Senyum yang Kembali Pudar

Arunika

Hampir dua minggu setelah kepergian Bapak.

Aku mengayuh sepeda menuju pulang dengan riang gembira. Bibirku tersenyum sumringah sedari tadi. Sesekali bernyanyi juga. Uang gaji sudah ada di saku bajuku sekarang. Iya, hari ini aku gajian. Akhirnya lelah, letih dan rasa mengantuk semalam telah terbayarkan. Aku bekerja sift malam dan pulangnya di pagi hari.

Di sepanjang jalan pulang, para pedagang berjejer menjajakan dagangannya. Begitu juga dengan pembelinya yang berdesakan untuk membeli barang yang diinginkan. Beginilah pemandangan setiap kali buruh pabrik gajian. Tidak heran bila jalan raya jadi macet karena sebagian badan jalan digunakan oleh pedagang-pedagang tersebut sebagai tempat mengais rejeki.

Akhirnya aku menghentikan kayuhan sepedaku di samping sebuah gerobak nasi uduk. Setelah sebelumnya sempat beberapa kali berhenti untuk melihat-lihat baju di lapak penjual pakaian. Iya, aku berniat untuk membeli pakaian untuk Ibu. Karena kurang lebih 3 tahun aku bekerja, aku tidak pernah benar-benar membuat hati wanita yang telah melahirkanku itu senang. Apalagi alasannya kalau bukan ancaman Bapak.

Pernah beberapa kali aku membeli baju untuk Ibu. Bapak yang mengetahuinya marah dan merobek-robek pakaian tersebut. Tidak tahu entah karena memang tidak suka atau iri karena tidak membelikannya juga atau karena alasan lain. Bila aku tetap nekat membelikan Ibu, maka Bapak mengancam akan membakar semua baju yang ada di rumah.

Kini aku bernapas lega, sangat lega. Tidak akan ada lagi penghalang bagiku untuk menyenangkan hati wanita tercintaku. Aku dan Ibu akan hidup dengan tenang tanpa ada bayang-bayang Bapak.

Aku menerima dua bungkus nasi uduk dan beberapa biji gorengan setelah membayarnya. Makanan ini akan menjadi santapan sarapan pagi kami. Aku juga membeli berbagai macam buah-buahan.

Dalam hati aku berjanji mulai sekarang akan memanjakan ibu yang sudah membesarkan dan menyekolahkanku dengan susah payah. Saat bertemu nanti di rumah aku akan memintanya untuk tidak bekerja lagi sebagai asisten rumah tangga. Dengan gajiku yang lebih dari cukup, aku rasa aku mampu membiayai hidup kami.

Kembali aku menunggangi sepeda tuaku yang joknya sudah sangat tidak nyaman untuk diduduki. Sepeda ini juga akan aku ganti dengan yang lebih pantas. Tapi nanti saja pada gajian yang berikutnya. Saat ini aku lebih memilih untuk memanjakan Ibu dengan mengajaknya nanti ke pasar untuk membelikannya baju atau barang apapun yang diinginkannya. Setelah tadi aku berpikir, sepertinya lebih baik Ibu sendiri yang memilih pakaian untuknya. Itu sebabnya aku tidak jadi membelikannya pakaian.

“Aruu... stop!” Khayalanku buyar saat seseorang berdiri menghalangi jalanku dan meminta berhenti. Dengan mendadak aku mengerem sepeda bututku dengan kaki, nyaris saja menabrak tubuh wanita paruh baya itu.

“Bu Ida?” sapaku dengan tatapan sedikit jengkel. Andai saja aku tidak menghentikan sepedaku tepat waktu dan menabrak tubuhnya, bisa kupastikan wanita yang memiliki bobot tubuh lebih dari normal itu akan meminta ganti rugi.

“Iya Bu Ida, ada apa?” tanyaku heran setelah menepikan sepeda. Seingatku aku sudah melunasi utang Bapak bulan lalu. Jadi untuk apa dia menghentikanku? Iya, Bu Ida ini adalah istri dari rentenir yang suka dipinjami Bapak uangnya.

”Kamu sift malam rupanya. Kamu sudah gajian, ‘kan?” Aku sesaat diam kemudian mengangguk heran. Untuk apa wanita tambun itu menanyakannya?

“Tadinya saya mau ke rumah kontrakan kalian. Tapi karena sudah bertemu kamu di sini, saya ngomongnya di sini saja. Tunggu sebentar.” Dia beralih fokus pada plastik putih yang ada di tangannya. Lalu menghabiskan isinya yang hanya sedikit lagi. Aku cukup heran, setiap kali bertemu wanita ini hampir selalu membawa makanan di tangannya. Apa tidak malu, ‘ya, dilihatin banyak orang ngemil sambil jalan-jalan?

Eh, tunggu. Tadi dia mengatakan ingin membicarakan sesuatu. Apakah yang ingin dikatakannya sesuatu yang penting? Dadaku mendadak berdebar tidak karuan.

“Jadi begini–” Wanita yang umurnya lebih tua dari Ibu itu sesaat menjilat jari tangannya. Membuatku merasa ilfeel. Punya banyak uang tapi kok kayak enggak pernah makan enak. Mending tadi anak kecil, lah ini orang tua.

“Motor yang dipakai mendiang bapakmu dulu waktu kecelakaan, itu motor kami.” Aku mulai gelisah mendengar kalimat pertamanya. “Katanya dia perlu motor untuk satu bulan. Kita membuat kesepakatan dalam satu bulan itu uang sewanya 2 juta.”

Aku menarik napas gusar, “iya, Bu Ida. Saya akan menyicil yang 2 juta itu,” kataku dengan lemah karena sudah mengerti ke arah mana wanita itu berbicara.

“2 juta? Ahaha.” Dia tertawa membuatku heran. Bukankah barusan dia mengatakan 2 juta?

“Apakah polisi tidak menceritakan bagaimana kondisi motorku yang mulus menjadi penyet rata dengan aspal sampai tidak berbentuk?”

Aku terdiam untuk beberapa saat. Senyum yang menghiasi bibirku sedari tadi hilang tanpa jejak. Berganti dengan amarah yang sekarang berkobar lagi. Laki-laki itu... laki-laki yang kusebut Bapak sebelum meninggal pun masih sempatnya meninggalkan masalah.

“Kalau kamu tidak percaya, lihat saja sendiri ke kantor polisi. Untuk apa kami membawa motor yang sudah jadi barang rongsok itu pulang.”

Aku menarik napas, mencoba melegakan paru-paruku yang rasanya kian menyempit, “berapa saya harus menggantinya?” Aku yakin, warna putih di kedua bola mataku sudah berubah merah.

“15 juta.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!