Part 17

"Aku mau ke toilet," ujar Hanna usai selama sejam ini menemani Felix berkeliling dan berbincang dengan rekan-rekan bisnisnya. Oh, atau lebih tepatnya memamerkan dirinya pada setiap rekan bisnisnya? Sepertinya begitu karena Felix terus saja mengoceh bagaimana cantik dan seksinya dirinya malam ini. Sungguh, sebenarnya apa maksud Felix bicara begitu? Apa dia ingin merendahkan Hanna dimata semua orang? Entahlah, Hanna tidak paham.

Sebenarnya Hanna begitu lelah dan tidak nyaman berbincang dengan orang-orang yang bahkan tidak dikenalinya. Apalagi dengan gaun yang dipakainya saat ini. Ia bisa melihat dengan jelas tatapan lapar dari para pria lajang yang datang ke pesta itu. Parahnya, Felix yang sepertinya juga menyadari hal itu, justru tampak biasa saja.

Felix bergumam pelan kemudian menghubungi John yang berjaga diluar ballroom. Hanna mendengkus kasar.

"Bahkan kau masih over protektif padaku setelah apa yang kau katakan pada Kevin dan rekan-rekan bisnismu yang seolah menjatuhkan harga diriku, huh? Belum lagi dengan gaun sialan yang kau berikan ini yang mampu memancing tatapan lapar para pria pada diriku. Kau membuatku seolah-olah aku ini wanita rendahan padahal aku ini istrimu dimata orang-orang. Kau benar-benar suami brengsek," sindir Hanna kesal.

Felix menyeringai. "Kenapa, kau merasa seperti wanita murahan, ya? Kau tidak terima? Bahkan bagiku kau memang serendah itu? Kenapa, kau baru sadar, ya?"

Hanna tidak menjawab. Ia mengepalkan tangannya kuat di sisi tubuhnya, mencoba menahan amarah akibat kata-kata menusuk yang Felix katakan tentang dirinya. Ia dan Felix tidak saling bicara lagi hingga John datang.

"Awasi Hanna! Dia ingin ke toilet," titah Felix.

"Baik, Tuan." John beralih pada Hanna yang semakin merenggut kesal mendengar kata 'awasi'. "Mari, Nyonya."

'Dia pikir aku narapidana?' batin Hanna kesal. Tanpa banyak kata, Hanna pun pergi ke toilet yang letaknya di luar ballroom diantar oleh John.

"Kau tunggu di sini saja," ujar Hanna setelah sampai di depan toilet. John mengangguk paham.

Namun, saat Hanna memasuki toilet, ia dikejutkan oleh suara wanita yang mirip ******* dari dalam salah satu bilik toilet. Ia bimbang, haruskah ia tetap masuk atau tidak. Atau, perlukah ia menghentikan perbuatan mesum di dalam bilik itu? Ah, masa bodohlah! Ia berusaha mengabaikannya dengan terus berjalan ke bilik sebelahnya. Ia tidak mau berurusan dengan orang lain.

Namun, lama kelamaan ia tak tahan juga. Ia yang hendak masuk bilik, kini keluar lagi dan menghampiri bilik laknat itu.

"Hei, keluar! Jangan berbuat mesum di sini!" teriaknya sambil menggedor pintu bilik itu dengan kasar. Suara ******* itu kini tak terdengar. Yang saat ini terdengar olehnya hanyalah suara keributan dari kedua orang pria dan wanita berada di dalam sana.

Pintu itu terbuka dan menampilkan kedua tersangka utama. Seorang pria dengan stelan tuxedo hitam yang tampak kusut buru-buru keluar dari sana sambil menundukkan kepalanya karena malu. Di belakangnya, seorang wanita mungil bergaun biru mengekorinya juga dengan tertunduk malu.

Namun, mata Hanna membulat terkejut saat melihat siapa wanita itu. Wanita itu mirip dengan ... adik Michael.

"Michelle?!"

Lantas, wanita yang dipanggil Michelle itu berhenti berjalan dan menoleh. Matanya ikut membulat terkejut melihat Hanna.

