan Kaysa kepadanya. Walau sempat membuat pria itu tertegun sebentar karena merasa heran.
"Lain kali, kalau kamu mau melakukan wawancara dengan siapa saja, datanglah lebih awal. Setidaknya tepat waktu. Jangan seperti ini." pria itu mengomel. Pasalnya perempuan itu datang sangat terlambat dari waktu yang telah di janjikan.
"Iya pak, maaf." Kaysa menjeda kegiatannya dengan kemera miliknya setelah merekam kegiatan latihan pria itu sejak dirinya tiba di gelanggang olah raga terbesar se Indonesia itu.
"Kamu beruntung saya sedang cuti, jadi tidak ada kegiatan lain selain latihan." ucap Rama lagi.
"Iya pak."
"Ada lagi yang perlu kamu rekam?" pria itu duduk di pinggiran lintasan lari seraya menyeka wajahnya yang berkeringat.
"Kalau soal latihan sih sudah cukup pak. Tinggal wawancaranya saja. Kecuali kalau bapak juga bersedia kegiatan sehari-harinya saya rekam juga." perempuan itu terkekeh.
"Memangnya perlu juga?" Rama mengerutkan dahi.
"Maunya sih gitu. Saya berpikir untuk membuat semacam vlog yang menayangkan kegiatan dari awal pagi sampai malam gitu."
"Untuk tayangan tivi juga?"
"Bukan pak. Untuk konten You Tube."
"Hmm ...
"Boleh nggak pak?" Kaysa meletakan kameranya di samping.
Rama menatapnya masih dengan dahi berkerut, sementara Kaysa malah menyunggingkan senyum.
"Tidak." jawab pria itu seraya memalingkan pandangan. Entah mengapa senyum perempuan di samping membuatnya merasa berdebar-debar.
"Lah, ... kirain boleh?"
"Cari yang lain saja, saya banyak pekerjaan." lanjut pria itu yang kembali menenggak minumannya.
"Bapa bilang sedang cuti?"
"Memangnya kamu pikir orang cuti tidak punya kegiatan apa?" nada suara pria itu naik satu oktaf.
"Oh beda ya, cutinya orang biasa dengan cutinya aparat? saya kira sama saja pak."
"Jelas beda lah."
"Baru tahu saya ..." Kaysa kembali mengatur kameranya.
"Bapak sudah siap?" dia mengarahkan kameranya pada wajah Rama.
Wajah dengan rahang tegas dan sedikit bulu halus yang tumbuh di sekitarnya.
"Siap untuk apa?"
"Wawancara. Kan saya datang kesini untuk wawancara bapak. Masa mau kencan?" jawab Kaysa sekenanya.
Rama menarik satu sudut bibirnya ke atas. Baru kali ini dia menemukan wartawan yang berani berkata begitu kepadanya. Apa lagi mereka baru saja bertemu.
"Kamu ini beneran wartawan atau apa sih?" pria itu bereaksi.
"Kontributor pak."
"Masih wartawan?"
Kaysa menurunkan kameranya.
"Bisa di sebut begitu, tapi saya menyebutnya kontributor. Wartawan lepas yang mencari berita sendiri untuk di kirim ke stasiun televisi."
"Berarti bukan wartawan tetap?"
"Bukan."
Pria itu tertegun.
"Bisa kita mulai wawancaranya sekarang? waktu saya nggak banyak." ucap Kaysa lagi yang kembali mengarahkan kamera mininya ke wajah pria di depan.
"Baiklah, silahkan." jawab Rama.
Kemudian Kasya memulai sesi wawancaranya.
Sekitar dua puluh pertanyaan dia lontarkan kepada polisi yang sedang cuti karena hukuman atas pelanggaran yang dilakukannya tersebut. Termasuk peristiwa pengejaran perampok yang terjadi sebelumnya hingga menyebabkan para pelakunya tewas di tempat akibat tindakannya.
"Apa bapak sudah berkeluarga?" pertanyaan di akhir dia lontarkan, membuat Rama terdiam.
"Pak?"
"Maaf, kamu bertanya soal hal pribadi."
"Memangnya ada larangan seorang perwira polisi menjawab pertanyaan seperti itu?"
"Hanya saja itu terdengar tidak penting."
"Untuk saya penting pak."
"Hah?"
"Maksudnya, mungkin untuk netizen penting. Nanti mereka akan mencari tahu setelah melihat tayangan ini."
"Begitukah?"
"Iya."
Rama terdia lagi.
"Jadi, apa bapak sudah berkeluarga?" Kaysa bertanya lagi.
Pria itu menghembuskan napas sedikit keras. Mengapa juga harus ada pertanyaan semacam itu, pikirnya.
"Apa bapak sudah berkeluarga?" tanya Kaysa lagi.
"Belum." akhirnya Rama menjawab.
"Baiklah. Pacar mungkin?"
"Kenapa pertanyaannya menjadi lebih pribadi?"
"Hanya jawab saja pak."
"Ck!" pria itu berdecak kesal.
"Pacar, tunangan, calon istri?"
"Tidak." Rama memutar bola matanya.
"Tidak? bapak jomblo dong?"
"Pertanyaan kamu kurang ajar, Kaysa." dia menatap ke arah kamera dengan tatapan garang.
"Maaf pak, nggak berani." Kaysa terkekeh kemudian menghentikan rekaman kameranya.
"Hanya untuk tambahan konten." lanjutnya, yang membereskan peralatannya. Kamera, ponsel, beberapa kertas dan hal-hal kecil lainnya.
"Baiklah, terimakasih atas waktunya pak. Serius, ini sangat berarti karena bapak sudah membantu saya." dia memasukkan peralatannya pada ransel yang di bawanya.
"Nanti boleh saya hubungi kalau ada yang harus di tambahkan?" perempuan itu bangkit.
"Boleh." Rama menjawab dengan malas.
"Baik, kalau begitu saya pamit?" Kaysa mengulurkan tangan. "Sekali lagi terimakasih." katanya, sambil tersenyum.
Sementara Rama mendongak untuk menatapnya. Dan tak lama kemudian dia menerima uluran tangannya.
"Saya pamit pak." ucap Kaysa, yang kemudian pergi.
*
*
Kaysa berlari begitu dia turun dari ojek onlinenya, menuju ke pos satpan di mana Aslan selalu menunggu. Menyadari dirinya terlambat sekitar sepuluh menit, dan yakin bocah itu akan mengomel lagi. Tapi Kaysa tak peduli, hatinya gembira bukan kepalang karena hari ini dia berhasil mendapatkan wawancara atas sebuah berita bagus. Dia ingin membaginya dengan putra semata wayangnya yang pasti juga akan merasa senang, sama seperti dirinya.
"Aslan, ayo kita pulang?" dia merangsek ke dalam pos satpam, namun seketika Kaysa tertegun.
"Aslan belum keluar pak?" dia bertanya kepada satpam.
"Sudah bu, tadi." jawab pria itu.
"Terus ke mana?"
"Bukannya tadi sudah ada yang menjemput?"
"Hah? siapa?"
"Katanya papanya."
"Papanya?" wajah Kaysa memucat.
"Bilangnya begitu. Dia juga menunjukkan ktpnya dan foto sama ibu. Makaya saya percaya, dan kasih Aslan untuk dia bawa."
"Tidak mungkin!" Kaysa kemudian berlari keluar.
*
*
*
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Hearty💕💕
Disini awalnya
2023-10-21
0
Pepen Sumarna
ini cerita baru dimulai keseruannya...
2022-12-25
1
Devi Handayani
semoga perjuangan membawa kebahagiaan 😌😌
2022-08-31
0