Belenggu Hidup

Arunika

Aku turun dari sepeda saat tiba di gang menuju rumah kontrakan. Aku sengaja turun di sini supaya bisa memiliki banyak waktu untuk meraup oksigen sebelum bertemu dengan Ibu. Berharap dengan melakukan hal tersebut bisa melegakan hatiku yang dihimpit emosi yang disebabkan karena mendengar penuturan istri rentenir tadi.

Dari jarak ini terlihat olehku Ibu sedang menjemur pakaian di halaman yang menyatu dengan halaman rumah kontrakan lainnya sembari berbincang dengan tetangga yang juga menjemur pakaiannya. Sayup-sayup kudengar mereka tertawa bersama, entah apa yang mereka bahas. Sudut bibirku turut terangkat menyaksikan Ibu tertawa lepas seperti itu. Apakah aku akan sanggup melenyapkan keceriaan Ibu yang sudah mulai terlihat dengan menceritakan utang yang ditinggalkan Bapak?

“Sudah pulang, Nak?” sapa Ibu saat menyadari kehadiranku di dekatnya. Aku menjawab dengan anggukan.

“Iya, nih, Aru pulangnya baru sekarang. Padahal karyawan yang lainnya sudah pada pulang dari tadi. Kamu memborong dulu, ‘ya?” seloroh Ibu Santi menggodaku, tetangga sebelah yang tadi mengobrol dengan Ibu. Ia melirik keranjang sepedaku yang berisi nasi uduk dan juga beberapa macam buah-buahan yang sempat aku beli tadi. “Sekarang mah bebas mau beli apa saja, iya, ‘kan?” kelakarnya lagi dengan alis yang dinaik-turunkan.

Hampir semua penduduk di tempatku tinggal tahu kapan pabrik tempatku bekerja memberi upah buruhnya. Karena sebagian besar penduduk sekitar bekerja di pabrik tersebut yang merupakan pabrik tekstil terbesar di kota ini.

Aku menanggapi dengan senyuman. Bisa kupastikan kalau senyuman yang aku tampilkan sangatlah kaku. Ibu yang tadinya bercengkerama ceria dengan Ibu Santi, kini jadi terdiam dan tidak menanggapi guyonan sang tetangga. Pandangan Ibu tertuju pada netraku dan menatapnya dalam-dalam, sampai akhirnya aku pamit dari hadapan kedua wanita tersebut bermaksud agar Ibu tidak menemukan kegusaran di wajahku.

“Ada apa?” Pertanyaan Ibu terdengar saat aku telah selesai melepas sepatu yang membungkus kedua kakiku selama lebih dari 8 jam. Pasti Ibu merasa ada yang tidak beres dengan diriku. Bagaimana lagi, aku sudah berusaha membuat wajahku agar terlihat tenang, namun utang Bapak yang banyak itu telah membangunkan emosiku hingga membuatnya meledak-ledak sampai di permukaan wajahku.

Upayaku tadi ternyata sia-sia saja saat berniat untuk menenangkan hati dan pikiran dengan berkeliling sejenak di sekitaran pemukiman ini. Tetapi bukan ketenangan yang aku dapatkan. Semakin aku meyakinkan diri bahwa masalah ini akan ada jalan keluarnya, semakin aku dirundung gelisah.

Bapak itu, ‘ya, sebelum meninggal pun masih sempat-sempatnya membuat masalah sebesar ini dengan meninggalkan utang sebanyak itu.

Iya, uang 15 juta adalah nilai yang sangat besar untukku. Memegang atau bahkan melihatnya saja aku tidak pernah. Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu sementara Bu Ida tadi hanya memberiku waktu selama 2 minggu?

“Ada apa, Aru?” Kembali Ibu bertanya karena melihatku hanya diam saja atau menyadari aku sedang tercenung. Beliau ikut duduk di mulut pintu yang terbuka–di sampingku. Tangannya yang kasar menandakan wanita yang kukasihi ini adalah sosok pekerja keras, membelai sayang rambutku.

“Tidak ada apa-apa, kok, Bu,” bantahku setenang mungkin. Berharap Ibu tidak menemukan ketidakberesan di wajahku. “Aru hanya kelelahan saja dan juga sangat mengantuk,” jawabku lagi disusul dengan senyuman dusta kemudian dengan pura-pura menguap.

