Bab 14

“Dirumahkan? Bagaimana maksudnya?” tanya Bu Nita tidak mengerti. Wanita yang tubuhnya tidak seberisi majikannya tersebut memutar tubuh, menghentikan adukan pada wajan yang ada di atas kompor, demi bisa melihat wajah putrinya yang berdiri di belakang tubuhnya.

Arunika memutuskan untuk memberitahu Ibunya tentang apa yang dialami para buruh di pabrik tempatnya bekerja. Tidak mungkin juga dia menyembunyikan perihal ini, karena nanti ia juga akan ditanyai sang Ibu mengapa tidak pergi bekerja.

“Dirumahkan... maksudnya tidak bekerja, Bu. Aru dan juga semua buruh yang lain tidak pergi bekerja sampai pandemi yang sedang melanda berakhir,” terang Aru dengan sedih.

Ibunya tercenung sesaat, “Pandemi itu... virus yang akhir-akhir ini lagi banyak dibicarakan orang, iya? Yang asalnya dari China itu, iya?” tanya Ibu memastikan dan diangguki oleh Aru. “Ibu jadi ngeri mendengarnya. Katanya virus itu mematikan. Syukurlah kalau kalian diminta untuk tidak bekerja dulu. Uhuk... uhuk.”

Ibu sejenak membenarkan masker yang beliau kenakan, lantas berbalik lagi memunggungi Arunika untuk mengaduk rendang sapi yang tengah dimasaknya. Lauk yang akan menjadi santapan makan siang sesuai dengan permintaan Bu Ranti.

“Batuk Ibu masih parah?”

“Tidak. Hanya sesekali saja. Obat yang kamu beli itu manjur.”

Arunika mengangguk paham. Ia bernapas lega karena memang sedari tadi tidak mendengar Ibunya terlalu sering batuk-batuk seperti tadi malam.

“Lalu bagaimana kita akan menyicil utang kita pada Bu Ranti kalau Aru tidak bekerja, Bu?” tanyanya lagi menyampaikan kegundahan hati.

“Nanti Ibu akan membicarakannya dengan Bu Ranti. Kamu tidak perlu cemas.”

*

Arunika membantu Ibu menyiapkan hidangan makan siang di meja makan yang berbentuk persegi panjang. Kata Ibu, hari ini Bu Ranti akan kedatangan tamu. Itulah sebabnya mengapa Ibu sudah berkutat di dapur sedari tadi.

“Apa masih ada yang kurang, Bu?” tanya Aru sembari melayangkan pandangan pada meja makan yang sudah tertata padat. Mencari sesuatu yang barangkali belum disediakan di atas meja yang terbuat dari batu marmer tersebut.

“Tisu. Tolong ambilkan tisu.”

“Oh, iya.” Aru bergegas melangkah ke dapur, mengambil barang yang dimaksud. Saat kembali ke meja makan, saat itu pula Aru mendengar suara langkah yang saling bersahutan.

Langkah kaki itu milik Bu Ranti dan seorang wanita berkacamata yang sepantaran dengan beliau, saling berjalan bersisian mendekat ke arah mejah makan. Aru juga melihat Juna dan istrinya di belakang kedua wanita paruh baya tersebut.

“Baunya menggugah selera. Sepertinya enak ini,” ujar wanita berkacamata tersebut seraya menatap nikmat makanan yang tersaji di atas meja.

“Pasti enak. Masakan Bu Nita ini rasanya selalu nikmat. Tidak pernah mengecewakan lidah,” puji Bu Ranti membuat Ibu tersipu malu.

“Oh, ‘ya?”

“Iya. Ayo kita duduk. Biar kita buktikan sama-sama. Ayo, Juna, Nadia, duduk. Bu Nita dan juga Aru, sini duduk.” Bu Ranti begitu heboh mengajak semua orang untuk segera mengambil tempat masing-masing. “Saya sudah tidak sabar untuk menyantapnya,” ujarnya lagi setelah mendaratkan tubuhnya dengan sempurna di atas kursi.

Aru turut menarik salah satu kursi dan mendudukinya dengan enggan. Selama beberapa hari tinggal di rumah itu, Bu Ranti selalu mengajak Aru dan Ibunya untuk makan bersama di satu meja yang sama.

