Arunika
Sepeda butut yang sudah tiga tahun ini setia mengantarkanku pergi dan pulang bekerja, kini merajuk lagi. Kemarin lusa baru masuk bengkel dan sekarang minta ke sana lagi. Membuat bibirku menggerutu kesal. Tetapi apa boleh buat. Namanya juga sepeda tua yang kebanyakan kata orang sudah tidak layak pakai lagi, namun bagiku sangat berharga.
“Tuh, ‘kan, Neng, kata saya juga apa. Ban dalamnya sudah harus diganti. Soalnya sudah banyak bekas tambalan,” ujar si Mamang Bengkel yang sudah tahu betul bagaimana kondisi sepedaku. Aku hanya menyengir saja lalu mengambil botol air dari dalam tas kerja dan meneguknya sampai habis. Cuaca hari ini benar-benar ekstrim panasnya. Sudahlah capek bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik di daerah ini, dan harus menuntun sepeda kira-kira 3 km jauhnya. Bukan tidak ada bengkel tadi. Si Mang Jaja ini sudah langganan dan biaya ongkosnya lebih murah dua ribu.
“Mau diganti aja?”
Aku langsung menggeleng tegas. “Ditambal aja, Mang. Belum gajian, hehe,” cengirku dengan konyol.
Mang Jaja terlihat geleng-geleng kepala namun mengerjakan apa yang aku sampaikan.
“Hei, Aru. Kau sudah pulang bekerja rupanya. Itu... di kontrakanmu rame, ada polisi.”
Merasa namaku yang dipanggil, aku mencari dan melihat ke sumber suara yang cukup lantang. Ibu-ibu tetangga berdiri sambil melambai dari sebuah toko kelontong di seberang jalan. Baru saja aku menyandarkan bahu dan menyelonjorkan kaki lelahku. Dan kini harus mendengar informasi yang seperti itu.
Apa lagi ini?
“Biar saja, Bu,” jawabku malas masih dengan mempertahankan posisi nyamanku.
“Kasihan ibumu. Menangis sampe pingsan. Itu... mm... bapakmu... mmm.”
Ibu pingsan?
Tubuhku langsung menegang mendengar ibu pingsan. Aku tidak masalah kalau polisi membawa atau bahkan sekalipun menghajar laki-laki yang kusebut bapak itu. Tetapi kalau sudah menyangkut ibu, aku tidak bisa mengabaikannya dengan berdiam diri di sini.
“Mang, titip sepeda, ‘ya,” ujarku dan segera mengambil langkah seribu.
*
Orang-orang berkerumun di depan pintu saat aku tiba. Sebenarnya bukan hal yang mengejutkan lagi bila ada polisi datang ke rumah kami. Hampir tiap bulan bapak berurusan dengan aparat berseragam tersebut. Apalagi alasannya kalau bukan karena ulahnya sendiri. Semua orang sudah tahu bagaimana kelakuan bapak. Jangan ditanya bagaimana malunya aku memiliki orang tua seperti bapak yang selalu berurusan dengan hukum.
Dari balik kerumunan aku melihat ibu bersandar lemah pada dinding. Isakannya terdengar jelas. Beberapa ibu-ibu terlihat menenangkan beliau.
“Bu....” panggilku sembari menerobos kerumunan orang-orang ini.
“Aru....” Tangis ibu malah pecah lagi melihat aku datang. Beliau mengulurkan tangan menyambutku.
“Untuk apa Ibu menangis? Laki-laki seperti bapak tidak pantas ditangisi,” ucapku geram. Tidak seperti biasanya ibu menangisi ulah bapak sampai begini. Biasanya kalau polisi datang beliau hanya menundukkan kepala karena sedih dan juga malu.
“Bapakmu, Nak, bapakmu....” Ucapan ibu terbata-bata disertai tangisnya yang semakin menjadi. Beliau mengeratkan pelukan pada tubuhku membuat aku sedikit bingung.
“Bapak tidak usah dipikirkan, Bu. Nanti juga kalau urusannya dengan polisi selesai akan pulang lagi,” hiburku pada akhirnya dengan suara sedikit melunak sembari menepuk-nepuk punggung ringkih beliau. Sejujurnya hatiku sangat berharap supaya laki-laki itu tidak usah pulang lagi sampai kapanpun. Ya, aku sangat mengharapkan itu. Mataku yang sedari tadi memindai sekitar tidak juga menemukan keberadaan bapak. Apakah bapak sekarang buronan lagi seperti yang pernah terjadi beberapa kali? Apakah bapak mencuri atau bermain narkoba lagi?
“Aru... bapakmu–” Ibu masih belum bisa menyelesaikan ucapannya karena tangisnya yang belum reda. Aku tidak mengerti mengapa ibu bisa menangisi bapak sampai segininya.
“Bapakmu meninggal, Aru.”
Suara itu berasal dari kerumunan orang-orang yang masih setia berdiri di depan rumah kontrakan kami yang sukses membuatku menoleh pada orang tersebut dan terhenyak dibuatnya.
“Ba... bapak meninggal?” tanyaku tidak percaya dengan suara tertahan, hampir tidak terdengar. Mereka semua mengangguk hampir bersamaan. Tangisan ibu terdengar semakin kencang.
“Permisi. Apakah Anda anak dari saudara Herman?” Tiga orang polisi yang sedari tadi diam berdiri menyaksikan aku dan ibu peluk-pelukan akhirnya salah satu dari mereka menegur juga. Aku yang masih dengan ketidakpercayaanku akan berita barusan melihat ke arah mereka dengan penuh tanda tanya.
“I-iya, Pak,” jawabku ambigu. Karena aku sungguh malu mengakui bapak yang tukang judi, tukang minum, tukang main tangan, dan mungkin masih banyak lagi yang tidak aku ketahui apa-apa saja perbuatan tidak terpuji bapak yang dilakukan di luar sana. Sama sekali tidak ada yang bisa aku tiru dan banggakan darinya.
“Jadi begini... saat melakukan pengejaran tadi, Pak Herman mencoba melarikan diri dengan melawan arus lalu lintas. Entah karena rem motor yang dipakainya tidak berfungsi atau karena panik kami kejar, beliau menabrak sebuah bus yang melaju cepat. Tubuhnya terpental sampai ke jalan raya yang di seberangnya. Mengakibatkan tubuh Pak Herman dilindas mobil berkali-kali–,” beritahu polisi tersebut dengan detail membuatku terperangah. Karena sebelumnya bapak tidak pernah mengalami kejadian yang seperti itu. “–dan pada akhirnya beliau tewas di tempat.”
Tubuhku benar-benar kaku mendengarnya. Bapak meninggal? tanya hatiku berulang-ulang di dalam sana dengan tidak percaya. Aku memang menginginkan bapak pergi jauh dari hidupku dan juga ibu. Tetapi tidak harus meninggal juga apalagi meninggal karena kecelakaan yang mengerikan seperti penjelasan polisi tadi.
Kalau suka jangan lupa tekan like, ya... ^_^
Arunika
Satu minggu berlalu setelah kepergian bapak. Ibu lebih sering terlihat melamun, malas makan dan tidak ada gairah. Kadang kala aku juga mendapatinya menangis meskipun sudah bersembunyi dariku. Ibu sungguh tidak pintar untuk hal itu. Dan akan kentara sekali kalau beliau berbohong jika aku menanyakannya. Atau memang aku yang sangat peka dan sangat tahu bagaimana karakter wanita yang sangat aku cintai ini?
Seperti sore ini. Saat aku sudah selesai beres-beres di belakang, aku mengintip dari balik gorden–kain yang menjadi pembatas antara ruang depan dan tengah. Mendapati ibu tengah menangis dengan suara tertahan. Aku tahu yang ditangisinya pasti bapak lagi, bukan karena dari siaran televisi yang tengah menyala.
Aku tidak mengerti mengapa ibu sampai sebegitunya menangisi kepergian bapak. Padahal sampai akhir hayatnya, bapak tidak pernah memberi cinta atau kehangatan apalagi tanggung jawab pada keluarga kami. Hanya meninggalkan kepedihan yang sampai berbekas di sanubari. Entahlah, apakah luka ini kelak akan sembuh. Tidak ada kesan yang bisa membuatku merasa kehilangan bapak. Ya, begitu yang aku rasakan dan yang ada dalam ingatanku.
