“Ar... Sayang, kamu di mana?” Suara lembut mendayu wanita itu masih terdengar saat aku membawa sapu beserta pengki dan menghampiri anak majikan Ibu yang kini kulihat sedang berjongkok, memunguti pecahan beling dengan menggunakan tangannya tanpa alat bantuan.
“Pak, biar saya saja yang membereskannya,” ujarku tidak enak hati. Karena meskipun dia yang membuatnya kacau tetap itu sudah menjadi pekerjaan Ibu yang artinya juga bisa aku yang kerjakan.
“Tidak apa-apa. Ini hampir selesai.”
“Ar, ternyata kamu di sini.” Seorang wanita berparas cantik luar biasa, postur tubuh yang tinggi semampai dan memiliki kulit putih bersih berkilau berdiri di ambang pintu dapur. Aku sungguh terpana melihatnya. Seumur hidup baru kali ini aku melihat fisik wanita sesempurna ini. Aku sampai meneguk saliva saking terpesonanya melihat kecantikannya.
“Aku panggil-panggil dari tadi. Kamu enggak dengar, iya?” Suaranya yang manja mencairkan kekakuan yang tercipta sejak tadi di ruangan ini.
Wanita itu berjalan menghampiri pria yang sedang berjongkok membelakanginya yang rupanya juga begitu rupawan. Mereka sungguh pasangan yang sangat serasi. “Ar!” pekik wanita yang kalau dilihat-lihat sepertinya adalah istri dari anak majikan Ibu. Karena yang kutahu anak majikan Ibu satu-satunya sudah menikah. Ia menarik tangan lelakinya dengan maksud supaya pria tersebut menghentikan apa yang sedang dilakukannya.
“Akhh!”
Aku yang sedari tadi mematung di tempat karena sibuk mengagumi kecantikan wanita di hadapanku ini seketika terlonjak kaget mendengar rintihan anak majikan Ibu tersebut. Pria itu menjatuhkan pecahan beling yang sempat ia kumpulkan di telapak tangannya. Aku melotot melihat jempol tangannya mengeluarkan darah.
“Ar!!!” Sekali lagi wanita itu memekik. “Tanganmu berdarah!” serunya panik.
“Kenapa kamu menarik tanganku? Pecahan kaca itu jadi melukai jariku.”
Pria tersebut berdiri dan mengibas-ibaskan tangannya.
“Sini biar aku lihat.” Wanita itu dengan segera meraih tangan anak majikan Ibu lalu meniup-niupnya. Di detik berikutnya ia memekik lagi dengan sangat panik. “Ar, ada beling yang menancap di jarimu!”
“Benarkah?” Wanita itu mengangguk cemas. “Oh, ini hanya pecahan beling kecil,” jawab pria tersebut dengan tenang setelah melihat luka di tangannya. Ia kemudian mencabut pecahan beling berwarna bening tersebut yang menancap di kulit jarinya.
“Ar.” Wanita yang entah siapa namanya itu membawa kembali tangan anak majikan Ibu ke hadapannya. Ah, kalau tidak salah ingat namanya Nadia, seperti yang diucapkan Ibu Ranti tadi. Ia meniup-niup tangan yang terluka itu dan memastikan tidak ada lagi pecahan kaca yang tertinggal di sana. “Darahnya masih keluar, Ar,” ujarnya dengan ekspresi tetap cemas.
“Tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil. Setelah diberi salep juga akan sembuh.”
“Mengapa kamu memunguti pecahan kaca itu? Bukannya ada Bu Nita untuk membereskannya?” Seketika pandangan wanita cantik tersebut menemuiku. Sepertinya dia baru sadar ada aku di sini bersama dengan mereka. “Kamu siapa?” tanyanya dengan meneliti penampilanku.
Kami memang tidak saling kenal karena belum pernah bertemu. Aku hanya pernah melihat Pak Juna–anak majikan Ibu ketika aku sedang di rumah ini. Itupun aku melihatnya dari jarak jauh dan hanya beberapa kali saja.
Dipandang seperti itu membuatku menunduk. Terang saja nyaliku merasa ciut ditatap oleh wanita cantik sejagat raya ini.
“Saya Arunika, putri Bu Nita.”
“Mengapa kamu berdiri di sana dan hanya menonton suamiku memunguti beling-beling ini? Mengapa kamu membiarkan suamiku menyentuh pecahan kaca itu dengan tangannya sementara di tanganmu ada sapu?” cerocosnya dengan sarkas.
“Itu....” Aku bingung harus menjawab bagaimana. “Tadi sa–”
“Sudah... sudah,” pungkas Pak Juna. “Kekacauan ini bukan kesalahannya, Nad. Aku yang ceroboh menjatuhkan botol jus itu. Jangan khawatir. Ini hanya luka kecil.”
Wanita cantik tersebut menarik napas lantas menarik kembali tangan suaminya untuk ia tiup. Kentara sekali wanita itu mencemaskan suaminya. Padahal kalau dilihat-lihat lukanya tidak seberapa parah.
“Di mana kotak P3K-nya? Bisa kamu bawakan kemari?” pintanya menatapku sekilas.
Aku bingung lagi. Pandanganku mengitari sekitar untuk menemukan apakah kotak P3K yang dimaksud ada di ruang dapur ini. Namun sepertinya tidak ada disimpan di sini.
“Kamu tidak tahu di mana kotak P3K itu disimpan?” Istri Pak Juna yang kini kembali menatapku bertanya dengan kesal. Dia sepertinya bisa membaca kebingunganku yang tidak tahu di mana tempat alat-alat pertolongan pertama itu disimpan.
“Saya akan mencarinya dulu, Bu.” Aku bergegas hendak mencarinya di ruang lain atau kalau tidak menanyakan saja kepada Ibu.
“Sudah, tidak usah,” katanya sinis menahan langkahku yang akan berlalu dari sana. “Aku heran mengapa Ibu mau mempekerjakan orang yang tidak bertanggungjawab seperti dia. Ayo, Ar, kita ke kamar saja. Aku punya plaster di dalam tas.”
Aku kecewa bercampur sedih akan ketidakberdayaanku dalam situasi yang baru saja terjadi. Baru kali ini aku bekerja tidak memuaskan di rumah majikan Ibu ini. Aku menatap lemah pada sepasang manusia yang baru saja hilang di balik pintu. Semoga saja mereka tidak melaporkan apa yang baru saja terjadi pada Ibu Ranti yang akan berimbas pada pekerjaan Ibu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments