Sang Penolong (1)

Arunika

“Aru.”

“Iya, Bu.” Aku berbalik saat pekerjaanku telah selesai dan melihat Ibu yang datang tergesa menghampiriku.

“Sudah selesai menyuci piringnya?”

“Iya, Bu, sudah. Hanya tinggal menyusunnya saja ke lemari.” Aku meneliti kedua bola mata Ibu yang bergerak-gerak mencari sesuatu di lantai. Perasaanku mendadak gelisah.

“Apa benar, kamu membiarkan anak Bu Ranti membersihkan pecahan beling?” tanya Ibu kemudian.

Seketika aku memejamkan mata sesaat. Apa yang aku khawatirkan terjadi juga. Pasangan suami istri itu mengadukan apa yang terjadi.

“Maaf, Bu.” Wajahku tertunduk pasrah dan juga sedih. Bagaimana jika Bu Ranti tidak menginginkan jasa Ibu lagi untuk bekerja di rumah ini?

“Iya sudah, tidak mengapa.” Ibu menempelkan telapak tangannya pada salah satu bahuku dan mengusapnya sayang membuatku seketika menatap Ibu tidak mengerti. “Justru Ibu yang merasa bersalah karena membiarkanmu datang kemari dan melakukan pekerjaan Ibu,” sesal Ibu dengan wajah sendunya. “Mereka mengira kamu salah satu pekerja di sini yang tidak becus bekerja.”

“Tidak, Bu. Jangan bicara seperti itu. Aru senang bisa membantu pekerjaan Ibu. Jangan bicara begitu lagi, Bu.”

“Kamu memang anak yang baik.” Ibu tersenyum simpul meskipun ada setitik cairan bening yang menggenang di pelupuk matanya. Aku yakin pasti mereka telah mengusik hati Ibu.

“Apa mereka memarahi Ibu atau mengatakan sesuatu yang menyakitkan hati Ibu?” tanyaku curiga.

“Tidak, sama sekali tidak,” pungkas Ibu meyakinkan. “Untungnya Ibu Ranti memberi pengertian kepada anak dan menantunya bahwa kamu tidak bekerja di sini. Kamu hanya membantu Ibu saja.”

Setelah Ibu meyakinkanku bahwa tidak ada yang membuatnya sedih atau sakit hati, aku berkali-kali mengucapkan maaf pada Ibu karena diriku yang tidak maksimal dalam bekerja.

Aku sempat berpikir kalau Ibu bakal dipecat karena kebodohanku tadi. Jika saja itu terjadi, aku akan semakin kebingungan bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar utang Bapak. Belum lagi memikirkan biaya hidup kami kedepannya.

“Sudah beres semua,” ucap Ibu lega setelah kami menyelesaikan pekerjaan di dapur. Semua peralatan sudah tersusun rapi pada tempatnya. Dapur juga sudah bersih tanpa ada noda. “Tunggulah sebentar. Ibu berpamitan dulu pada Bu Ranti kalau kita akan pulang,” ujar Ibu lagi dan bersiap akan pergi.

“Bu, tunggu,” cegahku. “Ini sudah malam, bagaimana kalau kita menginap di sini saja?”

Ibu mengerutkan dahi, “Menginap di sini?” tanya Ibu bingung. Karena biasanya kami akan menginap di rumah ini kalau cuaca sedang buruk atau masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.

“Iya, Bu, kita tidur di sini saja. Aru sudah membawa baju ganti untuk kita.” Aku berusaha membujuk Ibu berharap Ibu mau menyetujuinya.

“Tetapi bukannya besok kamu kerja sif pagi?”

“Iya, tidak apa-apa, Bu. Aru sudah membawa baju kerja. Besok Aru akan berangkat bekerja dari sini. Jadi Ibu tidak perlu cemas.”

Meskipun dengan wajah heran, akhirnya Ibu menyetujui juga. Ibu bergegas menemui Bu Ranti untuk meminta izin padanya.

*

*

“Hei... Aru! Tunggu!”

Aku terkesiap mendengar suara menggelegar laki-laki menyerukan namaku. Aku melihat ada sebanyak 3 orang laki-laki berbadan besar sedang berlari mengejar kayuhan sepedaku dari arah belakang.

Aku terkejut bukan main. Aku tadi sudah mengendap-endap untuk memastikan kalau tidak ada konco-konco Master di sekitar jalan ini. Bahkan aku sudah sengaja pulang dari bekerja lebih lama dari biasanya untuk menghindari mereka.

Kembali aku menarik pandanganku ke depan dan segera mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga. Jangan sampai mereka menangkapku dan ... ah, aku tidak sanggup membayangkannya.

Aku tidak lagi mendengar suara mereka meneriaki namaku. Sesaat aku menoleh ke belakang dan benar saja, mereka sudah tidak terlihat lagi. Aku bernapas lega. Jalanan yang sudah lumayan lengang membuatku lolos dengan mudah dari kejaran mereka.

Aku terus mengayuh sepedaku dengan cepat. Bukan tidak mungkin kalau mereka membiarkan aku bebas begitu saja. Aku harus secepatnya sampai di rumah Bu Ranti–tempat di mana Ibu bekerja.

*

Suara knalpot sepeda motor yang memekakan telinga sungguh mengganggu rungu. Suara bising itu semakin lama semakin dekat saja. Dan memang benar, sepeda motor itu datang dari arah yang berlawanan dari tempatku saat ini.