“Bu, ayo kita makan,” ajakku pura-pura saja tidak tahu kalau beliau tengah menangis. Aku mengambil gelas bekas teh yang ada di depan ibu tanpa berniat untuk menatap wajahnya. Aku sungguh mulai merasa jengkel dengan sikap ibu ini yang masih saja bersedih untuk bapak, laki-laki yang sangat tidak pantas untuk ditangisi.
“Aru.” Mata sayu dan lembab ibu menghentikan tanganku. Aku terdiam. Sikap ibu tidak seperti yang sudah-sudah, setiap kali kedapatan menangis beliau akan segera membuang muka dan buru-buru menghapus air matanya lalu menunjukkan senyumnya yang dibuat-buat. Kali ini ibu membiarkan aku melihat kesedihannya.
Aku menuruti permintaan ibu untuk duduk di sampingnya, di atas selembar karpet kecil yang warnanya sudah pudar.
Aku meneliti wajah ibu. Sisa air mata masih terlihat menempel di pipinya. “Bu, Aru tidak suka melihat ibu menangis. Ibu tahu itu, ‘kan?” Akhirnya rasa jengkelku lebur begitu saja melihat air mata ibu dari dekat. Perlahan aku menghapus air matanya yang membuat dadaku terasa sesak. Mana mungkin aku sanggup melihat wanita yang aku cintai ini berderai air mata sedangkan beliau adalah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup di dunia ini. “Bu, tolong, jangan menangisi bapak terus-menerus seperti ini,” pintaku untuk yang kesekian puluh kalinya. “Ibu bisa sakit nanti,” ujarku lagi dengan penuh permohonan.
“Aru.” Ibu menggenggam kedua jemari tanganku dan menatapku dalam. “Ibu tahu kamu tidak menyukai mendiang bapakmu. Atau mungkin kamu bahkan membencinya.” Aku mengiyakan dalam hati. Ya, luka yang ditorehkan bapak pada keluarga kami terlalu sakit. Tidak terhitung berapa kali bapak membuat aku dan ibu menangis.
“Tetapi ketahuilah, Nak–” lanjut ibu lagi yang membuat lamunanku terputus akan kelakuan buruk bapak semasa hidupnya, “saat kamu lahir dulu, bapak yang paling gembira menyambutmu. Bahkan sampai bersorak kegirangan.” Dahiku seketika berkerut mendengarnya. Apa ibu tidak salah bicara?
“Bapaklah yang memberi nama kamu. ARUNIKA. Nama yang cantik, bukan? Secantik orangnya.” Ibu mengulas senyum, namun tidak lantas membuatku untuk tersenyum juga.
Pandangan ibu semakin dalam menatapku begitu pula denganku yang tanpa berkedip memandangnya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Rasanya tidak mungkin beliau mengarang cerita tersebut karena untuk apa juga ibu berbohong seperti itu. Tidak ada yang diuntungkan.
Dan seperti yang kukatakan, aku tahu betul karakter wanita yang telah melahirkanku ini. Namun, aku juga tidak percaya kalau bapak dulu begitu. Itu mustahil!
“Ibu bisa memahami kalau kamu tidak percaya dengan yang Ibu katakan barusan. Tetapi Ibu mengatakan yang sebenarnya, Nak. Bapakmu begitu menyayangimu saat kamu masih kecil. Semua kebutuhan kamu selalu dipenuhinya, tidak peduli seberat apapun pekerjaannya.”
Bapak menyayangiku?
Bapak yang pemalas mau bekerja?
Aku tertawa dalam hati membayangkannya. Aku yang sudah sebesar ini sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah. Dan yang kutahu sampai akhir hidup bapak, aku tidak pernah sekalipun melihatnya bekerja. Tidak pernah sekalipun aku melihat bapak membawa uang ke rumah. Tidak pernah sekalipun aku merasakan hasil jerih payahnya. Yang ada malah bapak yang mengambil paksa uang ibu, hasil dari bekerja di rumah orang lain dan juga mengambil gajiku. Itulah kenyataannya.
Sekali lagi, ingin rasanya aku tertawa sekuat-kuatnya mendengar cerita ibu ini.
“Apakah kamu pernah memperhatikan kaki bapakmu?” Lamunanku terhenti dengan pertanyaan ibu.
Aku mengangguk setelah beberapa detik kemudian karena ibu terlihat begitu menunggu jawabanku. Padahal dari dulu aku tidak berselera membahas tentang bapak. Sempat berpikir jika aku ini bukan anak kandungnya karena perlakuan buruknya terhadapku. “Kakinya yang sebelah kanan terlihat bengkok,” jawabku dengan malas.
Ibu tersenyum lantas menarik napas. Matanya kini melihat ke sembarang arah dan menerawang jauh. “Tulang kaki bapakmu patah karena melompati beberapa anak tangga untuk menolong kamu yang saat itu jatuh dari tangga.” Aku terdiam membisu. Benarkah? “Kalian dulu sama-sama terluka, namun yang paling parah bapakmu. Saat itu usiamu sekitar dua tahun.
Bapakmu bersikeras tidak mau diobati di rumah sakit. Dia lebih memilih berobat ke dukun patah. Padahal saat itu biayanya lebih dari cukup untuk berobat kalian berdua di rumah sakit. Kata bapak biar ada jaga-jaga untuk kamu dan biaya hidup kita selama bapak belum bisa bekerja.”
Benarkah bapak memiliki kasih sayang seperti itu di masa lalu? Aku sama sekali tidak mengingat kejadian itu.
Kutatap wajah ibu yang kini matanya berembun kembali. Sementara aku masih tergugu di tempat dengan mulut terkunci rapat. Hati nuraniku ingin percaya karena tidak mungkin ibu mengatakan kebohongan seperti itu. Akan tetapi luka yang ditancapkan bapak terlalu dalam hingga sulit untuk diobati, sekalipun ibu sudah menceritakan kebaikan bapak terhadapku di masa lalu.
“Tetapi kenapa bapak selalu mengatakan dia membenciku, Bu? Kenapa, Bu?” tanyaku dengan penuh desakan setelah beberapa waktu merenungkan semua yang diucapkan ibu.
Selama ini aku selalu menanyakan hal tersebut, namun ibu membantah dan selalu memberi jawaban kalau bapak tidaklah membenciku. Bapak hanya tidak tahu cara mengungkapkan kasih sayangnya. Dan aku tahu itu hanyalah kebohongan. Banyak orang yang tidak bisa mengungkapkan kasih sayangnya dengan kata-kata, namun mereka menunjukkan dengan perbuatan. Sementara bapak?
Isakan ibu terdengar lagi membuatku meradang dibuatnya. “Sudah, Bu. Kita tidak usah membahas soal bapak lagi,” ujarku tegas. “Aru tidak suka melihat Ibu menangis seperti ini, apalagi menangis karena bapak.” Aku menghapus air mata ibu yang dengan beraninya menampakkan diri di pipi yang mulai keriput tersebut.
“Ibu akan menjawab pertanyaan kamu dengan jujur.” Tiba-tiba ibu mengurungkan niatku untuk beranjak berdiri.
“Sudahlah, Bu. Kita tidak perlu lagi membicarakannya.”
Melihat manik mata ibu yang sarat akan permohonan memaksaku urung untuk pergi. Aku menarik napas untuk meredam rasa tidak sukaku akan bapak. Seperti yang selalu aku lakukan. “Baiklah, Bu,” ujarku setelah berhasil menenangkan hatiku. “Aru akan mendengarkannya. Tetapi Ibu harus janji, ini yang terakhir kita membicarakan bapak. Besok-besok Ibu jangan menangisi bapak lagi.”
Ibu tersenyum lemah dan perlahan mengangguk.
“Setelah kejadian itu bapak memutuskan untuk pindah dari rumah kontrakan tersebut. Takut kejadian serupa menimpamu lagi.” Ternyata ibu melanjutkan ceritanya.
