Anak Ibu Ranti

Arunika

Waktu menunjukkan pukul 16.49. Aku dengan tergesa memasukkan baju milikku juga milik Ibu ke dalam sebuah tas. Ibu belum pulang. Aku akan menyusulnya di rumah majikannya. Semoga saja Ibu tidak menuju pulang. Hari ini dan beberapa hari ke depan aku akan meminta Ibu supaya kami tinggal di rumah majikannya saja. Aku dan Ibu pernah beberapa kali menginap di sana. Majikan Ibu baik dan pasti tidak akan keberatan kalau kami tinggal beberapa hari di rumahnya. Ide ini baru saja muncul di benakku untuk menghindari rentenir itu.

“Kamu mau ke mana, Aru?” Bu Santi yang sedang menyapu teras rumahnya bertanya dengan kepo saat aku keluar dan mengunci rumah. Dia memandangku dan tas ransel yang aku gendong dengan keheranan.

“Mau mengantar baju milik anu, Bu,” jawabku menyebutkan nama orang yang biasa memakai jasa Ibu mencuci pakaian milik keluarganya. “Tadi pagi Ibu berpesan supaya saya mengantarnya,” kilahku lagi. Aku mengambil sepeda di teras dan menurunkannya tergesa.

“Tapi dalam minggu ini saya tidak pernah melihat ibu kamu membawa pakaian untuk dicuci dan tidak ada juga orang yang mengantarnya kemari. Apa mungkin diantarnya malam-malam, ‘ya? Tapi kalau malam pun seharusnya masih bisa terdengar ke dalam rumah kami. ” Bu Santi ini tingkat keingintahuannya benar-benar di atas rata-rata.

“Saya juga tidak tahu, Bu. Saya permisi.” Aku harus segera menyudahi percakapan tidak penting ini sebelum rentenir itu datang. Aku mengabaikan seruannya yang memanggil-manggil namaku.

Aku celingukan ke jalan untuk memastikan tidak ada Master si rentenir atau pun anak buahnya atau pun istrinya. Setelah merasa aman tidak ada satupun di antara mereka di sekitar ini, aku segera mengayuh sepeda dengan kecepatan ekstra menuju rumah majikan Ibu. Menahan rasa sakit di bokongku karena sadel sepeda yang kududuki busanya sudah menipis bahkan nyaris tidak ada lagi.

*

*

*

“Eh, Neng Arunika datang lagi,” sapa security, penjaga rumah milik majikan Ibu dengan ramah saat membukakan gerbang untukku.

“Iya, Pak Saleh. Senang bertemu Bapak lagi,” sapaku tidak kalah ramah. Sesekali aku menengok ke belakang, takut kalau-kalau Master atau konco-konconya mengikutiku.

Setelah berbasa-basi singkat, aku langsung berlalu menuju belakang rumah berlantai dua ini. Tempat di mana biasanya Ibu berada. Aku bersyukur ternyata Ibu masih di rumah besar ini karena ikut menjamu anak majikannya yang datang. Begitu kata Pak Saleh tadi. Jadi aku tidak perlu pusing mencari alasan untuk mengajak Ibu ke rumah ini, andai saja Ibu sudah di jalan menuju pulang ke rumah kontrakan kami.

Di belakang rumah aku tidak mendapati Ibu atau siapa pun. Runguku samar-samar mendengar suara Ibu Ranti–majikan Ibu yang aku rasa berasal dari ruang makan. Pasti Ibu ada di sana. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar yang sudah beberapa kali kami tempati dan menunggu Ibu di sana. Enggan rasanya bila aku menghampiri mereka yang saat ini sepertinya sedang makan. Apalagi ada anak Ibu Ranti juga di sana.

Tidak berapa lama aku mendengar suara langkah kaki. Kemudian suara piring atau apapun itu berdenting halus. Aku keluar dari kamar. Benar saja, Ibu sedang meletakkan wadah-wadah bekas makan di tempat pencucian piring.

