*
*
"Hhh ... " Kaysa menghempaskan punggungnya pada dinding luar kelas di mana putranya bersekolah setelah gagal mendapatkan wawancara yang di butuhkannya.
Di luar dugaan, ternyata pekerjaannya kali ini tidaklah mudah. Padahal bahan wawancara sudah dia siapkan, ketika dikiranya target yang akan dia wawancarai dapat di temui dengn mudah seperti target sebelumnya. Namun kasus yang membelit pria itu rupanya lebih rumit dari apa yang dia tahu.
Dia berniat menghentikanya sampai di sini saja dari pada harus menghabiskan waktu percuma tanpa hasil. Lantas, apa yang akan dia lakukan dengan hasil wawancara sebelumnya?
"Mama Aslan?" sapa seorang perempuan disampingnya, yang Kaysa kenali sebagai ibu dari teman sekelas anaknya.
"Ya?"
"Di panggil kepala sekolah."
"Saya?" Kaysa menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya, dicarinya sih tadi pagi, tapi mama Aslannya langsung pergi."
"Ada apa ya?"
"Kurang tahu."
"Ya sudah, saya ke sana dulu."
"Iya."
***
"Maaf bu Kaysa. Bukannya kami tidak mengerti dengan keadaannya, tapi proses belajar mengajar harus terus berlangsung. Dan dalam hal ini untuk Aslan. Kami lihat Aslan tidak punya buku yang di perlukan, dan itu akan menghambat pembelajaran untuknya. Selama ini Aslan hanya meminjam dari teman sekelasnya, tapi itu tidak efektif." ucap guru di depan kepala sekolah setelah mereka berdiskusi beberapa saat sebelumnya.
"Iya bu, maafkan saya belum bisa menyediakannya untuk Aslan. Tapi apa bisa sekolah meminjamkan buku-buku itu untuk anak saya? sampai saya mampu menyediakannya sendiri." Kaysa menjawab.
"Kalau di sekolah kami bisa saja meminjamkan. Tapi bagaimana jika di rumah? bagaimana Aslan akan belajar? karena ketentuan sekolah melarang kami membiarkan siswa membawa pulang buku milik sekolah. Jadi jalan satu-satunyan Aslan harus punya sendiri Bu."
Kaysa terdiam.
"Belum lagi untuk pakaian olah raga dan batik. Kami lihat Aslan tidak memakai itu di hari yang di tentukan padahal ini sudah tiga bulan anak bu Kaysa sekolah di sini."
"Soal itu, saya masih berusaha mengadakannya Bu. Sekali lagi maaf."
"Iya, tapi kami harap jangam terlalu lama, kasihan Aslan. Padahal semua teman-temannya sudah punya sesuai aturan sekolah, hanya dia sendiri yang belum. Kami hanya takut Aslan nantinya akan merasa minder karena tidak sama dengan teman-temannya."
"Iya bu, akan saya usahakan." ucap Kaysa.
"Saran kami, kalau bu Kaysa tidak mampu lebih baik membuat surat keterangan tidak mampu saja, agar Aslan dapat bantuan dari pemerintah. Dan akan kami usahakan prosesnya."
Kaysa menggigit bibirnya keras-keras. Disinilah dia merasa gagal sebagai seorang ibu karena tidak bisa memenuhi kebutuhan anakanya, bahkan sekedar untuk mendapatakan pendidikan saja mereka kesulitan, padahal sekolah dasar sudah gratis. Dia tak bisa membayangkan jika saja sekolah anaknya harus membayar seperti di tempat lain, betapa dirinya akan sangat kesulitan.
"Mama?" suara Aslan membuyarkan lamunannya.
"Kerjanya udah? kok Mama udah ada di sini?" bocah itu brtanya. Dia bahkan sudah keluar dari kelasnya.
"Sudah, tapi ...
"Sepatu aku robek pas tadi main bola." Aslan menundukka kepala untuk melihat ujung sepatunya yang terkoyak.
Kaysa kembali menghela napasnya seolah ada beban yang sangat berat di pundaknya.
"Kenapa sampai robek?" perempuan itu berjongkok.
"Nggak tahu, mungkin karena kekecilan."
"Masa?"
"Ini udah agak sempit mama." Aslan menggerak-gerakan jari kakinya yang terbungkus kain kaus kaki.
"Astaga! padahal buat makan saja mama masih harus berpikir keras, ditambah lagi hal semacam ini." dia melihat ke dalam tas kecilnya, di mana masih ada dua lembar uang seratus ribuan sisa penjualan cincin kemarin. Setelah dia pakai untuk membayar sewa hunian sederhananya, dan membeli sebagian kebutuhan mereka.
"Di jahit aja ma, kayak di film. Kan masih bisa di pakai?"
"Katanya kekecilan?"
"Iya, tapi kalau beli kan mama nggak ada uang." Aslan dengan suara parau.
"Ck! sudahlah, kita pulang saja dulu. Soal sepatu kita pikirkan lagi nanti."
