Menjual Diri

Arunika

Tungkai kakiku terasa bergetar saat sudah melihat pagar rumah kediaman Bu Ida. Iya, hari ini adalah batas waktu di mana aku harus membayar utang pada Bu Ida. Aku ragu untuk meneruskan langkah karena uang yang aku bawa tidak sampai hingga jumlah yang dikatakan Bu Ida tempo hari.

Rasanya ingin memutar arah saja dan pulang. Tetapi mereka pasti akan datang ke rumah untuk menagih, yang nantinya akan membuat Ibu sedih atau bahkan terpukul mengetahui Bapak meninggalkan utang yang banyak kepada rentenir tersebut.

Setelah menarik napas panjang beberapa kali, aku melanjutkan kembali langkahku untuk mengunjungi rumah yang sudah di depan mata. Untuk yang kesekian kalinya, rupanya nasib mengharuskan aku menginjakkan kaki lagi di sini untuk membayar utang yang bukan utangku.

“Oh, kau itu, Arunika? Ayo kemari, kemari! Kau mau bayar utang, ‘kan?” Itu kalimat pertama yang kudengar dari si empunya rumah–suami Bu Ida, saat aku baru saja melewati pagar rumahnya yang terbuka lebar. Orang-orang biasa memanggilnya Master.

“Iya, Master,” jawabku sembari mengedarkan pandangan di sekitar halaman rumah itu. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain.

“Kenapa hanya berdiri di sana? Sini, sini, duduk di sini biar bicaranya lebih enak.” Laki-laki berkumis tebal yang kedua ujungnya melengkung ke atas itu sangat bersemangat sekali menyambutku.

Aku mendekat namun enggan untuk ikut duduk bersama dengannya. “Apa Bu Ida ada, Master? Saya ingin bicara dengannya.”

Suami Bu Ida itu nampak menautkan alis. “Mau bicara apa dengannya?” tanyanya kemudian. “Bicara dengan Mas ataupun dia sama saja.” Dia menyeringai. “Lagipula bapakmu dulu meminjam motor pada Mas. Jadi urusanmu dengan Mas.”

Kini giliranku menautkan alis. Mas?

“Em, maaf, Master, say–”

“Mas. Khusus untuk kamu, kamu bisa panggil saya dengan sebutan M-A-S, Mas.” Laki-laki yang sudah memiliki 3 orang cucu itu menekan kata mas dengan suara dibuat sensual membuatku merasa enek. Sudah bangkotan bisa-bisanya bersikap genit.

“Jadi begini, Master–” Aku mendengar rentenir itu mendecakkan lidah saat aku tidak menuruti kemauannya. Namun aku tidak peduli, “–uangnya hanya ada 6 juta. Sisanya akan saya cicil setiap bulan.”

“Apa? Hanya 6 juta?!” Suara baritonnya menyentak rungu kasar. Matanya pun melotot. Sifat aslinya keluar. “Gampang sekali kau bicara akan mencicil setiap bulan. Heh, Arunika, kau tahu tidak, sebelum motor itu hancur dibuat bapakmu, motor itu bisa menghasilkan uang sebanyak 7-8 juta dalam sebulan. Dan sekarang kau datang hanya membawa uang 6 juta? Bisa rugi besar aku.”

Dia terdengar menghela napasnya yang begitu berat. “Asal kau tahu, ‘ya, Arunika. Saya sudah sangat baik hanya meminta 15 juta saja. Saya hanya meminta modal uang motor itu saja.”

“Maaf, Master, saya sudah tidak punya uang lagi. Uang yang saya bawa ini juga dari meminjam koperasi di pabrik.” Aku yang sedari tadi sudah menunduk menjawab dengan lemah.

“Memangnya berapa yang akan kau cicil tiap bulan?” tanyanya dengan suara lemah.

“Saya hanya mampu membayar 1 juta, Master.”

“Oh, tidak, tidak, tidak. Bisa gila aku karena ini. Kau pikir dengan uang 1 juta bisa membayar gaji satu orang anak buahku? Saya tidak mau tahu. Sore ini kau harus antarkan sisanya.” Dia mengambil uang yang sudah aku letakkan di hadapannya sejak tadi, lalu beranjak berdiri hendak masuk ke dalam rumahnya.

“Tapi, Master, saya–”

“Saya tidak mau tahu kau punya uang atau tidak. Pokoknya sore ini kau atau ibumu harus mengantarkan uang itu kemari. Kalau tidak, saya atau anak buah saya yang akan datang ke rumah kalian.” Dia meneruskan kembali langkahnya untuk masuk ke dalam. Namun karena suaraku yang memanggil-manggil namanya dengan keras, dia pun berbalik dan menghampiriku lagi dengan alis yang menukik tajam. Ujung kumisnya juga ikut-ikutan menajam.

“Mau bicara apa lagi?!”

“Tolonglah saya, Master. Saya juga maunya utang ini segera lunas. Saya tidak tahu lagi di mana saya bisa meminjam uang. Saya tidak tahu lagi bagaimana caranya mendapatkan uang,” mohonku sungguh-sungguh. Karena aku memang sudah mencoba meminjam ke mana-mana, tetapi tidak ada satu orang pun yang bisa membantu.

Akan tetapi, meskipun ada yang meminjamkan uang padaku, aku pasti kelimpungan juga untuk membayarnya. Gajiku yang tidak seberapa sekarang bahkan harus dipotong karena telah meminjam koperasi di perusahaan tekstil tempatku bekerja.

“Ada caranya.” Seketika wajahku terangkat mendengarnya memiliki ide. “Kenapa kau tidak menjual diri saja?”

Aku terkesiap dengan ide kotornya, “Jangan bercanda, Master!” bentakku tidak terima.

“Tidak usah marah seperti itu!” serunya menantang sikapku yang berubah bengis. “Di sini saya yang dirugikan. Pokoknya sore ini uang itu harus ada. Kalau sampai tidak ada, maka saya akan memaksamu untuk menjual diri,” ancam Master itu dengan sorot matanya yang menyala merah, pertanda ucapannya tidak main-main. Dan memang setiap apapun yang dikatakannya selalu dilakukannya.

Angin yang berasal dari daun pintu yang baru saja ditutup dengan keras berembus menerpa wajahku yang kebingungan. Sekarang aku harus bagaimana? Pada siapa aku akan meminta bantuan? Aku tidak mau Master itu sampai melakukan hal gila seperti yang diucapkannya tadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!