“Bu,” sapaku seraya mendekat.

Tubuh Ibu terjingkat, “Aruu! Kamu membuat Ibu terkejut!” Ibu memegangi dadanya. Tangan Ibu kemudian berpindah ke pipiku dan menjawilnya kesal, “Dasar anak nakal!”

Aku menyengir, “Biar Aru saja, Bu, yang mencucinya.” Aku mengambil spon dan gel pencuci piring, lalu dengan lihai mulai mencuci alat makan tersebut satu per satu.

“Kamu sudah lama datang?”

“Tidak, Bu. Paling juga 10 menitan.”

“Kamu... nanti saja kita bicara lagi.” Ibu urung mengatakan sesuatu padaku. Aku rasa Ibu heran dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Biasanya jika aku datang, aku akan memberitahunya terlebih dulu dan datang pun tidak sesore ini.

Ibu pergi lagi ke ruang makan dan kembali lagi membawa piring dan kawan-kawannya yang sudah selesai digunakan.

“Eh, ada Arunika.” Itu suara Ibu Ranti.

Aku menghadap padanya dan sedikit membungkukkan badan dengan sopan. “Iya, Bu. Ibu Ranti apa kabarnya?” balasku mengingat sudah hampir seminggu aku tidak datang kemari.

“Baik. Nanti sebelum pulang, kamu makan dulu, iya. Ini sop iga masakan ibu kamu luar biasa enak lho.” Ibu Ranti menunjuk mangkuk yang dia pegang. “Saya, Juna dan Nadia sampai nambah beberapa kali.”

Ibu yang berdiri di sampingku terlihat salah tingkah. Sedangkan aku hanya tersenyum menanggapinya.

“Jangan lupa, iya, dimakan,” kata Ibu Ranti lagi setelah meletakkan mangkuk berisi makanan berkuah tersebut di meja. “Kalau tidak sempat, kamu boleh membungkusnya untuk dibawa pulang.”

Ibu Ranti kemudian mengajak Ibu untuk pergi ke kamarnya. Katanya dia butuh bantuan Ibu untuk mengerjakan sesuatu.

Begitulah Ibu Ranti. Dia tidak pelit dengan rezeki yang dimilikinya. Tidak jarang Ibu sering sekali membawa makanan dari rumah ini. Dan, ‘ya, Ibu juga sering meminjam uang padanya demi membayar utang-utang Bapak. Sampai sekarang pun kami masih memiliki sisa utang padanya. Dia sama sekali tidak marah jika kami telat membayarnya. Tidak seperti rentenir terkutuk itu.

Mengingat rentenir itu, apa sekarang yang diperbuatnya? Apakah dia membuat keributan dan membongkar rumah kontrakan kami?

PRANGGG!!!

“Aaaa....”

Aku terkejut bukan main mendengar suara kaca pecah. Rasa terkejutku dua kali lipat karena suara benda itu jatuh bertepatan saat aku sedang melamun. Aku berbalik untuk melihat ke sumber kegaduhan yang baru saja terjadi. Tidak mungkin, ‘kan, rentenir itu yang membuat keributan di rumah ini?

Seorang laki-laki menjulang tinggi di seberang meja tengah menatapku. “Di mana saya bisa menemukan sapu? Saya tidak sengaja menjatuhkan botol jus,” tunjuknya pada lantai.

Seketika aku mengitari meja untuk melihat seberapa besar kekacauan yang diperbuat pria tersebut yang kutahu dia itu anaknya Ibu Ranti. Aku tidak terlalu mengenalnya karena dia tidak tinggal di rumah ini dan juga jarang mengunjungi orangtuanya. Begitu yang pernah dikatakan Ibu. “Biar saya saja yang membersihkannya, Pak.” Tidak mungkin, ‘kan, aku membiarkan dia yang melakukannya.

“Ar....” Suara manja seorang wanita terdengar beberapa kali menyebutkan nama itu. “Ar, kamu di mana?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!