Arunika
Satu minggu berlalu setelah kepergian bapak. Ibu lebih sering terlihat melamun, malas makan dan tidak ada gairah. Kadang kala aku juga mendapatinya menangis meskipun sudah bersembunyi dariku. Ibu sungguh tidak pintar untuk hal itu. Dan akan kentara sekali kalau beliau berbohong jika aku menanyakannya. Atau memang aku yang sangat peka dan sangat tahu bagaimana karakter wanita yang sangat aku cintai ini?
Seperti sore ini. Saat aku sudah selesai beres-beres di belakang, aku mengintip dari balik gorden–kain yang menjadi pembatas antara ruang depan dan tengah. Mendapati ibu tengah menangis dengan suara tertahan. Aku tahu yang ditangisinya pasti bapak lagi, bukan karena dari siaran televisi yang tengah menyala.
Aku tidak mengerti mengapa ibu sampai sebegitunya menangisi kepergian bapak. Padahal sampai akhir hayatnya, bapak tidak pernah memberi cinta atau kehangatan apalagi tanggung jawab pada keluarga kami. Hanya meninggalkan kepedihan yang sampai berbekas di sanubari. Entahlah, apakah luka ini kelak akan sembuh. Tidak ada kesan yang bisa membuatku merasa kehilangan bapak. Ya, begitu yang aku rasakan dan yang ada dalam ingatanku.
“Bu, ayo kita makan,” ajakku pura-pura saja tidak tahu kalau beliau tengah menangis. Aku mengambil gelas bekas teh yang ada di depan ibu tanpa berniat untuk menatap wajahnya. Aku sungguh mulai merasa jengkel dengan sikap ibu ini yang masih saja bersedih untuk bapak, laki-laki yang sangat tidak pantas untuk ditangisi.
“Aru.” Mata sayu dan lembab ibu menghentikan tanganku. Aku terdiam. Sikap ibu tidak seperti yang sudah-sudah, setiap kali kedapatan menangis beliau akan segera membuang muka dan buru-buru menghapus air matanya lalu menunjukkan senyumnya yang dibuat-buat. Kali ini ibu membiarkan aku melihat kesedihannya.
Aku menuruti permintaan ibu untuk duduk di sampingnya, di atas selembar karpet kecil yang warnanya sudah pudar.
Aku meneliti wajah ibu. Sisa air mata masih terlihat menempel di pipinya. “Bu, Aru tidak suka melihat ibu menangis. Ibu tahu itu, ‘kan?” Akhirnya rasa jengkelku lebur begitu saja melihat air mata ibu dari dekat. Perlahan aku menghapus air matanya yang membuat dadaku terasa sesak. Mana mungkin aku sanggup melihat wanita yang aku cintai ini berderai air mata sedangkan beliau adalah satu-satunya alasanku untuk tetap bertahan hidup di dunia ini. “Bu, tolong, jangan menangisi bapak terus-menerus seperti ini,” pintaku untuk yang kesekian puluh kalinya. “Ibu bisa sakit nanti,” ujarku lagi dengan penuh permohonan.
“Aru.” Ibu menggenggam kedua jemari tanganku dan menatapku dalam. “Ibu tahu kamu tidak menyukai mendiang bapakmu. Atau mungkin kamu bahkan membencinya.” Aku mengiyakan dalam hati. Ya, luka yang ditorehkan bapak pada keluarga kami terlalu sakit. Tidak terhitung berapa kali bapak membuat aku dan ibu menangis.
“Tetapi ketahuilah, Nak–” lanjut ibu lagi yang membuat lamunanku terputus akan kelakuan buruk bapak semasa hidupnya, “saat kamu lahir dulu, bapak yang paling gembira menyambutmu. Bahkan sampai bersorak kegirangan.” Dahiku seketika berkerut mendengarnya. Apa ibu tidak salah bicara?
“Bapaklah yang memberi nama kamu. ARUNIKA. Nama yang cantik, bukan? Secantik orangnya.” Ibu mengulas senyum, namun tidak lantas membuatku untuk tersenyum juga.
Pandangan ibu semakin dalam menatapku begitu pula denganku yang tanpa berkedip memandangnya. Mencoba mencari kejujuran di sana. Rasanya tidak mungkin beliau mengarang cerita tersebut karena untuk apa juga ibu berbohong seperti itu. Tidak ada yang diuntungkan.
Dan seperti yang kukatakan, aku tahu betul karakter wanita yang telah melahirkanku ini. Namun, aku juga tidak percaya kalau bapak dulu begitu. Itu mustahil!
“Ibu bisa memahami kalau kamu tidak percaya dengan yang Ibu katakan barusan. Tetapi Ibu mengatakan yang sebenarnya, Nak. Bapakmu begitu menyayangimu saat kamu masih kecil. Semua kebutuhan kamu selalu dipenuhinya, tidak peduli seberat apapun pekerjaannya.”
Bapak menyayangiku?
Bapak yang pemalas mau bekerja?
Aku tertawa dalam hati membayangkannya. Aku yang sudah sebesar ini sama sekali tidak pernah merasakan bagaimana rasanya kasih sayang seorang ayah. Dan yang kutahu sampai akhir hidup bapak, aku tidak pernah sekalipun melihatnya bekerja. Tidak pernah sekalipun aku melihat bapak membawa uang ke rumah. Tidak pernah sekalipun aku merasakan hasil jerih payahnya. Yang ada malah bapak yang mengambil paksa uang ibu, hasil dari bekerja di rumah orang lain dan juga mengambil gajiku. Itulah kenyataannya.