"K-kak?!"

Kedua wanita itu lantas saling menatap tanpa satupun kata yang terlontar dari mulut mereka.

Sementara itu, pria yang bersama Michelle segera pergi dari dalam toilet. Di luar, tampaknya ia tertangkap oleh John, tetapi kemudian dia bisa meloloskan diri.

"Nyonya, anda baik-baik saja?" John berteriak dari luar toilet. Mungkin, ia mengira pria yang tadi keluar dari dalam toilet wanita itu hendak berbuat macam-macam pada Hanna.

Hanna lantas membalas teriakan John dengan Suara bergetar. "I-ya, aku baik-baik saja, John."

"Nyonya yakin?"

"Aku seratus persen yakin, kau tidak perlu khawatir." Kali ini, nada suara Hanna sudah tidak bergetar lagi. Ia berusaha terdengar baik-baik saja alih-alih syok.

"Saya mengerti, Nyonya."

Kini, Hanna beralih pada Michelle. Ia mengamati penampilan Michelle yang tampak sedikit mengenaskan di matanya karena gaunnya yang begitu seksi.

"Apa yang tadi kau lakukan, Michelle?" Hanna menatap Michelle kecewa.

Michelle yang tadinya tampak terkejut karena ketahuan, kini menatap Hanna dengan tatapan tajam. Ia tersenyum sinis. "Apa lagi yang kulakukan kalau bukan bekerja?"

"Be-bekerja? Apa maksudmu?"

"Aku bekerja dengan melayani nafsu pria itu! Aku sekarang menjadi seorang PSK!" Michelle berteriak dengan mata berkilat marah dan penuh luka. Tatapan yang ditunjukkan pada Hanna adalah tatapan penuh kebencian.

Kini, Michelle menangis meraung.

"K-kau?!" Hanna yang syok mendengar perkataan Michelle tak kuasa menahan isakannya. "Katakan, kenapa kau tidak kuliah dengan benar saja dan justru menjadi seperti sekarang ini, Michelle?"

Hanna mencoba meraih bahu Michelle yang bergetar hebat. Akan tetapi, Michelle menepisnya kasar.

"Tidak perlu sok peduli padaku! Kau adalah penyebab semua ini terjadi padaku!"

"Apa maksudmu?"

"Kau dan suamimu adalah sumber dari segala macam penderitaan yang aku dan kakak alami selama ini."

"Su-suamiku? Felix?" Hanna tampak tak mengerti. "Katakan, kenapa kau bisa bicara seperti itu? Apa yang telah diperbuat oleh Felix?"

"Kau sungguh tidak tahu? Atau kau hanya pura-pura tidak tahu tentang kebusukan suamimu, huh?" Michelle tertawa sinis. Sesaat kemudian, ia berhenti tertawa dan kembali menatap Hanna dengan tatapan sengit.

"Suamimu adalah pembunuh kakakku!"

Deg!

Hanna merasakan bahwa dunia berhenti berputar saat ini. Dadanya serasa begitu sakit. Kepalanya terasa amat pening. Benarkah Felix ... dalang dibalik kematian Michael?

"Mi-michelle kau bercanda, 'kan? Aku tahu Felix memang ambisius dan akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, tapi ... benarkah dia yang membunuh Michael? A-apa buktinya?"

"Aku memang tidak punya buktinya, tapi aku yakin, kecelakaan yang menimpa kakak adalah hasil rekayasa. Kau ingat? Sembilan tahun yang lalu, suamimu itu juga pernah melenyapkan kakakku demi dirimu. Jadi, tidak menutup kemungkinan kalau kecelakaan itu juga didalangi oleh suamimu, bukan? Apalagi, saat itu kau dan kakakku sudah bertunangan, dan buktinya sekarang setelah dua tahun kematian kakakku. Dia menikahimu, 'kan?"

Hanna masih menggeleng tak percaya mendapati fakta ini. Menurut penyelidikan polisi saat itu, mobil Michael memang murni mengalami kecelakaan karena menghindari truk. Tidak ada bukti menunjukkan bahwa kecelakaan itu direkayasa. Akan tetapi setelah dipikir-pikir kembali, Felix mempunyai kekayaan dan kekuasaan. Dia bisa saja melakukan segala macam hal dengan uang dan kuasanya itu. Bisa jadi apa yang dikatakan oleh Michelle benar adanya.

Dengan nada getir, Michelle berujar, "Sejak kedua orang tua kami meninggal, hanya kakak tempatku bersandar. Saat dia dipukuli antek-antek suamimu dan hampir merengang nyawa sembilan tahun yang lalu, aku begitu marah padamu. Tapi, setelah dia sembuh, dia justru mencarimu dan hubungan kalian berlanjut hingga ke tahap pertunangan. Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak setuju dengan hubungan kalian. Namun, lambat laun aku menyadari bahwa rupanya kau adalah sumber kebahagiaan kakakku. Akhirnya, aku mulai bisa menerima dirimu sebagai calon kakak iparku. Tapi setelah kecelakaan itu terjadi dan merenggut nyawa kakakku, aku sadar kalau keputusanku salah."

Michelle menghapus kasar air mata yang membanjiri pipinya dan kembali menatap Hanna tajam.

"Seharusnya sejak awal kau tidak perlu hadir dalam hidup kakakku karena dengan begitu, aku dan kakakku tidak akan pernah hidup menderita. Kau tahu kan, aku bisa kuliah dan menyambung hidup selama ini karena dia. Setelah dia tidak ada, aku bisa apa? Aku tidak sepintar kakakku yang selalu mendapat beasiswa, jadi aku harus mengerahkan kemampuanku yang lain untuk bisa kuliah dan melanjutkan hidupku yang sudah hancur karena kau dan suamimu. Maka inilah salah satunya yang bisa kulakukan, yaitu menjual tubuhku."

Michelle segera beranjak dari hadapan Hanna. Namun, Hanna menahan lengannya. Michelle menoleh padanya.

"Maaf," ujar Hanna lirih. "Maafkan aku, Michelle."

Michelle menepis kasar tangan Hanna. "Aku tidak butuh permintaan maaf darimu. Yang kubutuhkan hanyalah kakakku kembali ke sisiku."

Lalu, Michelle meninggalkan Hanna yang kini terisak sendiri di dalam toilet yang sepi itu.

***

"Nyonya baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" tanya John khawatir setelah Hanna keluar dari toilet.

Hanna tersenyum tipis yang sedikit dipaksakan sambil menggeleng pelan. "Aku tidak apa-apa, kau tahulah, urusan wanita."

John mengangguk mengerti. Namun, sedetik kemudian, kerutan didahinya muncul. "Nyonya yakin baik-baik saja? Wajah Nyonya pucat sekali."

Hanna refleks menyentuh pipinya. "Benarkah? Ah, aku tidak apa-apa kok. Mungkin aku hanya lelah. Lagipula, ini juga sudah malam bukan?"

John lagi-lagi mengangguk. Hanna menggigit bibirnya, berusaha sekuat tenaga untuk tidak kembali menangis, menutupi kejadian yang sebenarnya menimpa dirinya barusan. Sejujurnya, ia masih dilanda syok berat akibat pembicaraannya dengan Michelle. Tak hanya itu, rasa tak percaya, marah, dan bahkan sedih kini bersemayam di hatinya.

"Sudahlah, ayo kita kembali!" ajaknya kemudian.

Baru beberapa langkah mereka berjalan, seseorang memanggil namanya.

"Hanna Osment?!"

Hanna menoleh. John pun ikut menoleh. Hanna menatap heran seorang pria tengah tersenyum miring padanya. Hanna berusaha mengingat-ingat sosok pria yang kini semakin berjalan mendekatinya dan John. Tak lama kemudian, matanya membulat sempurna.

"Jonathan?"

"Long time no see, Princess."

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Hikmah Junaedi

Hikmah Junaedi

felix sakit jiwa karena kurang kasih sayang.

2022-05-09

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!