Namun kali ini rasanya berbeda. Ada 3 orang yang membuatnya canggung.

“Bagaimana, Mal? Enak, ‘kan?” Bu Ranti bertanya pada wanita berkacamata itu. Beliau sengaja menunggu wanita yang duduk di sebelahnya tersebut mencicipi makanannya terlebih dulu. Entah siapa wanita yang memiliki rambut sebahu itu. Aru belum pernah melihatnya.

“Iya, Ran. Ini enak sekali,” sahut wanita yang tak kalah cantik dengan Bu Ranti itu. Ia sampai memejamkan mata untuk menikmati kunyahan di dalam mulutnya. “Ini salah satu rendang terenak yang pernah kumakan,” ucapnya lagi setelah makanan di dalam mulutnya ditelan.

“Nanti kalau kamu akan pulang, kamu bisa membungkusnya. Sering-seringlah datang ke rumahku biar kita makan enak terus". Bu Ranti terlihat bersemangat mengucapkannya. “Masakan Bu Nita memang tidak pernah mengecewakan,” puji Bu Ranti lagi membuat Ibu tersipu di tempatnya. “Iya, ‘kan, Aru? Masakan Ibu kamu enak, ‘kan? ”

Aru menoleh, “Iya, Bu,” jawab gadis itu sekenanya dengan senyum sopan.

Selama makan, percakapan antara Bu Ranti dan wanita berkacamata itu yang mendominasi.

Sementara Juna tidak peduli dengan percakapan kedua wanita paruh baya itu. Ia seperti ingin cepat-cepat menghabiskan isi piringnya.

Dan istrinya, Nadia hanya menunduk mengaduk makanannya. Sesekali ia menyendok juga makanan ke dalam mulutnya. Namun, meskipun kata Bu Ranti dan temannya itu makanan yang terhidang enak, Nadia terlihat tidak berselera makan. Begitu yang Aru lihat.

Aru dan Ibu sudah selesai membereskan meja makan sejak setengah jam yang lalu. Ibunya diminta untuk membungkus rendang yang tersisa dan mengantarkannya ke ruangan di mana Bu Ranti berada. Katanya takut nanti lupa tidak dibawa oleh wanita berkaca mata itu.

Aru seperti biasa menyuci piring dan teman-temannya dengan hati-hati. Membilasnya juga hati-hati. Kalau sampai terjatuh dan pecah... tidak-tidak, jangan sampai itu terjadi. Ia tidak akan sanggup untuk menggantinya. Walaupun Bu Ranti wanita yang baik, bukan berarti dirinya bisa ngelunjak. Justru pada orang baiklah kita harus semakin segan.

“Jun, pokoknya kita langsung pulang saja.”

Aru mengenal suara itu. Suara itu adalah milik Nadia. Benar saja, saat Aru menoleh pada pintu yang menghubungkan dapur dan meja makan, terlihat Juna dan Nadia melintas di sana.

“Kamu jangan begitu, kita ikuti saja apa maunya Ibuku. Lagipula tidak susah hanya sekedar untuk mengecek kesehatan,” ujar laki-laki yang mengenakan kemeja biru dongker tersebut. Ia mengambil air dari lemari pendingin dan menuangkannya pada gelas yang baru saja diambilnya.

“Kita sudah mengecek kesehatan sebanyak 3 kali. Yang terakhir saja kita baru 2 minggu yang lalu melakukannya. Kenapa Ibu tidak sabar sekali menunggu hasilnya?”

“Sudahlah, Nad. Aku tidak ingin berdebat denganmu dan juga Ibu tentang masalah ini lagi. Selama ini Ibu sudah mengabulkan apa saja yang kita mau. Hanya pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatan tidak sulit. Ini semua Ibu lakukan juga supaya kita mem—.”

Suara kucuran air yang mengalir dari keran membuat Juna tidak melanjutkan lagi kalimatnya. Ia baru sadar kalau ada Aru di ruang itu.

Aru membungkukkan badan dan tersenyum sopan saat menyadari dirinya dilihat oleh sepasang suami istri tersebut.

Tanpa membalas keramahan Aru, Juna mengajak istrinya untuk pergi dari sana.

*

Kalau suka dengan ceritaku tinggalin like dong. Kalau gak suka juga wajib tekan like, maksa ini. Hehe

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!