“Hei, Aru!”

Aku menelan ludah yang rasanya seperti menelan duri, susah dan sakit di tenggorokan. Seperti dugaanku, suruhan Master itu tidak mungkin membiarkanku lolos begitu saja.

Aku tidak hilang akal. Aku segera memutar balik sepeda, menaikinya dan harus segera mengayuh dengan secepat-cepatnya.

“Hei....!”

Mereka mengejar dan berhasil memegang stang sepeda tuaku, sehingga mau tidak mau aku terpaksa menghentikan kayuhanku. Apalah daya sepedaku yang sudah tua lagi butut ini. Tidak mungkin bisa mengimbangi kecepatan sepeda motor mereka yang gede.

“Turun!” titah seorang dari mereka dengan suara yang menggelegar.

Sekejap aku memejamkan mata. Apakah riwayatku akan benar-benar tamat di tangan mereka?

“Kau mau mempermainkan Master, ‘ya?”

Aku menggeleng takut namun berusaha terlihat biasa saja, “Tidak.”

“Lalu kenapa kau tidak datang kemarin sore dan juga tidak ada di rumah kontrakanmu!” bentak salah satu dari mereka yang aku tahu adalah orang kepercayaan Master. “Kau dan Ibumu mau kabur, iya?”

“Tidak!” jawabku tegas. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana sebelum utang Bapak lunas. Kalian tidak usah khawatir. Aku akan melunasi utang itu kalau aku sudah ada uangnya. Aku hanya butuh waktu.”

“Sayangnya Master tidak ingin membuang-buang waktu untuk menunggu uangmu terkumpul selama itu!” Laki-laki yang merupakan tangan kanan Master itu semakin mendekat dan menyeringai menakutkan. “Bukankah Master sudah memberi saran supaya kau menjual saja tubuhmu ini.” Dia memandangi diriku dari atas sampai bawah, membuatku ingin mencolok matanya. Dia bahkan hampir menyentuh batang rambutku yang keluar dari kuncirannya andai saja aku tidak segera menepis tangannya yang hitam itu.

“Tidak akan! Aku tidak akan melakukan hal menjijikkan itu.”

“Iya sudah. Kau harus ikut kami sekarang!” Tangan preman itu mencengkram kuat pergelang tanganku dan menariknya.

“Tolonglah, Bang, beri aku waktu,” pintaku memelas. “Satu minggu saja. Tolong beri aku waktu satu minggu saja.”

“Tidak! Lagipula darimana kau akan mendapatkan uangnya secepat itu. Orang-orang tidak akan ada yang mau meminjamimu uang. Seperti yang sudah-sudah.”

Aku terus berusaha membujuk laki-laki bertubuh jangkung dan besar itu supaya mau mengabulkan permintaanku. Tetapi tetap saja, dia tidak mau mendengarnya dan menggiringku supaya naik ke atas sepeda motor mereka.

Cengkraman pada tanganku dilepas saat aku disuruh untuk naik ke atas sepeda motor tersebut. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gerak cepat aku berlari sekuat yang aku bisa.

“Tolong! Tolong!” Aku berteriak meminta tolong sembari berlari. Berharap ada yang mau menolongku untuk bebas dari preman-preman ini.

Tetapi beberapa warga yang melihatku berlari minta tolong dan ketakutan begini, mereka hanya diam saja dan menatapku iba. Aku tahu mereka pasti tidak ingin berurusan dengan Master. Kalau ada yang berani mengusik cara kerja para buntutnya ini, mereka akan disuruh ganti rugi.

Aku terus berlari sekuat yang aku bisa. Teriakan mintatolongku juga seolah bagai angin lalu bagi yang mendengarnya. Keringat dan air mata telah menyatu dan berjatuhan dari pipi.

Hingga pada akhirnya....

Grab!

Ikatan rambutku ditarik membuatku terhuyung ke belakang.

“Apa kau lebih suka dengan cara kekerasan seperti ini, Aru?!”

“Bang, tolong lepasakan, Bang. Sakit,” rintihku karena merasakan rambutku sepertinya akan tercabut dari kulitnya.

“Kau harus dikasari supaya menurut.”

Mereka membawaku untuk kembali ke tempat semula. Mereka sama sekali tidak memedulikan aku yang merintih kesakitan karena rambutku masih saja ditarik.

Tin... Tin....

Suara klakson mobil terdengar dari belakang. Preman itu menarik rambutku ke samping agar tidak menghalangi jalan.

Tin... Tin....

Bos preman tersebut mendecakkan lidah dan terpaksa menghentikan langkahnya. Matanya menoleh ke belakang kepada si pengemudi mobil.

Tidak lama kemudian si pengemudi keluar dari mobilnya.

Laki-laki berpenampilan necis tersebut datang menghampiri dan menanggalkan kacamatanya yang berwarna hitam.

“Pak!” seruku kaget namun juga senang dan juga ada rasa lega melihatnya datang menghampiri. Dari sekian warga yang aku mintai tolong, hanya dia-lah satu-satunya orang yang berani menghentikan langkah si preman-preman yang kini sedang berdiri di sisi kanan-kiriku.

Laki-laki yang merupakan anak dari majikan Ibu, yang namanya Juna tersebut terlihat kaget melihatku. Pak Juna sepertinya tidak mengenaliku tadi.

“Hei, Bung. Apakah begini cara memperlakukan wanita?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!