Sang Penolong (2)

Arunika

“Hei, Bung. Apakah begini cara memperlakukan wanita?” ujar Pak Juna terdengar geram.

“Bukan urusan anda! Jadi jangan ikut campur! Ayo!” Preman tersebut kembali menarik rambutku dengan kasar membuatku meringis.

“Sayangnya wanita ini ada urusan dengan ibuku.” Pak Juna melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Seharusnya dia sudah tiba sejak 1 jam yang lalu. Kalian sudah membuat ibuku menunggu selama itu.”

Si Bos Preman ini mendecakkan lidah dan kemudian menyeringai. “Saya tidak peduli dengan ibu Anda atau pun bapak Anda. Gadis ini sedang ada keperluan penting dengan bos kami. Jadi jangan membuang-buang waktu kami dengan membicarakan keluarga Anda. Ayo!” hardiknya seraya menarik lagi rambutku dengan kuat membuatku mendesis kesakitan. Benar-benar tidak punya hati manusia satu ini.

“Saya juga tidak punya waktu untuk berbicara dengan kalian. Pak!” panggil Pak Juna pada seseorang yang berpakaian security, berdiri tidak jauh dari tempat kami berada. Aku seketika baru sadar kalau aku sudah berada di depan kompleks perumahan Bu Ranti.

“I-iya, Pak Juna?” jawab satpam itu sembari berlari kecil mendekat.

“Tolong beri saya nomor kantor polisi terdekat. Saya harus membuat laporan pada polisi kalau warganya ada yang dianiaya seperti ini.”

“Ta-tapi, Pak.” Security tersebut tampak ragu. Ia melirik si preman yang tangannya tak kunjung lepas dari rambutku dengan gelisah. Aku berulang kali memohon supaya dia berbelas kasih melepaskan rambutku, namun tidak digubrisnya.

Sesaat Pak Juna juga melirik preman sial*n ini. Ia memindai penampilannya. “Apa Bapak takut dengan orang-orang ini?” tanyanya curiga.

“Iy-eh, tidak, Pak.”

“Bapak Agus ini bagaimana? Bapak ini bekerja sebagai security yang artinya keamanan. Jadi tugas Bapak memberi rasa aman bagi orang-orang di sekitar yang ditindas seperti wanita ini.” Pandangan Pak Juna menatap security tidak habis pikir. “Bapak kenal tidak dengan wanita ini?”

“I-iya, saya kenal dengan Neng Aru.” Pak Agus berkata pelan.

“Nah, kenal lagi. Tetapi kenapa Bapak Agus hanya melihatnya diperlakukan seperti ini?” Pak Juna geleng-geleng kepala lalu melirik tangan preman terkutuk ini yang belum juga melepaskan rambutku. Sungguh aku merasa jika rambutku sudah banyak yang terlepas dari kulit. “Ayo, Pak Agus. Berikan pada saya nomor kantor polisi itu!” pinta Pak Juna tegas pertanda dia memang tidak sedang menggertak preman-preman ini.

“I-iya, Pak. Saya akan mengambilkannya di pos.” Pak Satpam itu kemudian bergegas menuju pos penjagaannya.

“Dengar, Tuan Yang Terhormat. Saya tidak ingin berurusan dengan Anda karena saya ataupun Anda sama-sama tidak memiliki kepentingan. Jadi sebaiknya Anda pergi dan kami juga pergi.”

Pak Juna tidak menanggapi, ia memandangi Pak Security yang tengah melangkah cepat sembari membuka-buka isi buku kecil di tangannya, mungkin mencari nomor kantor polisi.

“Ini, Pak Juna.” Satpam tersebut menyerahkan buku kecil itu sambil menunjuk isinya. Pak Juna lantas mengeluarkan telepon genggamnya dari saku membuat Bang Preman mendecakkan lidah pertanda kesal.