“Benar tidak ada apa-apa?” tanya Ibu lagi memastikan. Sorot matanya jelas sekali menginginkan aku berkata jujur.

“Iya, Bu, tidak ada apa-apa. Aru hanya kesal karena harus dimutasi di departemen yang baru. Aru tidak suka di sana karena atasannya galak,” bantahku lagi meskipun apa yang aku katakan barusan memang benar adanya.

Oh, begitu.” Ibu sesaat menarik napas. “Ibu kira ada sesuatu yang serius,” ujarnya lagi. “Maafkan Ibu, Aru, dari dulu sampai sekarang kamu harus ikut merasakan sakitnya mencari uang untuk kebutuhan keluarga kita,” kata Ibu terdengar pilu dengan wajah yang berubah sendu. Aku tercengang mendengar penuturan Ibu. Bukan maksudku membuat beliau berpikiran seperti itu. Aku mengutuk diri karena memberi alasan yang salah.

“Tidak, Bu. Aru sama sekali tidak keberatan untuk ikut mencari nafkah,” tuturku dengan suara meyakinkan. Namun wajah Ibu masih saja menunduk sedih. Aku merasa semakin bersalah.

“Tadi malam Aru ditegur karena kesalahan Aru sendiri, Bu. Aru tidak sengaja menjatuhkan bobin dari keranjang hingga membuatnya berserakan. Aru hanya diberi peringatan secara lisan, bukan dengan SP (Surat Peringatan). Jadi Ibu jangan sedih seperti ini, ‘ya. Lain kali Aru akan bekerja dengan hati-hati.”

Aku terpaksa harus menceritakan kejadian semalam. Padahal menurutku kejadian itu tidak perlu diceritakan pada siapapun termasuk Ibu karena tidak begitu penting. Tetapi tidak mengapa. Lebih baik Ibu mendengar aku ditegur oleh atasan ketimbang mendengar utang Bapak yang banyak itu.

“Atasan juga tidak bisa seenaknya, ‘kan, Bu, memarahi bawahan kalau tidak ada alasannya.” Ibu masih saja tertunduk sedih membuat aku memutar otak alasan seperti apa yang harus aku katakan.

“Apa Ibu mau, Aru mengundurkan diri dari pabrik setelah susah payah untuk masuk ke sana?” Ibu masih menunduk.

Tiga tahun yang lalu saat melamar kerja di pabrik tekstil tersebut, lamaranku selalu ditolak karena tinggi badan yang tidak mencukupi. Dengan bantuan calo akhirnya aku diterima juga. Namun uang yang harus diberikan kepada calo tersebut tidaklah sedikit. Ibu sampai meminjam uang pada majikannya.

“Lagipula kalau Aru keluar dari pabrik, Aru akan kerja apa, Bu? Apa Aru ikut dengan Ibu? Tidak mungkin, ‘kan, Aru hanya di rumah saja di usia Aru yang sudah dewasa ini?”

Terlihat Ibu mengangkat wajahnya lalu menarik napas. Tangannya terangkat membelai pipiku. “Kamu anak yang baik, Nak. Semoga masa depanmu dipenuhi kebahagiaan.” Aku mengaminkan dalam hati. “Jangan seperti hidup Ibu.” Mata Ibu berkaca-kaca membuat aku juga ingin meneteskan air mata. “Iya sudah, kamu ganti baju dulu. Ibu akan memasak nasi goreng untuk sarapan kita.” Ibu beranjak menyudahi acara melow yang sangat tidak kusuka ini.

“Tidak usah, Bu,” cegahku. “Aru tadi sempat membeli nasi uduk dan beberapa buah-buahan.”

Ibu masuk ke dalam rumah sembari membawa makanan yang aku beli tadi. Aku menatap pilu punggung ringkih Ibu yang semakin menjauh. Niatku untuk membelikan barang yang disukai wanita tercintaku itu tidak terlaksana. Niatku untuk memintanya supaya tidak usah bekerja lagi di rumah orang juga tidak mampu aku ucapkan. Ternyata kami masih harus menghadapi belenggu hidup yang diberi Bapak.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!