“Alvino?”
Regina menatap nanar kedua orang itu, ia refleks menggeser kursi yang sedang di duduki nya.
“Hon, ini kesempatan mu melabrak mereka.” William memanasi.
Regina kemudian bangkit, ia menghampiri Alvino dan Tamara.
“Hai, Vin, apa sekretaris mu sedang sakit? Sehingga kamu menggandeng tangannya?” Ucapnya dengan nada yang di buat nada setenang mungkin.
“Sa-sayang,” Alvino tersentak, ia buru-buru melepaskan tautan tangannya dengan Tamara.
“Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Ucap Alvino sembari mendekat ke arah Regina, namun wanita itu mundur dengan perlahan.
“Memangnya apa yang aku pikirkan? aku hanya bertanya, apa dia sakit?” Tunjuk Regina ke arah Tamara yang berada di belakang Alvino.
“Mbak Regina, aku bisa menjelaskan semuanya.” Wanita yang di tunjuk itu ikut bersuara. Ia tidak mau jika sampai Alvino marah padanya.
Apalagi sampai memutuskan hubungan mereka. Tamara belum siap kehilangan kasih sayang sang atasan, meski hanya untuk menginginkan tubuhnya saja.
Laura mencebik. Ia dapat melihat dengan jelas, dua manusia di depannya kini tengah landa kepanikan.
‘Kalian baru ketahuan berpegangan tangan saja, sudah gugup seperti ini. Bagaimana jika aku melabrak kalian saat sedang berbagi peluh? Pasti akan sangat menyenangkan.’
“Sayang, kamu sedang apa disini?” Alvino mengalihkan pembicaraan.
“Aku— belum selesai Regina berucap, suara maskulin William menginterupsinya.
“Nona Regina, klien kita sudah sampai.”
“Aku ada pertemuan dengan klien, apa kalian akan makan siang?”
Alvino mengangguk. Ia hendak bersuara, namun Regina lebih dulu menyela.
“Baiklah, selamat makan siang, aku harus menjamu klien kami dulu. Dan ya, kalau nona Tamara sedang tidak enak badan, sebaiknya istirahat saja di rumah. Jangan bekerja.”
Wanita itu meninggalkan kedua orang yang masih mematung di tempatnya.
‘Ini belum waktunya, Alvino. Tunggu saja. Aku akan melempar kalian dengan semua bukti perselingkuhan kalian.’
Regina pun kembali bergabung bersama William dan klien mereka. Dengan tenang Regina menyajikan makan siang untuk para tamunya.
Hanya berjarak tiga meja makan Alvino dan Tamara mengambil tempat duduk. Acara makan siang yang seharusnya di nikmati dengan tenang, kini seakan mencengkam.
Mata Alvino tiada henti mencuri pandang ke arah meja dimana sang kekasih berada. Sungguh ia tidak ingin Regina berpikiran buruk tentangnya.
Andai tadi saat memasuki restoran ia tidak menggenggam tangan Tamara, suasananya tidak akan menjadi canggung begini.
“Maafkan, aku pak.” Tamara berucap. Ia berinisiatif mengalah, supaya pria itu tidak marah padanya.
“Bukan salah mu.” Jawaban Alvino membuat Tamara bisa bernafas lega. Meski pria itu tidak menatapnya.
“Pesankan makanan untukku.” Ucap pria itu lagi, rasa malas kini menghinggapi hatinya. Bagaimana jika sampai Regina curiga dengan kedekatan Alvino dan Tamara?
Tamara menurut, ia pun memilih beberapa makanan untuk mereka berdua.
Sementara itu, di meja yang di tempati William, sebelum menikmati makan siang, mereka saling mengenalkan diri.
“Apa gadis cantik ini sekretaris pak William?”
Tanya seorang pria dewasa yang merupakan pemilik PT. Nirwana.
“Ya, dia sekretaris ku. Namanya Regina, tetapi aku memanggilnya Honey.”
Kedua klien itu terkekeh mendengar ucapan William. Salah satu dari mereka, yang merupakan asisten dari pemilik PT. Nirwana pun menanggapi.
“Anda sangat humoris, pak William. Selera humor anda sangat tinggi.”
William menaikan satu alisnya, dia berbicara serius, justru di kira melucu. Apa tampangnya selawak itu?
“Aku serius, bapak-bapak. Aku memang memanggilnya Honey.” Pria itu kemudian beralih menatap sang sekretaris, “iya kan, Hon?”
Seperti tersugesti, kepala Regina mengangguk, mengiyakan ucapan William. Hal itu ia lakukan karena tidak suka melihat pandangan kedua klien itu pada dirinya.
“Oh baiklah, kami mengerti.” Kedua pria itu menaikan tangan sebatas dada.
Mereka pun menikmati makan siang dengan tenang.
William sedikit menggeser tubuhnya mendekati Regina.
“Hon, yang tadi kurang seru. Harusnya kamu tampar mereka.” Bisik pria itu. Regina hanya mencebik mendengar ucapan sang atasan.
