*
*
"Sampah, tidak berkualitas, pasaran!" Frans melemparkan beberapa foto yang di serahkan Kaysa ke atas meja.
"Dan apa lagi ini? di mana kau mencari berita semacam ini? di got? di TPA?" terakhir dia menatap foto seorang anak kecil di antara tumpukan sampah yang menggunung.
"Kisahnya menyedihkan, pak. Dan menginspirasi juga. Tapi keseluruhan dari semua itu adalah bagaimana cara dia bertahan hidup tanpa orang tuanya yang sudah meninggal. Dia hidup dari hasil memulung barang bekas dan ...
"Dan kau ingin aku menayangkan berita klise semacam ini? yang menjual air mata dan kemiskinan demi rating televisi?" tukas Frans dengan nada tidak suka.
"Bukan begitu pak?"
"Lantas apa? masyarakat kita selalu mudah terenyuh dengan potret kehidupan semacam ini, dan itu hal standar. Hampir di semua stasiun televisi nasional menayangkannya. Tapi tidak di sini." ucap pria itu yang lagi-lagi melempar hasil jepretan kamera Kaysa dengan kasar.
"Pak, saya mohon. Setidaknya ambil salah satu dari berita yang sudah saya dapatkan dan menayangkannya, ...
"Kau tahu Kay, kau harus punya berita yang berbobot yang layak aku tayangkan. Bukannya berita-berita semacam ini. Kau tahu TV 7 itu seperti apa. Kita kantor pemberitaan paling di perhitungkan di Indonesia, dan aku harus menayangkan berita murahan semacam itu? di mana pikiranmu?"
"Setidaknya pertimbangkanlah salah satunya, saya mohon. Sementata saya akan mencari bahan berita lain yang lebih layak. Tapi saya membutuhkan pembayaran dari berita sebelumnya, pak."
"Kay, Kay ... sudah berapa lama kau bekerja di sini?"
"Enam bulan. Tapi sebenarnya bukan bekerja, saya hanya wartawan lepas, seperti yang bapak tahu."
Pria itu bangkit dari kursi kerjanya, kemudian mendekati Kaysa yang duduk di seberangnya.
"Aku sudah memberikan penawaran yang cukup bagus, bekerja penuh waktu di sini sebagai sekertarisku, tapi kau tidak mau." pria itu menyandarkan bokongnya di pinggiran meja.
"Saya tidak bisa, dan bapak tahu alasannya."
"Another klise thing, Kaysa. Bagaimana kau akan maju jika terus memikirkan hal lain selain dirimu sendiri?"
"Saya tidak bisa tidak memikirkan anak saya, dia butuh mamanya."
"Kau bisa menitipkannya di rumah orang tuamu, dan itu hal paling mudah untuk di lakukan, sementara kau bekerja kepadaku. Dan kau tahu, bayarannya cukup untuk menghidupimu dan anakmu."
Kaysa terdiam.
"Ditambah, ..." pria itu menatapnya dengan pandangan aneh. "Kau juga bisa mendapatkan hal lainnya jika kau bersedia melakukan sesuatu untukku." ucap Frans dengan pandangan tak dia lepaskan dari wajah cantik Kaysa. Mata bulat berwarna cokelat dengan hidung bangir dan bibir sensual, tentu saja menarik perhatiannya sejak pertama kali perempuan itu mengirimkan berita pertamanya di kantor berita TV 7 sekitar enam bulan yang lalu.
Ditambah rambut hitamnya yang selalu terurai menggoda meski dia menatanya dengan asal-asalan.
"Melakukan apa?" Kaysa mendongak.
"Pertama, makan malamlah denganku, lalu kau akan tahu selanjutnya." jawab Frans, dengan seringaian di wajahnya.
Perempuan berusia 26 tahun itu menghembuskan napas kasar. Lagi dan lagi pria di depannya melancarkan bujuk rayu seperti yang sudah-sudah. Dia tahu hal ini akan terjadi, tapi dirinya tak bisa pergi ke tempat lain. Karena hanya di tempat inilah dia mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktunya sebagai seorang ibu tunggal dengan satu anak berusia 7 tahun yang sangat membutuhkan perhatian.
