Arunika Remaja

Author

Hari sudah malam dan beberapa saat yang lalu Arunika dan ibunya sudah menyelesaikan makan malam. Ibu sudah ada di kamar–ruang tengah, rumah kontrakan mereka. Sementara Arunika memilih tinggal di ruang depan, katanya ingin menonton karena belum mengantuk.

Padahal tidak demikian. Pikirannya terganggu dengan semua cerita ibu tadi. Alasan bapak selama ini tidak menyukainya dan kerap kali berbuat kasar hanya karena dirinya terlahir sebagai perempuan?

Arunika tidak habis pikir, bapak yang sudah merasakan hidup di era globalisasi sekarang masih memiliki pemikiran kolot, mengatakan bahwa memiliki anak perempuan itu pada akhirnya hanya akan mengurus rumah saja?

Bukankah dikaruniai anak laki-laki atau perempuan merupakan suatu anugerah terindah dari Tuhan? Bukankah emansipasi perempuan sudah ada sejak lama di negara ini? Dan, bukankah selama ini bapak hidup dari hasil banting tulang wanita, yaitu dirinya dan ibu? Lantas mengapa bapak hingga akhir hidupnya masih sanggup berpikir kalau perempuan itu tidak ada gunanya? Arunika tersenyum miris.

Terlintas kembali di memori Arunika setiap kali dirinya gajian. Pabrik tempatnya bekerja menggaji karyawannya dengan uang cash. Bapak sudah pasti menunggu di warung kopi tongkrongannya dan akan menghadang jalan Aru untuk meminta uang. Sungguh laki-laki tidak tahu malu. Apabila tidak diberi sesuai dengan nominal yang diminta, maka sudah dipastikan Arunika tidak akan membawa uang sepeserpun ke rumah.

Sudah banyak cara yang dilakukan Aru agar bapaknya tidak menemukan uangnya, termasuk juga menitipkan pada teman atau menabung di bank. Namun bapaknya itu juga tidak kehabisan akal supaya bisa mendapatkan uang.

Jika keinginannya tidak dipenuhi, laki-laki itu akan mengobrak-abrik isi rumah untuk menemukan uang atau barang berharga lalu menjualnya. Smartphone yang baru beberapa hari dibeli Arunika juga salah satu korbannya. Bapaknya itu juga tidak akan segan meminjam uang pada rentenir yang membuat Aru dan ibu kalang kabut untuk membayarnya. Sungguh, laki-laki yang disebut Arunika bapak itu memang tidak pantas dijadikan panutan.

Sudah tidak terhitung berapa banyak Arunika dan ibu harus menanggung akibat dari perbuatan bapak. Sudah tidak terhitung juga berapa kali Arunika dan ibu harus menebalkan muka pada semua orang akan kelakuan bapak.

Sekarang Arunika bisa bernapas lega. Dirinya dan juga ibu akan hidup dengan baik dan tenang tanpa bayang-bayang bapak lagi. Tetapi bukan berarti Aru senang dengan kepergian bapak yang dengan cara mengenaskan seperti cerita polisi kapan hari. Tidak sama sekali.

“Kamu belum mengantuk?” Kehadiran dan pertanyaan ibu yang tiba-tiba mengejutkan Aru. Gadis itu buru-buru menyeka air mata sia*lan yang entah sejak kapan telah berani menggenang di netranya.

“Iya, Bu. Sebentar lagi Aru tidur,” jawabnya. “Ibu kenapa bangun?” Arunika menghindari tatapan ibu yang mencoba meneliti wajahnya. Tangannya masih sibuk menyeka genangan air mata yang dirasakannya masih ada.

Ibu meraih dagu Aru supaya bisa melihat wajah putrinya itu dengan leluasa. “Kamu menangis?” Aru menggeleng dengan bola mata bergerak-gerak, berusaha menahan air mata yang mendesak ingin keluar. “Matamu tidak bisa berbohong, Nak.”

Ibu bisa merasakan bagaimana sedihnya Arunika, anak semata wayangnya itu. Siapa yang tidak bersedih hati bila ayah kandung tidak menginginkan anaknya sendiri. “Hal yang wajar bila kamu menangis setelah mendengar cerita Ibu yang menyakitkan tadi.” Beliau turut menghapus jejak air mata putrinya itu yang perlahan mulai luruh. “Menangislah, biar hatimu lega.”

Saat itu juga Arunika menumpahkan rasa sakit di hatinya dengan menangis. Berharap dengan menangis rasa sakit itu juga ikut terbuang.

“Satu yang Ibu sesali. Ibu tidak berhasil mengembalikan sifat bapakmu seperti semula hingga ajal menjemputnya. Andai saja bapakmu tidak terpengaruh dengan lingkungan dan pergaulannya, kamu tidak akan merasakan sakit yang seperti ini, Aru.” Suara ibu bergetar ikut menangis.

Iya, ibu benar. Andai saja bapak seperti ayah pada umumnya, tentu Arunika akan sangat setuju dengan ungkapan, ‘ayah adalah cinta pertama anak perempuannya’.

Arunika mengeratkan pelukannya pada Ibu. Air mata kedua wanita itu pun berlomba-lomba keluar. Biarlah ini menjadi tangisan terakhir tentang bapak. Karena besok dan seterusnya tidak ada lagi alasan mereka untuk menangis. Dirinya akan hidup bahagia bersama Ibu.

*

Arunika remaja yang mengenakan baju seragam putih biru tengah berjalan tergesa-gesa, bahkan sesekali berlari kecil. Matahari sudah semakin mencondong ke barat. Hari ini dirinya terpaksa pulang terlambat dari sekolah sebab ada belajar kelompok. Belajar kelompok itu diadakan mendadak sekali, sehingga ia tidak memberitahu Ibu tadi pagi. Aru takut ibunya mencemaskan dirinya. Dan Aru juga mencemaskan Ibu sebab tadi pagi sebelum berangkat sekolah orangtuanya cekcok.

Memberitahu ibu dengan alat komunikasi tidak mungkin. Aru tidak memiliki gawai. Miris memang. Di zaman sekarang alat komunikasi tersebut sudah menjadi kebutuhan primer semua orang.

Tetapi tidak mengapa. Arunika tidak menuntut ibu supaya membelikan dirinya alat itu. Jika dibeli pun, sudah pasti tidak akan bertahan lama. Ada bapak yang kapan saja bisa mengambilnya.

Arunika semakin mempercepat langkah kakinya. Sebentar lagi akan sampai di rumah, lalu makan, kemudian pergi ke rumah majikan ibu untuk membantu pekerjaan wanita yang sangat disayanginya itu.

“Tunggu!” Cekalan tangan pada lengan Aru membuatnya mundur beberapa langkah ke belakang. Aru menoleh, “Bapak?”ujarnya terkejut. “Lepas, Pak, sakit.” Aru mencoba melepas tangannya dari cengkraman bapak yang cukup menyakitinya.

“Kamu Bapak panggil-panggil tidak dengar. Sudah jadi tuli kamu?!” Bentakan itu sungguh memekakan telinga Aru, hingga berdengung di gendangnya. Kilatan amarah yang terlihat jelas di mata bapak membuat Aru semakin takut.

“Tidak, Pak, tidak. Aru memang tidak mendengar Bapak memanggil,” jawab Aru takut-takut. Kenyataannya memang begitu. Di pikiran Aru saat ini adalah cepat sampai di rumah untuk mengetahui keadaan Ibu.

“Banyak bicara!” Bapak menarik tangan Arunika dengan paksa. Aru dengan tangan yang ditarik terpaksa mengikuti. Sesekali mencoba melepaskan tangan dari cengkraman, namun Arunika yang masih remaja tidak sekuat itu untuk melawan tenaga Bapak.

“Kita mau ke mana, Pak?” tanya Aru heran. Pasalnya jalan yang mereka lalui saat ini bukan jalan menuju rumah kontrakan mereka.

“Diam dan ikut saja. Jangan banyak bicara!” Sekali lagi bapak menegaskan kalimatnya.

Akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah besar. Aru mengusap-usap lengannya bekas cengkraman bapak yang baru saja dilepaskan.

“Rupanya kau serius dengan ucapanmu, Herman.”

Aru yang sibuk memeriksa lengannya yang kemerahan, menoleh ke sumber suara yang akhir kalimatnya tadi diselipkan tawa tidak enak didengar, membuat ia membawa diri ke belakang bapak.

Namun bapaknya tidak membiarkan Aru untuk bersembunyi lebih lama di balik punggungnya. Laki-laki tersebut meletakkan telapak tangannya pada punggung Aru lalu mengajaknya untuk mendekat pada teras rumah tersebut. Gadis remaja yang tidak tahu apa sebenarnya tujuan bapak mengajaknya ke rumah itu manut saja meskipun enggan.

Ada tiga orang bapak-bapak duduk di kursi. Satu diantara mereka sangat dikenal oleh Aru. Bukan karena pria paruh baya itu istimewa di lingkungan tempat tinggal mereka, tetapi karena laki-laki tersebut terkenal dengan kawin cerainya.

Arunika melihat papan catur beserta pionnya di atas meja. Ada juga pecahan uang di sana. Dari melihat itu saja, sudah pasti bapak-bapak itu bukanlah pribadi yang patut ditiru, sama seperti bapaknya.

“Ayo, sini, sini, sini,” ajak pria yang memiliki perut buncit tersebut sembari berdiri dari kursinya. Meminta Aru dan Bapak untuk ikut duduk bersama mereka.

Arunika tidak mau berpindah dari tempatnya berdiri meskipun bapak sudah memberi ultimatum melalui tatapan matanya, supaya mau menurut untuk duduk. Akan tetapi melihat tatapan mata dan senyum menjijikkan ketiga laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu membuatnya mulai ketakutan.

Arunika berbalik dan hendak pergi dari sana. Tetapi Bapak dengan sigap mencengkram lengannya kembali dengan erat. “Mau ke mana?!” hardik Bapak dengan tatapan mematikan.

“Aru mau pulang, Pak.” Gadis itu mencoba melepaskan tangan Bapak dari lengannya. Namun apa daya, tangannya yang lebih kecil dari Bapak tentu saja tidak akan mampu melakukan itu. Arunika lebih baik dimarahi atau pun dipukuli Bapak daripada harus di sini. Hatinya mengatakan kalau dirinya tidak akan baik-baik saja bila lebih lama lagi berada di sana.

“Tidak boleh!” Kembali Bapak menarik Aru untuk mendekati ketiga lelaki menjijikkan itu. “Ayo, jangan melawan!”

Bapak bahkan menyeret Aru yang saat itu memilih untuk duduk di lantai, berharap dengan bersikap begitu, Bapak akan iba kepadanya dan tidak memaksanya lagi. Namun, Bapak tetaplah Bapak. Apa yang diinginkan harus terwujud. Bahkan Air mata Aru yang kini sudah berhamburan tidak lekas membuat Bapak untuk menghentikan aksinya.

“Cantik, kenapa menangis? Bapakmu hanya ingin kamu memijat kakiku. Itu saja.” Si Perut Buncit alias Si Tukang Kawin mendekat dan mencoba menyentuh Aru untuk menenangkan gadis itu. Namun hal tersebut malah membuat Arunika remaja semakin histeris.

“Aru tidak mau, Pak. Aru tidak mau!” Gadis malang itu menepis tangan menjijikkan Si Buncit yang akan menyentuh bahunya. Raungan Arunika sampai mengundang tetangga untuk melihat apa yang terjadi.

Supaya yang melihat tidak semakin banyak, Bapak meminta kepada Si Buncit untuk membawa Aru ke dalam rumah saja. Tentu laki-laki yang entah sudah berapa kali menduda itu dengan senang hati mengiyakan.

“Bapakk!!!”Suara tegas seorang wanita menghentikan langkah mereka yang hampir sampai di daun pintu. Begitu melihat siapa yang datang, Arunika berontak dari tangan-tangan manusia tercela tersebut. Si Buncit melepasnya, namun tidak dengan Bapak.

Ibu berlari dengan tenaga yang masih dimilikinya.

“Ibu....” Arunika menangis sendu.

“Lepaskan anakku!” Ibu menghempas tangan Bapak dengan sangat kuat hingga cengkraman laki-laki itu terlepas. Arunika yang ketakutan langsung bersembunyi di pelukan Ibu. “Ayo, Nak, kita pulang.” Suara Ibu kini berubah menjadi lembut.

“Dia tidak boleh pergi dari sini!”

Ibu tetap menuntun Aru berjalan. Mengabaikan perintah suaminya yang telah berubah seperti monster itu.

“Aku bilang dia tidak boleh pergi!” Suara Bapak meninggi. Namun Ibu tetap tidak acuh. Arunika remaja masih terus menangis.

“Baiklah, bawalah dia pergi. Tapi jangan salahkan aku kalau besok aku akan menjualnya.”

“Gila! Kau sudah gila!” Ibu berbalik karena tidak menyangka dengan apa yang diucapkan Bapak barusan. Bapak adalah tipikal orang yang tidak hanya berbicara di mulut saja. Ia akan benar-benar melakukan apa yang dia katakan. Ibu mendorong Bapak hingga lelaki itu mundur. Arunika semakin menangis sedih.

“Iya, aku memang gila! Aku jadi gila karena anak ini perempuan!” Bapak lagi-lagi mencengkram lengan Arunika hingga gadis itu mengaduh. “Kenapa kau tidak langsung mati saja saat kau lahir dulu!” Tatapan mata Bapak yang penuh kebencian menusuk hati Arunika.

Arunika tiba-tiba melihat tangan Bapak yang satunya lagi memegang pisau yang siap dilayangkan ke arahnya.

*

“Ibuuu!!!”

Arunika terduduk dari tidurnya. Napasnya berderu kencang dan dahinya berkeringat sampai menetes dari samping tulang rahangnya. Aru menoleh ke samping dan melihat Ibu tidur. Ia mengedarkan pandangan. Ternyata dirinya ada di kamar.

Aru beranjak berdiri meninggalkan Ibu untuk pergi ke kamar mandi. Mengambil satu gayung air dan membasuh wajahnya beberapa kali. Ada kaca kecil menggantung di sana. Beberapa saat ia bercermin memandangi wajahnya yang terlihat pucat.

“Bahkan sudah meninggal pun, Bapak tidak membiarkanku hidup dengan tenang.” Arunika tersenyum getir, air matanya keluar tanpa minta izin.

Kejadian yang dimimpikan Arunika tadi memang pernah terjadi semasa dirinya masih remaja. Tetapi tidak dengan Bapak yang memegang pisau.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!