“Jadi kamu sudah tinggal disini selama 5 tahun?” William mengamati rumah kontrakan yang di tempati oleh Regina.
Wanita itu mengangguk, seraya meletakkan segelas air putih di hadapan atasannya.
“Kemarilah.” Tangan William menarik tangan Regina. Wanita itu menurut. Dan duduk di atas pangkuan William.
“Pindah ke apartemen ya.” Ucapnya seraya membelit pinggang ramping wanita itu.
“Kenapa? Apa supaya kamu mudah mendapat jatah?” Tanya Regina tergelak.
William menyunggingkan sudut bibirnya.
“Tidak. Tempat ini terlalu kecil untukmu. Ruang tamu ini saja, hanya seluas kamar mandi di apartemen.”
Regina ikut mengamati ruangan yang berbaur dengan dapur terbuka itu. Ya, ternyata ruang tamunya memang hanya seluas kamar mandi milik pria itu. Bukan seluas kamarnya.
“Tetapi aku sudah lima tahun di sini. Aku sudah nyaman.”
William menghela nafasnya pelan.
“Apa si rahwana sering kesini?”
Regina mengangguk sebagai jawaban.
“Apa itu alasan mu tidak mau pindah?”
Regina menggeleng. Ia mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu.
“Bukan seperti itu. Kita baru mengenal sehari. Bagaimana bisa kamu sudah memberiku apartemen?”
“Kenapa tidak? Kita baru kenal satu jam saja, kamu sudah memberikan kesucian mu padaku. Jadi tidak alasan, untuk aku memberi apartemen padamu.”
Regina mencebik.
“Apa itu artinya aku menjual diriku?”
“Tidak!” William menyatukan bibir mereka dengan kasar. Ia tidak suka mendengar wanita itu menyebut kata seperti itu.
“Jangan pernah berpikir seperti itu. Aku murni memberikannya karena aku ingin kamu tinggal dengan nyaman.”
Regina mengecup singkat bibir pria itu.
“Terima kasih, tetapi aku benar-benar sudah nyaman disini.”
Dan William hanya bisa membuang nafasnya kasar.
“Gi?”
“Ya?”
“Bagaimana jika kita menjalin hubungan yang saling menguntungkan? Toh kamu belum putus dan belum bisa menjalin hubungan yang baru.”
“Maksud kamu apa?”
William mengeratkan pelukannya pada pinggang Regina. Kemudian menjatuhkan kepalanya di atas dada wanita itu.
“Aku siap menjadi simpananmu. Aku akan memberikan apapun yang kamu mau. Asalkan, setiap aku mau, kamu siap.”
Regina tergelak mendengar ucapan William.
“Apa ini sejenis tawaran seorang sugar daddy?”
“Katakan saja begitu. Meski umur kita hanya berbeda empat tahun. Kalau papa gula itu, rata-rata pria yang sudah mendekati masa kedaluarsa.”
Ucapan William membuat Regina terbahak. Ada saja ungkapan yang keluar dari bibir pria tampan itu.
“Jangan tertawa. Kamu mau kan? Kita sudah sama-sama salah melangkah. Ya sudah, kita lanjutkan saja. Kamu bebas jika masih ingin berhubungan dengan si rahwana, tetapi ingat, ada aku yang selalu menanti. Menunggu mu untuk kembali.”
William terlihat serius. Regina pun terdiam. Memikirkan apa yang pria itu ucapakan. Dan memang benar, mereka sudah salah melangkah. Hubungan mereka sudah sangat jauh, jika putus dari Alvino sekalipun, mungkin tidak ada pria yang mau menerimanya karena sudah bekas.
Tanpa sadar, kepala wanita itu pun mengangguk. Yang William artikan sebagai tanda persetujuan. Pria itu pun tersenyum senang, kemudian kembali menyatukan bibir mereka.
“Apa aku boleh menginap?”
“Tidak!”
“Kenapa?”
“Aku takut, Alvino besok pagi datang kemari.”
William berdecak sebal. Inilah resiko jika menjalin hubungan dengan kekasih orang.
****
Keesokan paginya, benar seperti yang Regina ucapkan. Ternyata Alvino mendatanginya pagi ini, dengan membawa sarapan untuk mereka berdua.
“Mama yang memasak. Katanya untuk calon mantu tersayang.”
Regina mencebik. Jika sebelumnya ia akan berbunga mendengar ucapan manis yang keluar dari bibir Alvino, lain halnya sekarang.
Setiap pria itu melontarkan kalimat manis, rasanya Regina ingin muntah di hadapan pria itu.
“Sampaikan ucapan terima kasihku pada mama.” Balasnya dengan senyum palsu.
Ia menyiapkan makanan itu di atas piring, kemudian menyajikan di atas meja. Mereka sarapan dengan santai.
“Mobil mu kemana, sayang?”
“Mogok.”
Alvino menghela nafasnya pelan. Kemudian meneguk sedikit air yang tersedia di hadapannya.
“Kita beli mobil yang baru ya?”
Ucapan Alvino membuat Regina tersedak. Dengan sigap, pria itu menyodorkan air kepada Regina.
‘Jangan sok manis breng… menawari ku mobil, apa supaya kamu lebih leluasa menumbuk sekretaris mu? Ah aku dan William sama saja.’
“Sayang?”
“Ah. I-iya? Ada apa Vin?”
“Kita beli mobil. Supaya kamu tidak menunggu angkutan umum lagi.”
Kepala Regina menggeleng. Ia sudah bertekad tidak akan menerima apapun lagi dari pria itu.