***
"Nah, setelah ini mama harus pergi lagi. Aslan bisa kan mama tinggal?" mereka tiba di apartemen kecil itu.
"Kerja lagi?"
"Iya. hanya sebentar, tidak apa-apa?"
"Oke."
"Baiklah. Makanan sudah ada di sini kalau kamu lapar. Ingat, tidak boleh menyalakan kompor atau apa pun selain tivi ya?" pesan yang selalu dia ucapkan sebelum pergi.
"Iy mama."
Dan perempuan itu pun segera pergi.
Dia tak boleh menyerah begitu saja. Sudah sejauh ini, tidak mungkin dia membiarkan keputus asaan mengalahkan semangatnya. Segala hal masih bisa di usahakan bukan?
Selama ini mereka bisa bertahan dan melakukan banyak hal, dan Kaysa yakin Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan umatnya.
Semangatlah Kay, ini hanya kesulitan kecil. dia menyemangati dirinya sendiri.
*
*
Rama terkekeh getir, ketika mendapatkan hasil dari pendaftaran Kopasusnya secara online minggu lalu. Seperti yang sudah di duga, pengajuannya di tolak untuk ke tiga kalinya, dan kesempatannya benar-benar berakhir kali ini.
Tentu saja, jalur yang dia pilih tidak memungkinkan untuk membawanya mewujudkan mimpinya dan sang ayah. Bagaimana seorang polisi bisa menjadi anggota pasukan khusu dari lembaga militer lain? walaupun syaratnya untuk masuk kesana merupakan kemustahilan, tapi dia bersikukuh menggunakan jalur prestasi dan kemampuan. Namun tampaknya itu saja tidaklah cukup.
Mungkin mimpi hanyalah tinggal mimpi, seperti ketika dirinya tak lolos dalam salah satu tes awal masuk akademi militer untuk menjadi anggota TNI, namun sang ayah tetap menyemangati dan mendorongnya untuk mendaftar ke akademi kepolisian. Dan hal tersebut berhasil. Dirinya lolos dan bisa menjalani pendidikan di akademi kepolisian. Dan menjadi salah satu lulusan terbaik di sana.
Dia menjalani karir sebagai polisi dan menangani beberapa hal bersama teman satu angkatannya. Di kantor kepolisian setempat dan terkadang masuk ke dalam tim gabungan untuk menghadapi banyak hal.
Hingga sebuah peristiwa memilukan tentang kematian adiknya merenggut segala hal darinya. Terutama kesabarannya menghadapi satu masalah.
"Bersabarlah, karirmu memang di kepolisian Ram." Fandi membesarkan hatinya, pria itu memintanya untuk datang ke tempat mereka berdinas.
"Tapi kepolisian pun sudah menyerah dengan saya pak." Rama tergelak.
"Tidak jika kau mau memperbaiki diri."
Rama terdiam.
"Potensimu baik, dan kau adalah anggotaku yang paling bisa ku andalkan. Hanya saja emosimu kadang tidak terkendali."
"Kau butuh memperbaiki itu saja, dan semuanya akan kembali normal. Kau bisa kembali bekerja dan semuanya akan berjalan seperti biasa."
"Permisi pak, selamat siang. Bisa saya bertemu dengan komandan Fandi?" suara seorang perempuan terdengar dari arah luar kantor Fandi.
Dua pria di dalam menoleh ke arah pintu yang terbuka.
"Komandan sedang ada tamu Bu." jawab petugas di depan.
"Bisakah saya bertemu beliau?"
"Sebentar." pria tersebut beranjak ke dalan kantor atasannya.
"Maaf Dan."
"Wartawan itu lagi?" Fandi lebih dulu bertanya.
"Betul. Apa kita akan menerimanya lagi atau saya suruh pergi?"
"Entahlah, karena yang dia cari sekarang ada di sini." jawab Fandi.
"Jadi bagaimana, Dan?"
Fandi kemudian menoleh kepada Rama.
"Apa?" pria itu bereaksi.
"Sepertinya kau bisa mengisi sedikit waktumu yang membosankan itu dengan sesuatu yang bermanfaat." ucap sang atasan sambil menyeringai.
"Soal wawancara itu? tidak mungkin." Rama bangkit dan dia bermaksud pergi ketika di saat yang bersamaan seorang perempuan berjalan ke arah pintu yang terbuka.
"Ah, ... pak Rama?" Kaysa dengan ekspresinya yang sumringah.
Pria itu terhenyak, seorang wanita cantik dengan penampilan casual mengenalinya? mereka pasti bercanda.
"Saya Kaysa pak, yang kemarin menelfon bapak." perempuan itu mengulurkan tangan.
Rama menatap uluran tangan dan wajahnya secara bergantian.
Kaysa tiba-tiba saja menyunggingkan senyum, dia merasa kesempatannya terbuka lebar kali ini.
Bukankah aku melakukan hal yang benar? gumamnya dalam hati.
"Ee ...
"Saya kontributor dari TV 7, sedang menjalankan program dari stasiun televisi kami untuk ulang tahun Bhayangkara bulan depan pak." alasan yang sama dia lontarkan, berharap hal tersebut akan berhasil.
"Ya, lalu?" Rama dengan keningnya yang berkerut.
"Saya mau melakukan wawancara kepada bapak." jawab Kaysa dengan tangannya yang masih di posisi semula.
"Wawancara untuk apa?" entah mengapa pria itu tiba-tiba merasa kesal.
"Untuk program acara saya pak. Judulnya, Polisi And Me." perempuan itu membual.
Demi berita! batinnya lagi.
"Ini bapak nggak mau salaman sama saya gitu pak? saya kan pegel." Kaysa menggerakkan tangannya yang masih terulut.
"Bukan muhrim." pria itu melenggang keluar melewati Kaysa. Namun kemudian dia berbalik, membuat perempuan itu yang bergegas mengikutinya malah menabraknya.
"Ugh!" wajah Kaysa terbenam di dadanya, dan seketika wangi maskulin menguar di indra penciumannya.
"Eee ..." Rama bergeser.
"Saya pamit, Dan." katanya, sedikit terkejut.
Fandi menganggukkan kepala, dan pria itu pun berjalan keluar dari bangunan tersebut.
"Pak, saya mohon sebentar saja. Saya butuh berita ini pak." Kaysa mengejarnya.
"Lebih baik cari orang lain saja," pria itu berjalan tergesa menuju mobilnya.
"Sudah pak, kemarin."
"Terus kenapa juga masih harus mewawancara saya?"
"Karena saya butuh bapak."
"Hum?" Rama berhenti, kemudian menoleh.
"Maksud saya butuh wawancara dengan bapak juga." Kaysa meralat ucapannya.
"Cari saja orang lain." ucap Rama yang hampir masuk ke dalam mobilnya.
"Tai saya butuhnya bapak."
Pria itu tertegun.
"Butuhnya wawancara dengan petugas yang terlibat pengejaran perampok minggu lalu." jelas Kaysa.
"Kasusnya sudah di tutup, lagi pula mereka semua mati." suara Rama terdengar datar dan dingin.
"Itu yang mau saya jadikan berita."
"Berita tidak penting." Rama hampir menutup pintu.
"Bagi saya penting pak." ucapan Kaysa lagi-lagi menghentikan gerakannya.
"Bagi saya penting." ulang perempuan itu. "Saya butuh wawancara ini untuk melanjutkan hidup." akhirnya dia menggunakan masalah hidupnya, berarap pria itu terenyuh.
"Apa?"
"Kalau saya dapat meliput masalah ini, pekerjaan saya akan di promosikan. Kalau berita ini lolos, televisi punya program berita baru, lembaga kepolisian pun mendapat keuntungan, dan bapak sendiri ...
"Saya nggak gila popularitas tahu!"
"Bukan untuk popularitas pak, setidaknya ada bahan tontonan baru untuk masyarakat."
Pria itu tertegun lagi.
"Saya mohon pak. Saya hanya wartawan lepas yang dibayar hanya jika membawa bahan pemberitaan untuk stasiun televisi. Dan saat ini wawancara dengan bapak lah yang saya andalkan."
"Memaksa sekali ya kamu?" Rama bergumam.
"Demi karir pak."
Pria itu mendengus.
"Saya mohon. Saya janji ini hanya wawancara biasa. Setelah itu saya tidak akan mengganggu bapak lagi." Kaysa setengah mengancam.
"Ck!" Rama berdecak.
"Please pak."
Dia menatap wajahnya yang imut-imut menggemaskan.
Menggemaskan?
Dua mata bulatnya yang berwarna coklat dengan bulu matanya yang lentik saat dia berkedip. Hidung bangirnya yang menambah pesona pada wajahnya. Dan jangan lupakan pula bibirnya yang sensual.
Ah, sial! Rama menggelengkan kepala.
"Tetap tidak bisa pak?" Kaysa dengan raut kecewa. "Baiklah, ... sepertinya saya harus ...
"Datanglah besok ke BGK." ucap Rama kemudian.
"Apa?"
"Saya latihan setiap pagi di GBK, datanglah kalau kamu mau wawancara." katanya, yang benar-bemar menutup pintu mobilnya. Mengenakan kacamata hitam, kemudian pergi.
Meninggalkan Kaysa yang tertegun tanpa kata.
*
*
*
Bersamnung ...
Cieee ... mbak Kay berasil. 😆😆
Hati-hati mbak, siapkan mental dan hatinya untuk menghadapi kang Korma.
SEMANGAT!😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
NurKarni
typo nya kebangetan/Facepalm/
2023-11-04
1
🌺@Asiihh_2995🌹😊
rejeki nemplok😁
2023-08-03
0
Afrahun Nazli
kalau gak ada duit dana bos apa bu kalau misalpun gak ada dana bos setidakny fotocopykanlah buku tadi untuk sianak emang berapa x lah untuk fotocopy untuk satu anak hitung2 siswa sendiri masa pihak sekolah gak bisa bantu
2023-07-05
0