“Beberapa lama setelah kita pindah ke rumah kontrakan yang baru, sifat dan sikap bapakmu mulai berubah. Bangun yang sering kesiangan, tidak tentu bekerja, pulang lebih sering larut malam dan suka marah-marah tidak jelas.” Ibu menunduk. Aku tahu saat ini beliau tengah berusaha menahan tangisnya.
“Perubahan bapakmu semakin hari semakin tidak terkendali. Bapakmu yang penuh cinta, sabar, dan pekerja keras berubah menjadi seperti yang kamu lihat selama ini. Bapakmu terlalu jauh melangkah sampai Ibu juga tidak mengenalnya lagi.” Sesekali ibu menyeka bulir air mata yang akhirnya luruh juga. Untuk kali ini aku akan membesarkan hatiku melihat ibu menangis. Membiarkan beliau mengeluarkan semua kesesakan yang menghimpit dadanya.
“Sampai pada suatu malam, bapak pulang dengan membawa aroma tidak sedap dari tubuhnya. Ibu rasa saat itu bapak minum alkohol. Dia mendebat Ibu seperti yang selalu dilakukannya. Dan... dan malam itu bapak mengatakan bahwa dia tidak menginginkan anak perempuan.” Aku seketika bingung. Bukankah tadi di awal ibu bercerita bapak sangat senang dengan kelahiranku?
“Kata bapakmu anak perempuan tidak akan mampu mengharumkan nama orangtuanya, karena pada akhirnya hanya akan tinggal di rumah mengurus rumah tangga.”
Aku tercengang sekaligus marah dan juga kecewa. Alasan macam apa itu!
Author
Hari sudah malam dan beberapa saat yang lalu Arunika dan ibunya sudah menyelesaikan makan malam. Ibu sudah ada di kamar–ruang tengah, rumah kontrakan mereka. Sementara Arunika memilih tinggal di ruang depan, katanya ingin menonton karena belum mengantuk.
Padahal tidak demikian. Pikirannya terganggu dengan semua cerita ibu tadi. Alasan bapak selama ini tidak menyukainya dan kerap kali berbuat kasar hanya karena dirinya terlahir sebagai perempuan?
Arunika tidak habis pikir, bapak yang sudah merasakan hidup di era globalisasi sekarang masih memiliki pemikiran kolot, mengatakan bahwa memiliki anak perempuan itu pada akhirnya hanya akan mengurus rumah saja?
Bukankah dikaruniai anak laki-laki atau perempuan merupakan suatu anugerah terindah dari Tuhan? Bukankah emansipasi perempuan sudah ada sejak lama di negara ini? Dan, bukankah selama ini bapak hidup dari hasil banting tulang wanita, yaitu dirinya dan ibu? Lantas mengapa bapak hingga akhir hidupnya masih sanggup berpikir kalau perempuan itu tidak ada gunanya? Arunika tersenyum miris.
Terlintas kembali di memori Arunika setiap kali dirinya gajian. Pabrik tempatnya bekerja menggaji karyawannya dengan uang cash. Bapak sudah pasti menunggu di warung kopi tongkrongannya dan akan menghadang jalan Aru untuk meminta uang. Sungguh laki-laki tidak tahu malu. Apabila tidak diberi sesuai dengan nominal yang diminta, maka sudah dipastikan Arunika tidak akan membawa uang sepeserpun ke rumah.
Sudah banyak cara yang dilakukan Aru agar bapaknya tidak menemukan uangnya, termasuk juga menitipkan pada teman atau menabung di bank. Namun bapaknya itu juga tidak kehabisan akal supaya bisa mendapatkan uang.
Jika keinginannya tidak dipenuhi, laki-laki itu akan mengobrak-abrik isi rumah untuk menemukan uang atau barang berharga lalu menjualnya. Smartphone yang baru beberapa hari dibeli Arunika juga salah satu korbannya. Bapaknya itu juga tidak akan segan meminjam uang pada rentenir yang membuat Aru dan ibu kalang kabut untuk membayarnya. Sungguh, laki-laki yang disebut Arunika bapak itu memang tidak pantas dijadikan panutan.
Sudah tidak terhitung berapa banyak Arunika dan ibu harus menanggung akibat dari perbuatan bapak. Sudah tidak terhitung juga berapa kali Arunika dan ibu harus menebalkan muka pada semua orang akan kelakuan bapak.
Sekarang Arunika bisa bernapas lega. Dirinya dan juga ibu akan hidup dengan baik dan tenang tanpa bayang-bayang bapak lagi. Tetapi bukan berarti Aru senang dengan kepergian bapak yang dengan cara mengenaskan seperti cerita polisi kapan hari. Tidak sama sekali.
“Kamu belum mengantuk?” Kehadiran dan pertanyaan ibu yang tiba-tiba mengejutkan Aru. Gadis itu buru-buru menyeka air mata sia*lan yang entah sejak kapan telah berani menggenang di netranya.
“Iya, Bu. Sebentar lagi Aru tidur,” jawabnya. “Ibu kenapa bangun?” Arunika menghindari tatapan ibu yang mencoba meneliti wajahnya. Tangannya masih sibuk menyeka genangan air mata yang dirasakannya masih ada.
Ibu meraih dagu Aru supaya bisa melihat wajah putrinya itu dengan leluasa. “Kamu menangis?” Aru menggeleng dengan bola mata bergerak-gerak, berusaha menahan air mata yang mendesak ingin keluar. “Matamu tidak bisa berbohong, Nak.”
Ibu bisa merasakan bagaimana sedihnya Arunika, anak semata wayangnya itu. Siapa yang tidak bersedih hati bila ayah kandung tidak menginginkan anaknya sendiri. “Hal yang wajar bila kamu menangis setelah mendengar cerita Ibu yang menyakitkan tadi.” Beliau turut menghapus jejak air mata putrinya itu yang perlahan mulai luruh. “Menangislah, biar hatimu lega.”
Saat itu juga Arunika menumpahkan rasa sakit di hatinya dengan menangis. Berharap dengan menangis rasa sakit itu juga ikut terbuang.
“Satu yang Ibu sesali. Ibu tidak berhasil mengembalikan sifat bapakmu seperti semula hingga ajal menjemputnya. Andai saja bapakmu tidak terpengaruh dengan lingkungan dan pergaulannya, kamu tidak akan merasakan sakit yang seperti ini, Aru.” Suara ibu bergetar ikut menangis.
Iya, ibu benar. Andai saja bapak seperti ayah pada umumnya, tentu Arunika akan sangat setuju dengan ungkapan, ‘ayah adalah cinta pertama anak perempuannya’.
Arunika mengeratkan pelukannya pada Ibu. Air mata kedua wanita itu pun berlomba-lomba keluar. Biarlah ini menjadi tangisan terakhir tentang bapak. Karena besok dan seterusnya tidak ada lagi alasan mereka untuk menangis. Dirinya akan hidup bahagia bersama Ibu.
*
Arunika remaja yang mengenakan baju seragam putih biru tengah berjalan tergesa-gesa, bahkan sesekali berlari kecil. Matahari sudah semakin mencondong ke barat. Hari ini dirinya terpaksa pulang terlambat dari sekolah sebab ada belajar kelompok. Belajar kelompok itu diadakan mendadak sekali, sehingga ia tidak memberitahu Ibu tadi pagi. Aru takut ibunya mencemaskan dirinya. Dan Aru juga mencemaskan Ibu sebab tadi pagi sebelum berangkat sekolah orangtuanya cekcok.
Memberitahu ibu dengan alat komunikasi tidak mungkin. Aru tidak memiliki gawai. Miris memang. Di zaman sekarang alat komunikasi tersebut sudah menjadi kebutuhan primer semua orang.
Tetapi tidak mengapa. Arunika tidak menuntut ibu supaya membelikan dirinya alat itu. Jika dibeli pun, sudah pasti tidak akan bertahan lama. Ada bapak yang kapan saja bisa mengambilnya.
Arunika semakin mempercepat langkah kakinya. Sebentar lagi akan sampai di rumah, lalu makan, kemudian pergi ke rumah majikan ibu untuk membantu pekerjaan wanita yang sangat disayanginya itu.
“Tunggu!” Cekalan tangan pada lengan Aru membuatnya mundur beberapa langkah ke belakang. Aru menoleh, “Bapak?”ujarnya terkejut. “Lepas, Pak, sakit.” Aru mencoba melepas tangannya dari cengkraman bapak yang cukup menyakitinya.
“Kamu Bapak panggil-panggil tidak dengar. Sudah jadi tuli kamu?!” Bentakan itu sungguh memekakan telinga Aru, hingga berdengung di gendangnya. Kilatan amarah yang terlihat jelas di mata bapak membuat Aru semakin takut.
“Tidak, Pak, tidak. Aru memang tidak mendengar Bapak memanggil,” jawab Aru takut-takut. Kenyataannya memang begitu. Di pikiran Aru saat ini adalah cepat sampai di rumah untuk mengetahui keadaan Ibu.
“Banyak bicara!” Bapak menarik tangan Arunika dengan paksa. Aru dengan tangan yang ditarik terpaksa mengikuti. Sesekali mencoba melepaskan tangan dari cengkraman, namun Arunika yang masih remaja tidak sekuat itu untuk melawan tenaga Bapak.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Aru heran. Pasalnya jalan yang mereka lalui saat ini bukan jalan menuju rumah kontrakan mereka.
“Diam dan ikut saja. Jangan banyak bicara!” Sekali lagi bapak menegaskan kalimatnya.
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah besar. Aru mengusap-usap lengannya bekas cengkraman bapak yang baru saja dilepaskan.
“Rupanya kau serius dengan ucapanmu, Herman.”
Aru yang sibuk memeriksa lengannya yang kemerahan, menoleh ke sumber suara yang akhir kalimatnya tadi diselipkan tawa tidak enak didengar, membuat ia membawa diri ke belakang bapak.
Namun bapaknya tidak membiarkan Aru untuk bersembunyi lebih lama di balik punggungnya. Laki-laki tersebut meletakkan telapak tangannya pada punggung Aru lalu mengajaknya untuk mendekat pada teras rumah tersebut. Gadis remaja yang tidak tahu apa sebenarnya tujuan bapak mengajaknya ke rumah itu manut saja meskipun enggan.
Ada tiga orang bapak-bapak duduk di kursi. Satu diantara mereka sangat dikenal oleh Aru. Bukan karena pria paruh baya itu istimewa di lingkungan tempat tinggal mereka, tetapi karena laki-laki tersebut terkenal dengan kawin cerainya.
Arunika melihat papan catur beserta pionnya di atas meja. Ada juga pecahan uang di sana. Dari melihat itu saja, sudah pasti bapak-bapak itu bukanlah pribadi yang patut ditiru, sama seperti bapaknya.
“Ayo, sini, sini, sini,” ajak pria yang memiliki perut buncit tersebut sembari berdiri dari kursinya. Meminta Aru dan Bapak untuk ikut duduk bersama mereka.
Arunika tidak mau berpindah dari tempatnya berdiri meskipun bapak sudah memberi ultimatum melalui tatapan matanya, supaya mau menurut untuk duduk. Akan tetapi melihat tatapan mata dan senyum menjijikkan ketiga laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu membuatnya mulai ketakutan.
Arunika berbalik dan hendak pergi dari sana. Tetapi Bapak dengan sigap mencengkram lengannya kembali dengan erat. “Mau ke mana?!” hardik Bapak dengan tatapan mematikan.
“Aru mau pulang, Pak.” Gadis itu mencoba melepaskan tangan Bapak dari lengannya. Namun apa daya, tangannya yang lebih kecil dari Bapak tentu saja tidak akan mampu melakukan itu. Arunika lebih baik dimarahi atau pun dipukuli Bapak daripada harus di sini. Hatinya mengatakan kalau dirinya tidak akan baik-baik saja bila lebih lama lagi berada di sana.
“Tidak boleh!” Kembali Bapak menarik Aru untuk mendekati ketiga lelaki menjijikkan itu. “Ayo, jangan melawan!”