“Tidak, Vin. Terima kasih. Mobil itu masih bisa aku gunakan. Hanya saja, bulan ini aku terlambat menservisnya. Jadi dia ngambek.” Ucapnya pura-pura terkekeh.
Alvino pun mengantar Regina sampai tepat di pintu lobby gedung SANJAYA GROUP.
Dengan langkah ringannya, Regina melangkah memasuki lobby. Karyawan lain yang berpapasan dengannya saling menyapa. Ada juga yang sedikit membungkuk memberi hormat.
Semenjak menjadi sekretaris pemilik perusahaan, ia menjadi lebih di segani dan di hormati.
Memasuki lift khusus yang langsung menuju lantai 20, wanita itu sedikit bersenandung ria. Hatinya tiba-tiba berbunga. Bukan karena tawaran mobil yang Alvino berikan. Ia sendiri pun tak tau.
Tiba di lantai tempatnya bekerja, ia meletakkan tas yang ia bawa di atas meja kerja. Kemudian mengambil kunci ruangan sang atasan. Yang tersimpan di laci meja kerjanya. Laci itu pun terkunci, dan kuncinya ia yang membawa.
Regina melangkah membuka ruangan direktur. Kemudian ia merapikan dan membersihkan meja atasannya.
Hal itu sudah biasa ia lakukan dari hari pertama menjadi sekretaris pak Antony.
Beberapa saat, wanita itu kembali ke mejanya. Menyalakan komputer lipatnya. Kemudian memeriksa beberapa berkas yang akan di serahkan kepada William nantinya.
Hampir 30 menit berkutat dengan pekerjaannya. Suara lift terbuka, menginterupsi. Regina dengan cepat berdiri, menyambut kedatangan sang atasan.
Saat hendak bersuara, Regina hanya mampu menganga. William datang tak sendiri. Pria itu datang bersama seorang wanita cantik, bak model internasional.
“Selamat pagi, nona Regina.” William menyapa terlebih dulu.
“Pa-pagi, pak.” Balasnya dengan tergagap. Baru saja bunga bermekaran di hatinya. Namun kini bunga itu telah kembali layu.
“Tolong buatkan teh untuk tamu ku.”
“Ba-baik, pak.”
William dan wanita cantik itu pun berlalu menuju ruangannya.
Pundak Regina terkulai lemas. Jadi seperti ini rasanya berselingkuh? Harus rela melihat selingkuhan kita bersama orang lain?
“Dasar pria nakal.” Gerutunya, sembari ikut melangkah kedalam ruangan sang atasan untuk membuatkan mereka teh.
Waktu berlalu. Hampir satu jam William di dalam bersama wanita itu. Regina berusaha tidak perduli. Tetapi sudut matanya selalu saja mengamati pintu ruangan William.
“Ingat Re. Hubungan ini hanya hubungan saling menguntungkan, dia saja membiarkan mu tetap bersama Alvino. Itu artinya, dia juga ingin bersama wanita lain.” Regina bermonolog.
Tiga puluh menit berlalu. Kesabaran Regina menunggu pintu itu terbuka telah habis. Membuang nafasnya kasar, wanita itu pun bangkit, hendak ke dalam memeriksa keadaan.
Baru akan melangkah, daun pintu itu sudah terbuka lebar. William muncul dengan hanya menggunakan kemeja yang lengannya terlipat hingga dibawah siku.
“Senang bekerja sama dengan mu, Will.” Ucap wanita itu, mereka pun saling membenturkan pipi kanan dan pipi kiri.
Membuat Regina memalingkan wajahnya.
“Tentu. Nanti kita lanjutkan lagi.” Ucap William sembari mengedipkan salah satu matanya. Dan mereka pun tergelak bersama.
William mengantar wanita itu hingga pintu lift. Setelah makhluk cantik itu menghilang, William berbalik.
“Ikut aku ke dalam.” Menarik tangan Regina tanpa permisi.
William menutup pintu, dan tak lupa menguncinya. Kemudian menuntun Regina duduk di sofa bersamanya.
“Ada apa, pak?”
William mencebik. Ia kemudian mendekatkan wajahnya, mengikis jarak di atara mereka, namun Regina menghindar.
“Apa yang tadi belum cukup?”
Alis William berkerut, hampir saja menyatu. Sedetik kemudian, senyum tersungging di sudut bibirnya.
“Jangan salah paham. Dia sepupu ku dari pihak mama, dia menejer salah satu bank swasta.” Tangan pria itu kemudian terulur meraih amplop di atas meja. Kemudian menyodorkan pada Regina.
“Bukalah.”
Regina pun membuka amplop yang berisi logo salah satu bank swasta itu. Merobek ujungnya, kemudian mengeluarkan isinya.
“Ini apa, Will?” Tanyanya saat menemukan isi amplop itu. Sebuah kartu kredit berwarna hitam.
William berdecak.
“Papa bagaimana sih. Masa mengangkat sekretaris yang kurang update begini?”
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
neni onet
klo lagi jatuh cinta memang kadang jadi bodoh, CCTV yang tersambung ke laptop apa gunanya coba klo ga diintip 😁
2024-06-16
0
neni
maklum orkam engak tau itu kartu apa😁aturan lihat dalam ruangan juga bisa dari leptop kan ada CCTV nya
2022-08-06
0
Pau Jiah
kenapa Regina gak liat apa yg di lakukan mereka. kan CCTV tersambung di leptop nya Regina.
2022-08-05
0