“Bu, Ibu kenapa?” tanya Aru saat melihat tubuh Ibunya duduk membungkuk, bahkan tubuh bagian depan sampai menyentuh pinggiran meja. Aru mendekat, menyentuh punggung Ibunya untuk memastikan keadaan wanita yang sangat dikasihinya itu.
“Ibu s-sepertinya mau b-buang air.” Ibu berusaha keras mengucapkan kalimat tersebut supaya keluar dengan lancar dari mulutnya. Apa lagi alasannya selain agar Arunika tidak curiga.
“Buang air?”
“Iya.” Ibu bangkit dengan satu tangan memegang dadanya yang sesak. “Kamu, t-tolong lanjutkan masak, iya. Ibu ke belakang dulu.” Tanpa menunggu jawaban Aru, Ibu segera pergi meninggalkan Aru yang berdiri mematung, menatap penuh keheranan punggung Ibu yang semakin jauh.
Aru ingin sekali menyusul dan menanyakan kembali keadaan Ibu. Namun pekerjaan memasak yang juga tidak kalah penting dari keadaan sang ibu menuntutnya untuk tetap berada di sana.
Pukul 7 malam tidak lama lagi, Aru harus segera menyelesaikan memasak dulu baru setelahnya menyusul Ibu. Ia tidak mungkin membiarkan majikan Ibu menungguinya memasak.
*
Arunika sudah menata semua hidangan di atas meja makan. Ibu juga sudah berdiri tepat di sampingnya, dengan wajah yang lebih baik daripada tadi.
Sungguh Aru ingin membawa Ibunya ke kamar, menanyai kondisi Ibu yang ia yakini sedang tidak baik-baik saja. Aru sangat yakin bahwa Ibu hanya mencoba supaya terlihat dalam keadaan baik.
Namun apalah dayanya di rumah besar ini. Mereka hanyalah anak dan ibu yang menumpang hidup atas kebaikan Bu Ranti. Tidak mungkin bisa bersikap semaunya saja.
Tidak lama berselang, terdengar iringan langkah kaki menapak kian mendekat. Benar saja, di ujung sana terlihat Bu Ranti beserta anak dan menantunya datang. Aru melihat ketiga raut wajah itu tidak enak dipandang. Ada yang cemberut, memendam amarah dan sedih. Entah apa yang telah melanda mereka.
Bu Ranti segera menarik kursi untuk didudukinya. Begitupun dengan Juna dan Nadia. Aru dan Ibu juga turut melakukan hal yang sama setelah diminta Bu Ranti untuk duduk juga.
Tidak ada kata pujian yang terucap dari mulut Bu Ranti untuk makanan yang tersaji di meja seperti biasanya. Bagaimana mau memuji, jika raut wajahnya saja terlihat sedih.
“Bu Nita, rasa makanan ini seperti bukan masakan Bu Nita.” Bu Ranti menyampaikan isi hatinya yang merasa janggal dengan rasa makanan yang baru saja ditelannya.
Seketika Aru mengangkat wajahnya, menemui Bu Ranti yang kini tengah menatap Ibu dengan tatapan menyelidik.
Aru bersusah payah menelan makanan yang sebenarnya belum lu-mat untuk ditelan. Entah mengapa ia ingin buru-buru menghabiskan makanan di mulutnya. Sampai akhirnya dirinya mendengar sahutan Ibu, “Iya, Bu Ranti. Makan malam hari ini memang bukan saya yang memasak, tapi Aru.”
“Oh, Aru yang masak.” Pandangan Bu Ranti menemui Arunika. Tatapan itu tidak ada kagum-kagumnya seperti saat Bu Ranti memuji masakan Ibu. Sorot mata itu seperti mengatakan ‘masakanmu ternyata begini, sungguh tidak enak’.
“Tapi kenapa bukan Bu Nita yang masak?” tanya Bu Ranti penasaran. Sudah 2 tahun bekerja di rumahnya, Bu Ranti sudah terlanjur jatuh cinta dengan semua makanan yang dimasak oleh Bu Nita. Bahkan karena saking cintanya, beliau nyaris tidak pernah memakan makanan dari luar.
Hati kecil Aru menciut. Ia yakin kalau rasa masakannya tersebut sudah membuat Bu Ranti kecewa.
“Saya tadi sembelit, Bu. Jadi saya meminta Aru yang memasak. Maaf kalau makan malam kali ini rasanya berbeda dari biasanya.”
“Ah, tidak apa-apa, Bu Ranti. Memakan makanan yang rasanya berbeda dari biasa, sekali-kali boleh juga.” Bu Ranti tersenyum nyaris tertawa. Tetapi percayalah, meskipun Bu Ranti terlihat bersahabat dalam mengucapkan kata-katanya, Aru bisa melihat rasa kecewa di sana.
Gadis itu jadi menyesal karena tadi memasak buru-buru demi untuk segera menemui ibunya. Ia tidak mengecek rasanya terlebih dulu. “Maaf, Bu, kalau rasanya tidak enak,” ucapnya menyesal.
“Iya, tidak apa-apa, Aru.” Bu Ranti tersenyum sebelum kemudian melanjutkan lagi makan. Makan dengan tidak sesemangat saat memakan masakan Ibu.
Aru menggerakkan ekor matanya untuk melihat pasangan suami istri yang duduk di seberang meja paling kiri. Pasangan itu juga terlihat tidak bersemangat memakan masakannya.
Tetapi tadi siang mereka juga makan seperti itu, makan dengan uring-uringan. Padahal makan siang tadi Ibu yang memasak. Sepertinya cara mereka makan memang begitu biarpun makanannya enak, pikir Aru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments