Part 7

9 tahun kemudian.

Upacara pernikahan sudah usai. Resepsi pernikahan pun sudah selesai digelar. Namun, raut wajah Hanna tak ubahnya menekin. Datar. Benar, seharusnya ia bahagia dengan pernikahannya. Namun, hal itu hanya akan terjadi kalau ia menikah atas dasar cinta. Masalahnya, Hanna begitu membencinya. Pernikahan ini pun terjadi karena Felix yang memaksanya.

Cih. Bahkan, menyebut nama pria itu saja sudah mampu membuat darah Hanna mendidih. Hanna benar-benar muak padanya. Ia membenci Felix hingga ke urat nadinya. Ia sedang benar-benar tidak ingin melihat wajah pria itu saat ini. Dan Hanna bersyukur karena pria itu tidak sedang berada di sisinya. Saat ini Hanna sendirian di dalam sebuah kamar.

Kamar itu didominasi warna putih gading. Well, sebenarnya ruangan ini tidak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan lain di mansion Felix yang memang didominasi warna gading. Hanya saja, sprei ranjang memberi sedikit warna yang membuat kamar itu tidak tampak membosankan, yaitu warna merah.

Hanna menghela napas berat. Hari ini, kehidupan bak neraka baginya baru saja dimulai di dalam mansion megah bak surga milik Felix.

***

"Seharusnya kau menikmati malam pertamamu, bukannya minum-minum di sini," komentar Leo sambil menghempaskan dirinya ke kursi tinggi di samping Felix di meja bar. Felix hanya melirik Leo sebentar lalu kembali menandaskan seloki vodka yang dipesannya.

Leo mengembuskan napasnya perlahan melihat sikap acuh tak acuh Felix. Kemudian, ia ikut memesan vodka yang dipesan sepupunya itu pada bartender. Leo memusatkan atensinya pada Felix. "Akhirnya, kau mendapatkannya. How do you feel now?"

Felix kembali menenggak vodkanya. "I don't know," tandasnya setelah terdiam cukup lama. Ia kembali menuangkan vodka ke dalam gelas lalu menandaskannya dalam sekali tenggak.

Leo menghela napas berat. Ia ikut menuangkan vodka kedalam gelasnya lalu meminumnya sedikit. Leo tersenyum sendu sambil memainkan gelasnya yang masih berisi sedikit vodka. "Sejak dulu, kau susah sekali ditebak, Lix. Aku sudah mengenalmu lama, tapi belum pernah sekalipun bisa mengerti jalan pikiran maupun isi hatimu.

Felix diam, tetapi dia tampak mendengarkan.

Leo melanjutkan. "Sembilan tahun yang lalu, tepat setelah pertengkaran hebatmu dengan Hanna, kau memutuskan untuk pergi ke Amerika untuk belajar bisnis di sana. Padahal, sebelumnya kau bersikeras menolak belajar bisnis karena tidak mau jadi pewaris papamu. Lalu, setelah kau pulang dari Amerika dan diangkat menjadi CEO menggantikan papamu yang meninggal, kau membuat ayah Hanna bangkrut dan memaksa Hanna untuk menikah denganmu. Padahal, selama ini kau bahkan tidak pernah menyebut namanya dan menanyakan kabarnya. Dan saat kutanyakan padamu bagaimana perasaanmu, kau tidak tahu." Leo mengembuskan napas panjang sambil berhenti memainkan gelasnya. Ia menoleh pada Felix dan menatapnya serius. "Sebenarnya apa tujuanmu melakukan semua ini? Apa rencanamu pada Hanna?"

Felix menatap gelasnya tajam sambil mencengkeramnya kuat. Leo dengan sabar menanti jawaban dari pertanyaannya walaupun ia tahu belum tentu juga Felix akan menjawabnya. Leo tahu pasti kalau Felix melakukan semua itu-belajar bisnis dan menikahi Hanna untuk tujuan tertentu. Ia tahu Felix merencanakan sesuatu.

Alih-alih menjawab, Felix mengeluarkan dompetnya lalu mengambil beberapa lembar uang dari sana. Kemudian, ia meletakkannya di meja bar.

"Apa pun tujuan dan rencanaku, biar itu menjadi urusanku," ujar Felix dingin sambil bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi meninggalkan Leo. Leo menatapnya terkejut, tetapi ia tidak menahan Felix untuk tetap tinggal.

