Oh Arunika
Arunika
Sepeda butut yang sudah tiga tahun ini setia mengantarkanku pergi dan pulang bekerja, kini merajuk lagi. Kemarin lusa baru masuk bengkel dan sekarang minta ke sana lagi. Membuat bibirku menggerutu kesal. Tetapi apa boleh buat. Namanya juga sepeda tua yang kebanyakan kata orang sudah tidak layak pakai lagi, namun bagiku sangat berharga.
“Tuh, ‘kan, Neng, kata saya juga apa. Ban dalamnya sudah harus diganti. Soalnya sudah banyak bekas tambalan,” ujar si Mamang Bengkel yang sudah tahu betul bagaimana kondisi sepedaku. Aku hanya menyengir saja lalu mengambil botol air dari dalam tas kerja dan meneguknya sampai habis. Cuaca hari ini benar-benar ekstrim panasnya. Sudahlah capek bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di daerah ini, dan harus menuntun sepeda kira-kira 3 km jauhnya. Bukan tidak ada bengkel tadi. Si Mang Jaja ini sudah langganan dan biaya ongkosnya lebih murah dua ribu.
“Mau diganti aja?”
Aku langsung menggeleng tegas. “Ditambal aja, Mang. Belum gajian, hehe,” cengirku dengan konyol.
Mang Jaja terlihat geleng-geleng kepala namun mengerjakan apa yang aku sampaikan.
“Hei, Aru. Kau sudah pulang bekerja rupanya. Itu... di kontrakanmu rame, ada polisi.”
Merasa namaku yang dipanggil, aku mencari dan melihat ke sumber suara yang cukup lantang. Ibu-ibu tetangga berdiri sambil melambai dari sebuah toko kelontong di seberang jalan. Baru saja aku menyandarkan bahu dan menyelonjorkan kaki lelahku. Dan kini harus mendengar informasi yang seperti itu.
Apa lagi ini?
“Biar saja, Bu,” jawabku malas masih dengan mempertahankan posisi nyamanku.
“Kasihan ibumu. Menangis sampe pingsan. Itu... mm... bapakmu... mmm.”
Ibu pingsan?
Tubuhku langsung menegang mendengar ibu pingsan. Aku tidak masalah kalau polisi membawa atau bahkan sekalipun menghajar laki-laki yang kusebut bapak itu. Tetapi kalau sudah menyangkut ibu, aku tidak bisa mengabaikannya dengan berdiam diri di sini.
“Mang, titip sepeda, ‘ya,” ujarku dan segera mengambil langkah seribu.
*
Orang-orang berkerumun di depan pintu saat aku tiba. Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan lagi bila ada polisi datang ke rumah kami. Hampir tiap bulan bapak berurusan dengan aparat berseragam tersebut. Apalagi alasannya kalau bukan karena ulahnya sendiri. Semua orang sudah tahu bagaimana kelakuan bapak. Jangan ditanya bagaimana malunya aku memiliki orang tua seperti bapak yang selalu berurusan dengan hukum.
Dari balik kerumunan aku melihat ibu bersandar lemah pada dinding. Isakannya terdengar jelas. Beberapa ibu-ibu terlihat menenangkan beliau.
“Bu....” panggilku sembari menerobos kerumunan orang-orang ini.
“Aru....” Tangis ibu malah pecah lagi melihat aku datang. Beliau mengulurkan tangan menyambutku.
“Untuk apa Ibu menangis? Laki-laki seperti bapak tidak pantas ditangisi,” ucapku geram. Tidak seperti biasanya ibu menangisi ulah bapak sampai begini. Biasanya kalau polisi datang beliau hanya menundukkan kepala karena sedih dan juga malu.
“Bapakmu, Nak, bapakmu....” Ucapan ibu terbata-bata disertai tangisnya yang semakin menjadi. Beliau mengeratkan pelukan pada tubuhku membuat aku sedikit bingung.
“Bapak tidak usah dipikirkan, Bu. Nanti juga kalau urusannya dengan polisi selesai akan pulang lagi,” hiburku pada akhirnya dengan suara sedikit melunak sembari menepuk-nepuk punggung ringkih beliau. Sejujurnya hatiku sangat berharap supaya laki-laki itu tidak usah pulang lagi sampai kapanpun. Ya, aku sangat mengharapkan itu. Mataku yang sedari tadi memindai sekitar tidak juga menemukan keberadaan bapak. Apakah bapak sekarang buronan lagi seperti yang pernah terjadi beberapa kali? Apakah bapak mencuri atau bermain narkoba lagi?
“Aru... bapakmu–” Ibu masih belum bisa menyelesaikan ucapannya karena tangisnya yang belum reda. Aku tidak mengerti mengapa ibu bisa menangisi bapak sampai segininya.
“Bapakmu meninggal, Aru.”
Suara itu berasal dari kerumunan orang-orang yang masih setia berdiri di depan rumah kontrakan kami yang sukses membuatku menoleh pada orang tersebut dan terhenyak dibuatnya.
“Ba... bapak meninggal?” tanyaku tidak percaya dengan suara tertahan, hampir tidak terdengar. Mereka semua mengangguk hampir bersamaan. Tangisan ibu terdengar semakin kencang.
“Permisi. Apakah Anda anak dari saudara Herman?” Tiga orang polisi yang sedari tadi diam berdiri menyaksikan aku dan ibu peluk-pelukan akhirnya salah satu dari mereka menegur juga. Aku yang masih dengan ketidakpercayaanku akan berita barusan melihat ke arah mereka dengan penuh tanda tanya.
“I-iya, Pak,” jawabku ambigu. Karena aku sungguh malu mengakui bapak yang tukang judi, tukang minum, tukang main tangan, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak aku ketahui apa-apa saja perbuatan tidak terpuji bapak yang dilakukan di luar sana. Sama sekali tidak ada yang bisa aku tiru dan banggakan darinya.
“Jadi begini... saat melakukan pengejaran tadi, Pak Herman mencoba melarikan diri dengan melawan arus lalu lintas. Entah karena rem motor yang dipakainya tidak berfungsi atau karena panik kami kejar, beliau menabrak sebuah bus yang melaju cepat. Tubuhnya terpental sampai ke jalan raya yang di seberangnya. Mengakibatkan tubuh Pak Herman dilindas mobil berkali-kali–,” beritahu polisi tersebut dengan detail membuatku terperangah. Karena sebelumnya bapak tidak pernah mengalami kejadian yang seperti itu. “–dan pada akhirnya beliau tewas di tempat.”
Tubuhku benar-benar kaku mendengarnya. Bapak meninggal? tanya hatiku berulang-ulang di dalam sana dengan tidak percaya. Aku memang menginginkan bapak pergi jauh dari hidupku dan juga ibu. Tetapi tidak harus meninggal juga apalagi meninggal karena kecelakaan yang mengerikan seperti penjelasan polisi tadi.
Kalau suka jangan lupa tekan like, ya... ^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Wkwkwkk
yuk dilanjut
2023-04-24
1