"Maaf pak, kalau begitu lebih baik saya mencari bahan berita lain saja." Kaysa bangkit.
"Benarkah?" Frans bereaksi.
"Iya. Sepertinya saya memang harus bekerja lebih keras dari ini."
Frans mendengus pelan. Idenya untuk menjerat perempuan ini rupanya tidak berjalan mulus. Dia tetap teguh dengan pendiriannya, seperti biasa. Walau berbagai macam cara dia lakukan untuk membuatnya bertekuk lutut. Mempersulit Kaysa dengan menolak semua bahan pemberitaan yang di bawanya, padahal layak untuk di tayangkan dan membuatnya mendapatkan bayaran. Tapi rupanya dia memang wanita tangguh yang kuat menahan godaan.
"Kau kurang bersyukur Kay, padahal aku menawarkan kemudahan untukmu."
Namun Kaysa menggelengkan kepala. Kali ini dia tak ada minat untuk berdebat. Lebih baik segera pergi dan berusaha untuk mencari bahan pemberitaan lagi agar hidup dirinya dan putra semata wayangnya tetap berlangsung.
"Terimakasih pak, tapi ... maaf saya tidak bisa." jawabnya dengan tegas. "Permisi." katanya, yang kemudian pergi.
***
"Hai, sayang ... maaf mama terlambat." Kaysa berlari menghampiri sang putra yang telah menunggunya di pos satpan sebuah sekolah sd negri.
"Mama lama! hampir aku pulang sendirian." Aslan cemberut sambil bersedekap.
"Iya, maaf. Tadi mama harus bertemu pak Frans dulu untuk menyerahkan pekerjaan." jawabnya dengan ceria.
"Oh ya?"
"Iya."
"Berarti hari ini mama dapat uang?" bocah itu dengan polosnya.
"Mm ... soal itu ...
"Aku mau ke jagonya ayam!" Aslan dengan antusias.
"Aslan, mama pikir ...
"Mama udah janji kalau udah dapat uang kita akan kesana. Sekaliiiii aja, please." bocah itu menghiba.
"Tapi nak, mama hanya punya ...
"Setelah ini aku janji nggak aka minta lagi. Janji deh, sekaliiiii aja." ucap Aslan dengan wajah imut menggemaskan namun membuat Kaysa terentuh. Hatinya merasa tak tega jika harus menolak keinginannya.
Dia membuka tas selempangnya di mana ada beberapa lembar uang hasil penjualan cincin terakhirnya beberapa saat yang lalu. Yang harus dia relakan demi menyambung hidupnya dan Aslan, setelah uang honornya sebagai wartawan lepas di TV 7 keluar namun tidak dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Yang akhirnya memaksanya untuk kembali menjual satu-satunya perhiasan terakhir yang dia punya.
"Please, Ma. Setelah ini aku nggak akan minta lagi. Udah lama nggak ngerasain kesana, kalau ada papa pasti aku nggak akn minta sama mama." Aslan dengan nada sendu.
"Eh, ... kenapa jadi bilang begitu?" Kaysa berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan mereka.
"Ya kalau papa bisa, aku nggak akan minta sama mama. Tapi sayangnya papa nggak bisa."
"Ck, kalau cuma makan di sana kenapa mesti minta sama papa? mama juga bisa." akhirnya Kaysa menyerah. Dia tak sudi putranya harus mengingat pria itu lagi.
"Tapi mama kan nggak ada uang." Aslan dengan suara parau.
"Ada, kalau cuma buat makan ayam goreng kesukaan kamu."
"Masa?"
"Iya."
Wajah Aslan berubah sumringah.
"Jadi, tunggu apa lagi? ayo kita ke ke'efsi?" Kaysa bangkit kemudian meraih tangan sang putra.
"Beneran?" Aslan seakan tidak percaya.