Leo hanya mampu menatap punggung Felix yang menjauh dengan tatapan ingin tahu. 'Andai aku bisa membaca pikiranmu,' batin Leo.

***

Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Hanna masih setia duduk di tepi ranjang queen size miliknya, menghadap keluar jendela kamarnya yang gordennya sengaja ia biarkan terbuka. Hanna begitu karena ia tidak bisa tidur. Banyak sekali hal yang sedang dipikirkannya.

Hanna begitu merindukan ayahnya. Belum pernah Hanna merasakan kerinduan yang sebesar ini pada ayahnya, mengingat ayahnya sering meninggalkannya untuk kepentingan bisnis. Kali ini, tentu saja berbeda karena Hanna lah yang meninggalkan ayahnya untuk berumah tangga. Parahnya lagi, ayah yang begitu dicintainya itu kini sedang terbaring lemah di rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya.

Selain ayahnya, Hanna juga merindukan sosok lain yang begitu berharga dalam hidupnya. Dia adalah Michael, mendiang tunangannya. Setelah Felix diketahui pergi ke Amerika secara mendadak, hubungan Hanna dan Michael berkembang semakin dalam hingga ketahap pacaran lalu bertunangan.

Naas, dua minggu sebelum hari pernikahan mereka dua tahun yang lalu, Michael mengalami kecelakaan mobil yang begitu parah. Michael tewas seketika itu juga. Rencana indah mereka hancur begitu saja. Dan kini, Hanna malah menikahi pria yang sejak dulu dibencinya. Pria yang akan membawa kesengsaraan padanya.

Ceklek.

Hanna mendengar langkah seseorang memasuki kamarnya. Hanna yang awalnya tidak peduli siapa orang yang memasuki kamarnya, kini menoleh setelah mendengar suara pintu yang dikunci. Matanya melebar saat melihat Felix sudah berdiri di dekat ranjangnya dengan seringaian kejam menghiasi wajahnya. Hanna sedikit bergidik melihat seringaian itu, tetapi ia tetap bersikap biasa dan dengan cepat berpaling.

"Untuk apa kau ke sini?" Hanna bertanya dengan nada ketus. Berbeda dengan ekspresi wajah dan sikapnya yang tampak dingin, sebenarnya ia begitu gugup dan sedikit tegang.

Felix melangkahkan kakinya semakin mendekati Hanna. Semakin Felix mendekat, Hanna semakin mengetatkan pegangannya pada tepian ranjang. Melihat hal itu, Felix menyeringai makin lebar.

"Sepertinya kau gugup," seloroh Felix dengan nada mengejek. Ia membungkukkan tubuhnya sedikit agar wajahnya sejajar dengan wajah Hanna yang enggan menatapnya. "Kenapa, apa kau berpikir kalau aku ke sini untuk meminta hakku? Kau belum siap memberikannya, ya?"

Hanna mengernyit tak suka. Napas Felix berbau alkohol. Dia mabuk, Hanna memilih diam. Ia sama sekali tidak ingin menjawab, takut jawabannya mengakibatkan sesuatu yang tak diinginkan. Ia memilih untuk semakin berusaha menutupi kegugupannya.

Namun, sikap diam Hanna justru membuat kesabaran Felix habis. Felix menggeram marah lalu mencengkeram kasar rahang Hanna. Dia memaksa Hanna agar menatapnya. Hanna hanya menatap sengit Felix.

"Tatap dan jawab aku saat aku sedang bicara padamu, sialan!" Felix membentak. Hanna bergeming. Sedetik kemudian, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak mau menatap Felix lama-lama. Felix semakin geram dengan sikap Hanna.

"Jadi kau mau main-main denganku, hm?" Felix mendesis. Seringaian mengerikan kembali menghiasi wajahnya. "Baiklah, kalau begitu akan kuladeni permainanmu."

Kemudian, Felix mencium bibir Hanna secara paksa. Hanna terkejut lalu memberontak dengan memukuli dada Felix. Namun, Felix menahan tangan Hanna agar tidak bisa bergerak.

Kini, Felix mendorong Hanna agar berbaring di ranjang. Felix menindihnya dan mengunci kedua tangan Hanna dikedua sisi kepalanya. Hanna memberontak sebisanya.

Bersambung.

Seperti biasa, digantung.

Terpopuler

Comments

Hikmah Junaedi

Hikmah Junaedi

masih salah lagi.gantung dipohon toge aja thor.wkwkwwkkww

2022-04-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!