“Tidak usah menghubungi polisi!” Preman sial@n itu seketika mengendurkan cengkramannya dari rambutku lalu mendorongku kuat hampir terjatuh.

“Kau jangan senang dulu. Hari ini kau bisa lepas tapi tidak dengan hari besok ataupun hari-hari seterusnya. Aku pastikan kau akan membayar utangmu itu menjadi dua kali lipat. Kau ingat itu!” tunjuknya menudingku. Tatapannya gelap penuh dengan ancaman. Dia juga menatap nyalang Pak Juna dan juga Pak Satpam. Kemudian mengajak orang-orangnya untuk pergi dari sana.

“Bang, jangan begitu. Aku tidak punya uang sebanyak itu,” pintaku dengan tergugu. Namun ucapanku tidak didengarkan oleh mereka.

“Kau mau ke mana? Apa mau ke rumah ibuku?” Suara Pak Juna menyita perhatianku yang masih menatap jejak-jejak bayangan preman-preman tadi.

“Iya, Pak.” Aku merapikan wajah yang dipenuhi oleh keringat dan juga air mata. Dan juga rambut yang sudah tidak terikat lagi. Entah di mana pengikatnya jatuh.

“Iya sudah, kita pergi bersama ke rumah ibuku.”

“Tidak usah, Pak,” tolakku dengan suara frustrasi karena rumitnya memikirkan bagaimana cara untuk membayar utang itu. Utang sebanyak 15 juta saja aku tidak mampu membayarnya, bagaimana pula jika harus digandakan.

“Apa kau ingin bertemu lagi dengan mereka?”

Akhirnya aku setuju untuk ikut bersama Pak Juna ke rumah Bu Ranti. Seperti katanya, bisa saja saat ini preman-preman tersebut masih berada di sekitar sini mengintaiku.

Tak lupa aku juga memasukkan serta sepeda kesayanganku ke dalam mobil mewah Pak Juna. Beruntung dia tidak menolak sepeda jelekku ikut aku bawa, mengingat kondisi sepedaku yang sangat memprihatinkan.

Di sepanjang jalan aku hanya menatap keluar jendela mobil. Aku sudah berusaha supaya air mata tidak jatuh bercucuran. Namun masalah yang tengah kuhadapi sangatlah besar.

Tadi aku sudah berusaha meminta bantuan pada teman-teman di pabrik. Tetapi tidak ada yang bisa membantuku untuk meminjamkan uangnya sebanyak itu. Aku seharusnya paham karena upah buruh tidak banyak. Hanya cukup untuk membayar kos dan kebutuhan sehari-hari.

Tanpa kusadari ternyata kami sudah sampai. Beruntung selama perjalanan Pak Juna tidak berbicara atau pun bertanya. Dia hanya diam.

“Terimakasih banyak Pak, sudah memberiku tumpangan dan juga sudah menyelamatkanku dari orang-orang tadi,” ucapku dengan penuh rasa terima kasih sembari membungkukkan badan. Aku sungguh tidak tahu bagaimana nasibku jika saja Pak Juna tidak datang tadi. Bisa saja mereka benar-benar menjualku.

“Iya, sama-sama.”

“Pak, tolong jangan beritahu ibuku ataupun Bu Ranti tentang yang terjadi tadi. Saya mohon, Pak.” Aku menangkupkan kedua tanganku di dada, berharap penuh supaya Pak Juna mengabulkan permintaanku. Aku tidak mau ibu ikut sedih memikirkan utang ini. Aku hanya berharap semoga secepatnya ada orang yang berbaik hati mau membantuku.

Karena belum mendapatkan jawaban, aku mengangkat wajah untuk melihat Pak Juna. Laki-laki rupawan tersebut terlihat menautkan alis.

Lalu tidak lama kemudian ia menjawab singkat, “Iya.” Pak Juna berbalik arah dan bersiap masuk ke dalam rumah.

“Juna... Aru... kalian datang bersama?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!