Hampir 20 menit menikmati makan siang, mereka pun berbincang membahas pekerjaan. Sembari di selingi membahas hal-hal pribadi.
Sesekali terdengar tawa di meja yang mereka tempati.
Hal itu mengundang perhatian Alvino. Ia tidak menyangka, sang kekasih bisa tertawa selepas itu bersama pria-pria lain.
Setelah satu jam lebih, rombongan William pun membubarkan diri.
Melihat itu, Alvino berinisiatif mengejar Regina. Ia ingin berbicara dengan sang kekasih, hatinya belum tenang. Masih di selimuti rasa takut, wanita itu berpikir buruk tentangnya dan Tamara.
“Mau kemana?” Tanya Tamara melihat Alvino berdiri. Ia pun ikut berdiri.
“Aku akan berbicara dengan Regina. Kamu kembali lah dengan taxi.” Ucap Alvino, ia pergi tanpa mendengar jawaban dari selingkuhannya itu.
Begegas keluar dari restoran bintang lima itu, langkah kaki Alvino sedikit melambat, kala matanya melihat tangan kanan William menumpang pada bahu kekasihnya. Mereka tengah berdiri, memandangi mobil klien yang sedang bergerak menjauh.
Darah Alvino mendidih. Beraninya pria itu merangkul wanita yang sudah mempunyai kekasih. Ia pun mengambil langkah seribu. Kemudian menarik tangan William yang berada di bahu Regina.
“Aw.” William terhuyung. Sontak pria itu menoleh kebelakang.
“Hai, bung. Apa-apaan ini?” Ucapnya dengan santai.
“Kamu yang apa-apaan? Beraninya merangkul bahu wanita yang telah memiliki kekasih!” Alvino mendekat, meraih leher kemeja yang di gunakan William.
“Vin, apa-apaan ini. Hentikan.” Regina melerai tangan Alvino.
“Sayang, dia kurang ajar padamu. Kenapa membelanya?”
“Siapa yang kurang ajar? Aku hanya merangkul seperti ini.” William kembali meletakan tangan di atas bahu Regina.
“Keterlaluan.” Alvino geram. Tangan kanannya terkepal sempurna. Siap meninju pria di hadapannya.
“Hanya begini kamu bilang keterlaluan? Kami sedang berpamitan dengan klien. Lalu bagaimana dengan kamu?” William menunjuk tepat di depan wajah Alvino.
“Kamu memasuki restoran ini dengan tangan yang saling bertautan dengan sekretarismu. Apa perlu aku ingatkan?”
William meraih jemari Regina, kemudian menautkan dengan jemarinya.
“Kamu bahkan melakukan hal ini dengan wanita lain, tetapi Regina tidak memukul mu. Aku hanya merangkul sedikit kamu sudah panas.” William mencebikan bibirnya.
“Apa kamu menutupi suatu rahasia, sehingga baru melihat ini saja kamu sudah kepanasan?”
“Omong kosong.” Alvino siap melayangkan pukulan, namun Regina dengan sigap berdiri di depan William.
“Aw.” Tubuh Regina terhuyung, pukulan Alvino mendarat tepat di rahangnya.
“Nona?” William dengan sigap menyanggah tubuh sekretarisnya.
“Kurang ajar.” Pria itu terpancing. Ia pun hendak membalas Alvino karena telah berani menyakiti wanitanya.
Namun tangan Regina menarik tangan pria itu.
“Jangan, pak.” Ucap Regina meringis. Tangannya memegang rahang yang terasa sangat sakit.
“Sayang, maafkan aku.” Alvino mendekat, namun Regina menghindar. Berdiri di belakang punggung William.
“Pak. Tolong antar aku pulang.” Ia menghiraukan Alvino begitu saja.
“Tentu, nona.” William menuntun Regina menuju mobil. Membukakan pintu untuk wanita itu. Namun sebelum ia memasuki mobil, pria itu kembali menoleh ke arah Alvino.
“Aku pastikan suatu hari nanti Regina akan meninggalkan mu”
Setelah mengucapkan ancaman itu, William bergegas memasuki mobilnya.
“Apa yang sudah aku lakukan? Maafkan aku, sayang.” Alvino menatap nanar ke arah mobil William yang telah keluar dari parkir restoran itu.
.
.
.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Diah Susanti
Laura itu siapa?????
2023-01-24
0
Pratama Nahampun
Truss laura itu siapa 🤔🤔🤔
2022-11-29
0
Fransiska Siba
Regina aja yg bego, waktu itu ya bisa labrak langsung tp ya krn begitu bego Regina masih mau bertahan. Kalau aku jadi dia tidak tahan mau lihat wajahnya, dan aku adili mereka sejak kapan, kenapa, dan menjalani hubungan kejujuran. kalau aku jadi Regina mendingan selesaikan masalahmu baru menjalani hubungan baru. malah itu menjadi bumerang mu juga. kau sama saja dirinya
2022-07-22
4