Part 15

Pagi ini, Hanna bangun lebih awal dari biasanya. Jika biasanya ia akan melewatkan sarapan pagi bersama Felix, kali ini lain ceritanya. Ia dan Felix di meja yang sama. Jangan tanyakan mengapa karena biasanya ia dan Felix terlibat dalam pergulatan panas semalaman yang membuat Hanna kelelahan. Sedangkan semalam Felix sibuk dengan pergulatan panas bersama wanita lain yang menurut perkiraan Hanna adalah seorang PSK.

Bicara soal wanita itu, sepertinya Felix langsung menyuruhnya untuk pergi setelah berhasil memuaskannya. Bukan tanpa alasan Hanna berpikir seperti itu karena Hanna tidak melihat wanita itu lagi pagi ini.

Diam-diam, Hanna mencuri pandang ke arah Felix yang sedang membaca sesuatu di tabletnya. Entah kenapa, Hanna merasa ada sesuatu yang janggal pada dirinya saat ia menatap pria itu. Bayangan kejadian semalam saat ia tanpa sengaja melihat adegan panas Felix bersama wanita lain terus menghantui benaknya. Ia ingin mengenyahkan bayangan itu, tetapi semakin Hanna ingin melupakannya, bayangan itu justru semakin teringat olehnya.

Astaga, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya?

"Kenapa kau terus memandangiku seperti itu?"

Suara Felix membuat Hanna terhenyak seketika. Dilihatnya kini, Felix sedang memperhatikannya tajam.

"Tidak, aku hanya sedang melamun. Aku tidak sedang memperhatikanmu," jawab Hanna ketus. Ia melongos kemudian kembali menyantap penekuknya.

Felix menyeringai. "Kau melihatnya?"

Pertanyaan Felix seketika membuat pergerakan Hanna yang hendak menyuapkan penekuk ke mulutnya terhenti. Hanna mengarahkan atensinya pada Felix. "A-apa?"

"Tadi malam, saat aku meniduri ******, apa kau melihatnya?"

Wajah Hanna memucat setelah mendengar pertanyaan Felix yang sudah diperjelas itu. Ia tidak menyadarinya, tetapi Felix sadar akan hal itu. Seringaian Felix makin lebar.

"Sepertinya tanpa perlu kau jawab, aku sudah tahu jawabannya," seloroh Felix. "Kau melihatnya, 'kan?"

Hanna mendengkus. Ia membanting garpu dan pisau yang dipegangnya sedikit kasar di atas meja. "Benar, aku melihatnya. Kenapa, apa kau berpikir aku cemburu akan hal itu? Maaf, tapi aku sama sekali tidak cemburu."

Felix terkekeh mendengar jawaban Hanna. Hanna mengernyit heran mendengar kekehan Felix. Wajahnya semakin merenggut kesal. Ia mengalihkan pandangannya dengan segera dari wajah tampan yang begitu menyebalkan di matanya itu.

"Astaga, Hanna Osment ... siapa yang menuduhmu cemburu? Sepertinya, aku tidak bicara apa-apa soal hal itu loh! Atau jangan-jangan, kau memang cemburu, 'ya?"

Kini, Hanna mendelik mendengar pernyataan Felix. Ia merutuk dalam hati. Benar juga, Felix tidak mengungkit-ungkit soal cemburu, jadi kenapa juga ia bertingkah seolah-olah ia memang merasa cemburu karena kejadian semalam? Dasar bodoh!

Felix berhenti terkekeh. "Ingat Hanna! Kau memang milikku, tapi bukan berarti aku juga milikmu."

Perkataan Felix yang begitu dingin membuat Hanna menoleh. Tak hanya perkataannya, tatapan mata Felix juga tampak dingin dan tajam padanya.

"Semua yang ada dalam dirimu adalah milikku, tetapi semua yang ada dalam diriku adalah milikku sendiri. Jadi, kau tidak berhak merasa cemburu, marah, ataupun sakit hati atas segala macam hal yang kulakukan dengan diriku. Kau mengerti?"

Tepat setelah Felix menuntaskan kalimatnya, pria itu bangkit dari kursinya dan beranjak pergi dari ruang makan menuju teras utama di mana mobilnya telah siap di sana. Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara menyapa gendang telinganya.