Bapak bahkan menyeret Aru yang saat itu memilih untuk duduk di lantai, berharap dengan bersikap begitu, Bapak akan iba kepadanya dan tidak memaksanya lagi. Namun, Bapak tetaplah Bapak. Apa yang diinginkan harus terwujud. Bahkan Air mata Aru yang kini sudah berhamburan tidak lekas membuat Bapak untuk menghentikan aksinya.
“Cantik, kenapa menangis? Bapakmu hanya ingin kamu memijat kakiku. Itu saja.” Si Perut Buncit alias Si Tukang Kawin mendekat dan mencoba menyentuh Aru untuk menenangkan gadis itu. Namun hal tersebut malah membuat Arunika remaja semakin histeris.
“Aru tidak mau, Pak. Aru tidak mau!” Gadis malang itu menepis tangan menjijikkan Si Buncit yang akan menyentuh bahunya. Raungan Arunika sampai mengundang tetangga untuk melihat apa yang terjadi.
Supaya yang melihat tidak semakin banyak, Bapak meminta kepada Si Buncit untuk membawa Aru ke dalam rumah saja. Tentu laki-laki yang entah sudah berapa kali menduda itu dengan senang hati mengiyakan.
“Bapakk!!!”Suara tegas seorang wanita menghentikan langkah mereka yang hampir sampai di daun pintu. Begitu melihat siapa yang datang, Arunika berontak dari tangan-tangan manusia tercela tersebut. Si Buncit melepasnya, namun tidak dengan Bapak.
Ibu berlari dengan tenaga yang masih dimilikinya.
“Ibu....” Arunika menangis sendu.
“Lepaskan anakku!” Ibu menghempas tangan Bapak dengan sangat kuat hingga cengkraman laki-laki itu terlepas. Arunika yang ketakutan langsung bersembunyi di pelukan Ibu. “Ayo, Nak, kita pulang.” Suara Ibu kini berubah menjadi lembut.
“Dia tidak boleh pergi dari sini!”
Ibu tetap menuntun Aru berjalan. Mengabaikan perintah suaminya yang telah berubah seperti monster itu.
“Aku bilang dia tidak boleh pergi!” Suara Bapak meninggi. Namun Ibu tetap tidak acuh. Arunika remaja masih terus menangis.
“Baiklah, bawalah dia pergi. Tapi jangan salahkan aku kalau besok aku akan menjualnya.”
“Gila! Kau sudah gila!” Ibu berbalik karena tidak menyangka dengan apa yang diucapkan Bapak barusan. Bapak adalah tipikal orang yang tidak hanya berbicara di mulut saja. Ia akan benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Ibu mendorong Bapak hingga lelaki itu mundur. Arunika semakin menangis sedih.
“Iya, aku memang gila! Aku jadi gila karena anak ini perempuan!” Bapak lagi-lagi mencengkram lengan Arunika hingga gadis itu mengaduh. “Kenapa kau tidak langsung mati saja saat kau lahir dulu!” Tatapan mata Bapak yang penuh kebencian menusuk hati Arunika.
Arunika tiba-tiba melihat tangan Bapak yang satunya lagi memegang pisau yang siap dilayangkan ke arahnya.
*
“Ibuuu!!!”
Arunika terduduk dari tidurnya. Napasnya berderu kencang dan dahinya berkeringat sampai menetes dari samping tulang rahangnya. Aru menoleh ke samping dan melihat Ibu tidur. Ia mengedarkan pandangan. Ternyata dirinya ada di kamar.
Aru beranjak berdiri meninggalkan Ibu untuk pergi ke kamar mandi. Mengambil satu gayung air dan membasuh wajahnya beberapa kali. Ada kaca kecil menggantung di sana. Beberapa saat ia bercermin memandangi wajahnya yang terlihat pucat.
“Bahkan sudah meninggal pun, Bapak tidak membiarkanku hidup dengan tenang.” Arunika tersenyum getir, air matanya keluar tanpa minta izin.
Kejadian yang dimimpikan Arunika tadi memang pernah terjadi semasa dirinya masih remaja. Tetapi tidak dengan Bapak yang memegang pisau.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!