"Iya dong, kapan mama bohong sama kamu?" mereka berjalan bergandengan.
"Nggak pernah."
"Makanya. Aslan percaya kan sama mama?"
"Hu'um." bocah itu mengangguk.
"Jadi kenapa harus memikirkan papa lagi?"
"Cuma kadang ingat aja."
"Nggak usah, mama akan memberikan semua yang Aslan butuh. Mama janji. Asalkan Aslan sabar, karena mama harus berusaha dulu, nggak kayak papa yag bisa langsung dapat. Oke?"
"Oke."
***
Satu porsi nasi dengan ayam goreng tepung kesukaan Aslan sudah habis dia lahap. Terakhir bocah itu meyesap minuman dingin bersoda di depannya dengan riang. Tidak lupa membersihkan mulutnya dengan tisyu seperti yang di ajarkan sang ibu kepadanya.
"Makasih mama, aku udah kenyang." ucap Aslan, setelah menyelesaikan kegiatan makannya.
"Sama-sama sayang, nah sekarang apa lagi yag Aslan mau?"
Bocah itu menggelengkan kepala.
"Yakin?"
"Iya. Bukannya kita nggak boleh boros-boros? uang mama kan sedikit, jadi jajannya nggak boleh banyak-banyak." lagi-lagi ucapan bocah itu membuat Kaysa merasa tenggorokkannya tercekat. Betapa bocah itu memahami keadaan mereka yang serba terbatas setelah perceraiannya dengan Radit yang menguras emosi dan meninggalkan luka yang cukup dalam hampir satu tahun lalu. Yang membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk harta gono-gini yang seharusnya dia dapatkan. Namun dengan lapang dada Kaysa relakan untuk di tukar dengan putranya yang semula ada dibawah pengasuhan mantan suami.
Baginya, Aslan lebih berarti dari pada segudang harta yang akan habis di makan waktu. Dan dia rela kehilangan segalanya, asalkan Aslan ada bersamanya. Walaupun kini akhirnya mereka harus hidup serba kekuragan.
"Maaf ya, mama belum bisa memberikan yang lainnya?" perempuan itu mengusap puncak kepalanya.
"No, ..." Aslan menggelengkan kepala. "Mama udah ngasih Aslan makan, ini." tunjuknya pada bekas makanan di atas meja. "Dan Aslan senang." katanya, kemudian terkekeh. "Thank you."
Kaysa tersenyum getir, mendengar putranya yang selalu berbesar hati, malah membuatnya merasa sedih. Tapi dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk kehidupan yang lebih baik.
"Mama, ayo kita pulang?" Aslan membuyarkan lamunannya.
"Aslan sudah mau pulang?"
"Hu'um. Aslan punya bayak pr."
"Baik, ayo kita kerjakan di rumah?" mereka bangkit bersamaan.
"Siaap!!"
Dan di saat yang bersamaan seorang pria dengan nampan makanannya muncul dari belakang. Membuat mereka hampir saja bertabrakan.
"Hati-hati Bu!" suara baritonnya memperingatkan.
"Oh, ... maaf-maaf." Kaysa menyingkir ke samping.
"Tidak apa-apa, silahkan." jawab si pria tanpa menoleh dan hanya melirik sekilas. Yang kemudian duduk di kursinya.
Kaysa memutar bola mata.
Nggak sopan! batinnya.
"Mama, ayo cepat?" Aslan kembali meraih tangannya dan menarik sang ibu keluar dari tempat tersebut.
*
*
*
Bersambung ...
Gimana gimana? mau di lanjut nggak?
like komen sama hadiahnya dulu dong biar terus semangat up nya. 😆😆
Meet Kaysa Mella, 26 tahun. Janda anak 1😆
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Hearty 💕
Aslan kok keren sih...
2023-10-21
0
Kustri
kisah Key ama Aslan jd ingat Dijah ama Dul, sedih
2023-07-14
0
Kardi Kardi
never give up missss. hmmm
2023-05-20
0