"Kau benar, aku memang tidak berhak merasa cemburu, marah, ataupun sakit hati padamu karena sejak awal kau hanya menganggapku sebagai objek pemuas nafsumu ataupun pelampiasan atas amarahmu."

Hanna menghela napas kasar sejenak. Kedua tangannya terkepal kuat di atas meja. "Kau tidak perlu khawatir. Aku sangat-sangat mengerti akan hal itu, Felix Alley Huang."

Hanna mendorong kasar kursi yang didudukinya dan berjalan cepat menuju kamarnya.

Felix perlahan membalikkan badannya dan menatap punggung Hanna yang menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan. Setelah punggung wanita itu benar-benar menghilang, barulah Felix berbalik pergi menuju mobilnya, berusaha tidak menerka-nerka apa yang sedang dirasakan atau dipikirkan oleh wanita yang berstatus sebagai istrinya itu.

***

"Wah, tumben sekali kau datang kemari?! Apa sekarang kau lebih suka bau obat daripada alkohol?"

Sean tersenyum miring pada Leo yang baru saja duduk di kursi di hadapannya. Saat ini, mereka sedang berada di ruang direktur utama Rumah Sakit MyungXai milik keluarga Sean.

Leo membalas Sean dengan cengiran khasnya. "Kenapa, kau tidak suka aku mengunjungimu?"

Sean berdecih. "Mengunjungiku atau mengunjungi perawat-perawat cantik di sini?"

"Sialan!"

Sean dan Leo sama-sama terkekeh karena gurauan itu.

"Omong-omong, bagaimana kabar Tinkerbell-mu? Kau sudah berani menemuinya?" tanya Sean sesaat setelah dia meredakan kekehanya. Ya, Leo memang bercerita tentang sosok Tingkerbell di masa kecilnya itu pada Sean, tetapi tentu saja dia tidak mengatakan jika sosok Tingkerbellnya itu adalah Hanna Osment.

Leo yang mendengar pertanyaan itu langsung mengembuskan napas lesu. "Sudah, aku menemuinya lima minggu yang lalu, dan dugaanku mengenai suaminya benar."

"Benarkah? Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan merebutnya dari suaminya itu? Kalau saja kau sadar lebih awal bahwa dia gadis cilik yang kau cari selama ini sembilan tahun yang lalu, bisa saja dia tidak akan menikahi suaminya, bukan? Mungkin saja justru kau yang akan menikahinya. Sayang, kau baru sadar akhir-akhir ini setelah dia resmi menjadi istri orang lain." Sean menggeleng prihatin.

Leo menggeleng sambil terkekeh pelan. "Ey, tentu saja tidak. Lagipula, aku hanya peduli padanya bukan jatuh cinta ataupun menyukainya. Perasaan yang kumiliki padanya bukanlah perasaan semacam itu, Sean. Aku hanya merasa berhutang budi padanya."

Sean memicing curiga. "Kau yakin kau hanya peduli padanya? Sungguh, kau tidak menyukainya atau bahkan mencintainya?"

"T-tidak. Aku murni hanya mempedulikannya. Oke, aku memang merasa kalau naluriku untuk melindungi dan membuatnya bahagia itu begitu kuat, tapi ... kurasa itu bukan cinta, Sean."

Leo mengernyit ragu setelah mengatakan hal itu. Benarkah perasaannya hanya perasaan perduli? Sebenarnya, ia tidak begitu yakin akan hal itu. Namun, mungkinkah juga itu cinta? Entahlah, Leo belum berani menetapkan perasaan apa yang sebenarnya yang ia rasakan pada Hanna. Bagaimanapun, Hanna bukanlah miliknya. Wanita itu sudah diklaim sebagai milik Felix. Ia istri Felix. Ikatan mereka sebagai suami istri sah dimata hukum maupun Tuhan, walaupun pernikahan itu dilakukan atas dasar benci dan paksaan.

Sean mengangguk mengerti sebagai respon dari perkataan Leo. Dia mengusap dagunya penasaran. "Sungguh, sebenarnya siapa sih wanita itu? Aku begitu penasaran dengannya. Memangnya se-spesial apa dia hingga bisa membuatmu terus mengingatnya bahkan hingga belasan tahun lamanya?"

Sean tampak berpikir serius. Sementara Leo hanya bisa mengulum senyum.

***

Leo menatap prihatin seorang pria paruh baya yang terbaring koma di ranjang rumah sakit dengan berbagai macam alat medis yang terpasang di tubuhnya. Sebenarnya, inilah tujuan utama mengunjungi rumah sakit milik Sean. Dia ingin menjenguk pria yang berstatus sebagai mertua dari sepupunya yang juga merupakan ayah dari sepupu iparnya. Pria itu adalah Robert Pattinson Osment, ayah kandung Hanna Osment.

"Apa Felix ataupun Hanna pernah berkunjung ke sini setelah mereka menikah?" Leo bertanya pada Sean yang ikut bersamanya.

Sean menggeleng. "Tidak, menurut dokter dan perawat yang menanganinya, hanya asisten Felix yang sering berkunjung ke sini untuk mengecek kondisi terkini dari tuan Osment."

Leo mengangguk mengerti. Namun, batinnya merasa miris. 'Bahkan, Felix juga tidak mengizinkan Hanna mengunjungi ayahnya sendiri. Keterlaluan,' batin Leo kesal.

"Lalu, apa ada perkembangan dari kondisi beliau?"

"Kondisinya tidak banyak berubah sejak dirawat. Namun, kondisinya bisa dikatakan stabil."

Leo kembali mengangguk. Ia memperhatikan wajah Robert dekat. Ia berbicara pada Robert lewat mata dan suara hatinya.

'Tuan Osment kumohon bertahanlah dan cepatlah sembuh. Hanna sangat membutuhkan anda.'

***

"Ini apa?"

Lisa bertanya kepada kepala pelayan yang memberikan sebuah kotak berukuran sedang dengan hiasan pita di atasnya kepada dirinya.

Kepala pelayan tersenyum lalu menjawab, "Itu dari tuan Felix, Nyonya. Silahkan dibuka."

Hanna pun membuka kotak itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat apa yang tersimpan di dalamnya.

"Gaun?"

"Benar, Nyonya. Itu sebuah gaun. Tuan Felix ingin Nyonya memakainya untuk pesta malam ini."

Lagi-lagi Hanna terbelalak. "Pesta apa?"

"Malam ini adalah peresmian hotel baru milik tuan Kevin Sang. Tuan Felix ingin Nyonya menemaninya ke sana."

Hanna terpaku mendengar penjelasan kepala pelayanan. Felix mengajaknya ke pesta Kevin? Ya ampun, mimpi apa dia semalam? Bukankah Felix melarangnya pergi keluar rumah? Namun, kenapa sekarang pria itu justru mengajaknya ke pesta? Dan lagi, gaun yang Felix berikan padanya itu cukup ... er, seksi.

Hanna mendengkus. Sebenarnya, apa maksud Felix berbuat seperti ini?

"Tidak bolehkah aku menolak? Aku tidak suka pesta, jad—"

"-- tidak ada penolakan, Hanna."

Sebuah suara menginterupsi, tetapi itu bukanlah suara kepala pelayan. Hanna menatap si pemilik suara yang berdiri angkuh di depan kamarnya dengan tatapan dingin.

Felix berjalan menghampiri Hanna yang duduk di tepi ranjang dengan wajah datarnya. Kepala pelayan segera pergi dari kamar Hanna, meninggalkan kedua orang yang berstatus suami istri itu. Felix dan Hanna saling melempar tatapan tajam.

Felix menyeringai. "Kau tahu betul kalau aku paling tidak suka penolakan, bukan? Jadi, suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus ikut denganku nanti malam, atau—"

"—atau apa? Kau akan menghukumku? Silahkan saja! Aku sudah terbiasa dengan hukumanmu, jadi aku sudah tidak takut lagi dengan ancamanmu."

Hanna mengalihkan pandangannya dari Felix yang kini justru terbahak karena perkataannya.

Felix berhenti tertawa kemudian membungkukkan tubuhnya. Dia berbisik di telinga Hanna. "Lebih parah dari itu, Hanna. Jika kau tidak menuruti kata-kataku, aku ...."

Hanna berusaha untuk terlihat tidak peduli dengan perkataan Felix selanjutnya. Namun, ia tetap mendengarkan dengan seksama karena penasaran oleh apa yang pria itu lakukan pada dirinya. Matanya membelalak tak percaya saat Felix mengatakan kata-kata kejam dan terkesan tidak berperikemanusiaan.

"... akan melenyapkan ayahmu."

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!