Sekali lagi, ingin rasanya aku tertawa sekuat-kuatnya mendengar cerita ibu ini.
“Apakah kamu pernah memperhatikan kaki bapakmu?” Lamunanku terhenti dengan pertanyaan ibu.
Aku mengangguk setelah beberapa detik kemudian karena ibu terlihat begitu menunggu jawabanku. Padahal dari dulu aku tidak berselera membahas tentang bapak. Sempat berpikir jika aku ini bukan anak kandungnya karena perlakuan buruknya terhadapku. “Kakinya yang sebelah kanan terlihat bengkok,” jawabku dengan malas.
Ibu tersenyum lantas menarik napas. Matanya kini melihat ke sembarang arah dan menerawang jauh. “Tulang kaki bapakmu patah karena melompati beberapa anak tangga untuk menolong kamu yang saat itu jatuh dari tangga.” Aku terdiam membisu. Benarkah? “Kalian dulu sama-sama terluka, namun yang paling parah bapakmu. Saat itu usiamu sekitar dua tahun.
Bapakmu bersikeras tidak mau diobati di rumah sakit. Dia lebih memilih berobat ke dukun patah. Padahal saat itu biayanya lebih dari cukup untuk berobat kalian berdua di rumah sakit. Kata bapak biar ada jaga-jaga untuk kamu dan biaya hidup kita selama bapak belum bisa bekerja.”
Benarkah bapak memiliki kasih sayang seperti itu di masa lalu? Aku sama sekali tidak mengingat kejadian itu.
Kutatap wajah ibu yang kini matanya berembun kembali. Sementara aku masih tergugu di tempat dengan mulut terkunci rapat. Hati nuraniku ingin percaya karena tidak mungkin ibu mengatakan kebohongan seperti itu. Akan tetapi luka yang ditancapkan bapak terlalu dalam hingga sulit untuk diobati, sekalipun ibu sudah menceritakan kebaikan bapak terhadapku di masa lalu.
“Tetapi kenapa bapak selalu mengatakan dia membenciku, Bu? Kenapa, Bu?” tanyaku dengan penuh desakan setelah beberapa waktu merenungkan semua yang diucapkan ibu.
Selama ini aku selalu menanyakan hal tersebut, namun ibu membantah dan selalu memberi jawaban kalau bapak tidaklah membenciku. Bapak hanya tidak tahu cara mengungkapkan kasih sayangnya. Dan aku tahu itu hanyalah kebohongan. Banyak orang yang tidak bisa mengungkapkan kasih sayangnya dengan kata-kata, namun mereka menunjukkan dengan perbuatan. Sementara bapak?
Isakan ibu terdengar lagi membuatku meradang dibuatnya. “Sudah, Bu. Kita tidak usah membahas soal bapak lagi,” ujarku tegas. “Aru tidak suka melihat Ibu menangis seperti ini, apalagi menangis karena bapak.” Aku menghapus air mata ibu yang dengan beraninya menampakkan diri di pipi yang mulai keriput tersebut.
“Ibu akan menjawab pertanyaan kamu dengan jujur.” Tiba-tiba ibu mengurungkan niatku untuk beranjak berdiri.
“Sudahlah, Bu. Kita tidak perlu lagi membicarakannya.”
Melihat manik mata ibu yang sarat akan permohonan memaksaku urung untuk pergi. Aku menarik napas untuk meredam rasa tidak sukaku akan bapak. Seperti yang selalu aku lakukan. “Baiklah, Bu,” ujarku setelah berhasil menenangkan hatiku. “Aru akan mendengarkannya. Tetapi Ibu harus janji, ini yang terakhir kita membicarakan bapak. Besok-besok Ibu jangan menangisi bapak lagi.”
Ibu tersenyum lemah dan perlahan mengangguk.
“Setelah kejadian itu bapak memutuskan untuk pindah dari rumah kontrakan tersebut. Takut kejadian serupa menimpamu lagi.” Ternyata ibu melanjutkan ceritanya.
“Beberapa lama setelah kita pindah ke rumah kontrakan yang baru, sifat dan sikap bapakmu mulai berubah. Bangun yang sering kesiangan, tidak tentu bekerja, pulang lebih sering larut malam dan suka marah-marah tidak jelas.” Ibu menunduk. Aku tahu saat ini beliau tengah berusaha menahan tangisnya.
“Perubahan bapakmu semakin hari semakin tidak terkendali. Bapakmu yang penuh cinta, sabar, dan pekerja keras berubah menjadi seperti yang kamu lihat selama ini. Bapakmu terlalu jauh melangkah sampai Ibu juga tidak mengenalnya lagi.” Sesekali ibu menyeka bulir air mata yang akhirnya luruh juga. Untuk kali ini aku akan membesarkan hatiku melihat ibu menangis. Membiarkan beliau mengeluarkan semua kesesakan yang menghimpit dadanya.
“Sampai pada suatu malam, bapak pulang dengan membawa aroma tidak sedap dari tubuhnya. Ibu rasa saat itu bapak minum alkohol. Dia mendebat Ibu seperti yang selalu dilakukannya. Dan... dan malam itu bapak mengatakan bahwa dia tidak menginginkan anak perempuan.” Aku seketika bingung. Bukankah tadi di awal ibu bercerita bapak sangat senang dengan kelahiranku?
“Kata bapakmu anak perempuan tidak akan mampu mengharumkan nama orangtuanya, karena pada akhirnya hanya akan tinggal di rumah mengurus rumah tangga.”
Aku tercengang sekaligus marah dan juga kecewa. Alasan macam apa itu!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments