*
*
"Saya tidak percaya baru sedikit yang bisa mereka ungkap tentang pria itu? apa tidak ada petunjuk lain sama sekali?" Rama bereaksi setelah dirinya selesai memberikan keterangan pasca terjadinya teror di kafe dua hari yang lalu.
"Apa intel kita kurang sigap menanggapi ini semua?" lanjutnya dengan tidak sabaran.
"Jangan asal bicara!" tukas Fandi.
"Lantas apa yang mereka dapatkan?"
"Dugaan sementara dia mengalami gangguan jiwa."
"Gangguan jiwa?" Rama membeo.
"Ya. Tidak di temukan tanda-tanda dia berhubungan dengan kelompok ******* manapun, atau kaum separatis lainnya. Indikasi yang mengarah ke sana pun bahkan tidak ada." Fandi menerangkan.
"Sama sekali?" Rama mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Ya, sama sekali."
"Tidak bisa di percaya, pak? kita dengan banyak pasukan bisa di kalahkan oleh seorang pria yang di duga mengalami gangguan jiwa? luar biasa." Rama geleng-geleng kepala.
"Lalu apa artinya ini? apa yang mereka temukan dalam dua hari belakangan rasanya tidak bisa di percaya."
"Hanya beberapa bahan peledak di rumahnya dan beberapa catatan soal dia yang mempercayai hari pembalasan dan ingin membawa semua orang masuk surga." Fandi menunjukkan beberapa barang bukti.
"Masuk surga? dengan jalan bunuh diri dan membunuh orang lain? bacaan mana yang membuat otaknya menjadi sedangkal itu? kitab mana yang mengajarinya agar melakukan itu?" Rama akhirnya merasa gusar. Semakin hari semakin banyak saja dia menemukan kenyataan bahwa dunia yang ditinggalinya semakin kacau saja.
"Bagaimana jejak pendidikannya? atau lingkaran pergaulannya?"
"Lulusan standar tanpa embel-embel lembaga keagamaan apa pun, dan pergaulannya normal-normal saja."
"Tidak ada yang normal-normal saja jika seseorang mampu melakukan hal sekeji itu pak. Bisa jadi semuanya hanya kedok belaka."
"Memang, dan pihak berwenang sedang melakukan penyelidikan lanjutan sekarang ini."
"Pihak berwenang yang mana? Intel? Buser? URC?"
"Tim gabungan."
"Saya bagaimana?"
"Tidak boleh ikut campur, kau masih menjalani hukuman sampai waktu yang tidak di tentukan!"
"Ah, sial!" umpatnya tanpa sengaja.
"Lagi pula, bukankah kau ada seleksi minggu ini? bagaimana tes fisiknya? apa berjalan lancar?"
"Tidak tahu pak." Rama menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
"Kenapa tidak tahu? tes fisik seharusnya kemarin kan?"
"Iya, tapi kejadian itu membuat saya tidak bisa pergi, ingat? saya terdampar di rumah sakit cukup lama."
"Benar juga. Jadi kau tidak menjalani tes pertama, heh?"
"Tidak pak."
"Baiklah, tampaknya takdirmu memang hanya di kepolisian saja, Ram."
"Mungkin begitu pak."
"Yeah, sebaiknya kau persiapkan diri untuk menemui psikiater."
"Psikiater untuk apa?"
"Apa kau masih mau cuti? terserah kepadamu."
Rama tampak mengusap wajahnya, kasar. Kemudian dia menegakkan tubuhnya ketika teringat sesuatu.
"Maaf pak, saya harus pergi dulu." katanya yang kemudian bangkit.
"Menemui psikiater?"
"Mungkin."
"Baiklah, itu bagus. Kami sangat membutuhkanmu di sini."
"Baik pak. Selamat siang." pamitnya, kemudian pergi.
*
*
Rama tiba di rumah sakit stelah menempuh perjalanan selama setengah jam. Mendapati Kaysa yang baru saja turun dari tempat tidurnya.
"Sudah bisa?" dia berjalan tergesa.
"Oh, hai ... bisa. Kenapa kamu ada di sini?" perempuan itu bereaksi.
"Hanya lewat, aku pikir perlu mampir untuk melihat keadaanmu." Rama menjawab.
"Ah, ... manis sekali." Kaysa tersenyum. "Terimakasih pak, aku baik-baik saja dan sudah di perbolehkan pulang." lanjutnya.
"Benarkah?"
"Iya." dia menarik pakaian yang terlipat di ujung ranjang.
"Bisa bantu aku kekamar mandi? aku harus mengganti pakaian." ucap Kaysa yang sedikit menarik pakaian khusus perawatannya.
"Oh, baiklah." Rama mengulurkan tangannya.
"Aku tidak mengira kamu akan pulang secepat ini. Padahal sepertinya kamu belum pulih benar?"
"Terlalu lama di rumah sakit akan membuat pekerjaanku terbengkalai, dan itu tidak baik. Dua hari saja cukup." mereka tiba di depan pintu kamar mandi.
"Baik, cukup di sini." katanya yang kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan keluar setelah beberapa saat dalam keadaan yang cukup rapi.
"Ada yang menjemputmu?" Rama kembali memulai percakapan.
"Tidak ada."
"Keluargamu?"
Kaysa menggeleng.
"Kamu tidak punya keluarga?"
"Ada tapi ... mereka jauh."
"Diluar kota?"
Perempuan itu terdiam.
"M-maaf, sepertinya aku terlalu banyak bertanya." Rama terkekeh.
"Lalu bagaimana dengan putramu?" namun Rama bertanya lagi. Sepertinya selalu ada pertanyaan yang siap dia lontarkan kepada Kaysa.
"Aslan bersama papanya. Dan itu juga yang membuatku harus cepat pulang. Agar Aslan juga pulang kepadaku."
Rama teringat ucapan pria yang dia ketahui sebagai mantan suami dari perempuan itu.
"Kenapa tidak kamu biarkan saja dia dengan papanya?"
"Tidak mungkin."
"Kenapa? karena kalian sudah berpisah? tapi aku rasa itu tidak boleh membuatmu memisahkan anak dari ayahnya, bukan?"
Kaysa menatap wajah pria yang baru saja di kenalnya karena mencari bahan pemberitaan tersebut.
"Ah, ... aku terlalu banyak bertanya lagi." Rama memijit tengkuknya sendiri.
Mengapa juga tiba-tiba saja dirinya jadi banyak bicara seperti ini?
"Jadi bagaimana? mau pulang sekarang?" Rama bertanya lagi.
"Ya, sebentar aku order taksi online dulu." Kaysa meraih ponselnya yang tengah di isi daya.
"Tidak usah, aku antar." sergah Rama, dengan spontan.
"Apa?" Kaysa mengalihan perhatiannya dari layar ponsel.
"A-aku antar." ulang pria itu, yang sedikit menyesali ucapannya, namun terlanjur juga karena kata-kata itu sudah terlontar dari mulutnya.
Kaysa terdiam lagi.
"Sudah, cepat. Kebetulan aku melwati rute itu." Rama menarik tas gendong milik perempuan itu seraya memalingkan wajahnya yang mulai terasa panas.
"Barang-barangmu hanya ini saja? tidak ada lagi?" katanya, dan dia berjalan mendahuluinya.
"I-iya." jawab Kaysa dan dia masih mencoba mencerna apa yang tengah terjadi ini.
"Baiklah, ayo." pria itu menyentakkan kepalanya.
"Tapi aku ...
"Masih ada yang harus di urus? bukankah administrasi ditanggung pemerintah?"
"Bukan itu."
"Lalu apa?"
"Jalan ke kamar mandi saja aku mengalami kesulitan, dan harus di bantu. Apa lagi jalan ke luar."
Kini Rama yang tertegun.
Lalu aku harus apa? batinnya bergumam.
"Selamat siang? saya mengantarkan obat-obatan milik ibu Kaysa." seorang perawat masuk dengan membawa kotak berisi bungkusan obat.
"Keterangan aturan minumnya sudah ada di dalam ya bu?"
"Baik suster."
"Seharusnya belum boleh pulang pak, tapi ibunya terus memaksa." sang perawat beralih kepada Rama.
"Tapi kami membutuhkan tanda tangan penanggung jawab untuk memastikan bahwa semuanya di lakukan sesuai prosedur." dia menyodorkan selembar kertas kepada pria itu.
"Apa?"
"Ini surat pernyataan pak, bahwa ibu Kaysa di jemput keluarganya."
"Hah?"
"Tanda tangan di sini pak." dia menunjuk sudut kanan bawah kertas.
"Saya?" Rama menunjuk wajahnya sendiri.
"Iya, saya lihat cuma bapak yang ada di ruangan ini selain bu Kaysa?"
"Tapi ...
"Setelah ini di tanda tangani baru kami akan memperbolehkan Bu Kaysa pulang. Karena kan bu Kaysa belum pulih benar, jadi rumah sakit tidak bisa bertanggung jawab sepenuhnya setelah ini dan hanya akan menjadi tanggung jawab keluarga."
Dahi Rama berkerut dalam, namun akhirnya dengan terpaksa pula pria itu menandatangani surat tersebut.
"Baik, terimakasih. Selamat siang." perawat tersebut kemudian keluar.
***
Mereka pun tiba di apartemen kecil Kaysa setelah drama tanda tangan dan perebutan tumpangan untuk mengantarkannya pulang. Dan Rama harus bersusah payah membantunya melewati tangga ke lantai lima dimana Kaysa tinggal. Meski jelas-jelas perempuan itu menolak untuk di bantu.
Tapi Rama tak bisa meninggalkannya begitu saja setelah mereka sampai. Meski mereka harus berdebat terlebih dahulu, namun pada akhirnya Kaysa mengalah juga.
"Terimakasih, sekali lagi." dia duduk di sofa kecilnya yang cukup nyaman.
"Sama-sama, aku hanya melakukan apa yang perlu ku lakukan." Rama menjawab, setelah memastikan keadaannya benar-benar baik.
"Apa semua polisi sebaik kamu, Rama?" Kaysa berujar, pasalnya dia baru kali ini menemui orang seperti Rama, yang memastikan keadaan orang asing yang baru saja di kenalnya.
"Apa?" pria itu terkekeh.
"Orang-orang tidak akan menyangka jika hanya mengenal sekilas, tapi aku tahu bahwa kamu orang baik." perempuan itu berujar.
"Aku bukan orang baik. Aku hanya melakukan hal yang di perlukan terhadap sesama manusia. Dan itu lumrah."
"Jadi bukan karena kamu baik?" kini Kaysa tertawa.
"Bukan." pria itu menggelengkan kepala.
"Lantas apa yang menggerakkan hati seseorang untuk berbuat baik jika dia bukan orang baik?"
Rama terdiam sejenak.
"Entahlah, dalam pandanganku kenapa berbuat seperti ini kepadamu karena aku pernah merasa bagaimana mengalami kesulitan sendiri tanpa orang terdekat yang mendukung kita. Jadi konteksnya bukan karena aku baik. Tapi karena aku pernah ada di posisimu, dan aku tahu jika itu benar-benar tidak enak."
"Sepertinya kamu pernah mengalami hal yang berat?"
"Hmmm ... kamu tidak akan menyangka sedikitpun apa yang telah aku alami."
"Dan apakah itu?"
Rama tampak mengerutkan dahi, dia lupa sedang berhadapan dengan siapa. Perempuan ini adalah wartawan yang bisa mengubah sebuah cerita menjadi berita. Walau tidak secara resmi, tentunya.
"Apa?" Kaysa hampir tersenyum melihat ekspresi pria di depannya.
"Kamu wartawan, tentu saja akan banyak bertanya."
Dan hal tersebut membuat Kaysa tertawa terbahak-bahak.
"Caramu tertawa itu membuatku curiga." dia dengan sebelah alisnya yang terangkat ke atas.
"Kamu berlebihan."
"Tidak, instingku ini selalu benar tahu?"
"Benarkah?"
"Tentu saja, aku ini polisi."
"Ya, benar. Pak polisi."
Lalu suasananya tiba-tiba saja terasa hening.
"Mama!" pintu terbuka dengan keras dan Aslan berlari menerobos ke dalam sana.
"Hey, Aslan? baru saja mama memikirkanmu nak!" ibu dan anak itu segera berpelukan.
"Tadi aku ke rumah sakit sama papa, mau jenguk mama. Tapi mamanya udah pulang?" bocah itu berceloteh.
"Oh ya? mama tidak tahu, jadinya pulang duluan." Kaysa menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah yang terhenti, dan mantan suaminya berdiri di sana.
"Kenapa mama nggak nelfon papa? kan aku jadi tahu kalau mama mau pulang?"
"Mama lupa."
"Mama lupa terus sih?"
"Iya maaf." perempuan itu tertawa pelan kemudian kembali memeluk putranya erat-erat.
Kemudian perhatian Aslan beralih pada pria asing yang berada di sekitar ibunya.
"Om ini siapa?" dia bertanya.
"Ini om Rama, ...
"Om Rama itu siapa?"
"Om Rama itu ... polisi yang membantu mama ke rumah sakit."
"Oh, ...
"Mmm ... baiklah, kalau begitu aku pergi." Rama segera berpamitan begitu merasa keadaan menjadi tidak kondusif baginya.
"Baik, terimakasih sekali lagi."
"Iya, sama-sama."
*
*
*
Bersambung ...
ehm, ... jadi gimana selajutnya? 😆😆😆
serah kang korma deh
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments
Nana
ih gemes deh😂
2023-07-16
0
mama kennand
gendong lah ☺️☺️☺️
2022-12-08
1
Osin Saharamaryana
ini om Rama calon bokny Aslan.. itulah perkataan dalam hati 😂😂😂😂
mak fit knp ak baru baca skrg ya... ketinggalan ak 🥰🥰😍😍
2022-05-29
3