Felix menatap benci pada sosok wanita yang sedang pingsan di atas ranjang di kamar tempatnya berada kini. Jarum infus tertancap sempurna di pergelangan tangannya. Wajahnya tampak pucat. Ia terlihat begitu lemah.
Felix melirik jam kesayangannya, lima jam sudah ia menunggu wanita itu sadar dari pingsannya. Bukan, Felix ingin wanita itu sadar bukan untuk menanyakan keadaan wanita itu dan menunjukkan rasa khawatirnya, dia menunggu wanita itu sadar untuk ... memarahinya? Entahlah, Felix hanya merasa ingin berada di sana saat Hanna membuka matanya nanti. Ia ingin memastikan bahwa wanita itu tidak mati. Sekaligus memperingatkannya agar tidak lagi berbuat bodoh dengan mogok makan.
Felix sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat wanita itu menderita selamanya. Ia menikahi Hanna untuk ia hancurkan secara perlahan. Ia tidak sebaik itu membiarkan Hanna mengakhiri hidupnya sendiri dengan acara mogok makannya. Tidak secepat ini, karena Felix belum puas menyiksa wanita itu secara fisik dan batin.
Felix memejamkan matanya saat ia melihat Hanna mulai menggeliat samar dalam tidurnya. Ia sudah siap untuk menghampiri wanita itu untuk kalau-kalau wanita itu benar-benar sadar. Namun, saat mendengarnya memanggil sebuah nama, seketika Felix mengepalkan kedua tangannya kuat.
"Michael ... Michael ...."
Felix menyumpah serapah lantas buru-buru melangkahkan kakinya keluar dari kamar Hanna. Malam ini, ia belum bisa melampiaskan amarahnya pada wanita itu. Tidak, karena kalau ia melakukannya sekarang maka ia benar-benar membunuh Hanna malam ini juga. Felix butuh pelampiasan. Maka dari itu ia akan mencari pelampiasan atas amarahnya yang semakin memuncak di tempat yang seharusnya.
***
Hanna membuka matanya tepat saat jarum jam menunjuk angka 12. Kamarnya begitu gelap karena lampunya padam. Belum lagi malam sudah menjelang, Hanna mengernyit tatkala merasa pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum. Lantas ia menoleh, benar, jarum infus memang tertancap di pergelangan tangannya. Sesaat, ia merasa heran. Namun, pada detik ketiga ia teringat akan apa yang terjadi padanya.
Ia tadi jatuh pingsan di depan kamarnya saat akan mengambil makanan. Baiklah, ia tadinya memang bersikeras tidak mau makan. Namun, tiba-tiba saja ia teringat oleh ayahnya. Seketika itu juga ia sadar bahwa tidak seharusnya ia melakukan tindakan sebodoh itu. Ia baru sadar kalau ia masih memiliki seorang ayah sebagai alasan agar ia tetap bertahan hidup.
Bagaimana perasaan ayahnya ketika bangun dari koma nanti saat tahu bahwa Hanna sudah mati? Tentulah ayahnya akan bersedih, bukan? Apalagi jika ayahnya mengetahui kalau secara tidak langsung Felix-menantunya- adalah alasan terbesar kematian putrinya sendiri. Oh ... pasti ayahnya akan begitu terluka dan akan menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi. Maka dari itu ia mengalahkan ego dan gengsinya sendiri untuk mengambil makanan tadi. Sayangnya, sebelum tujuannya terlaksana, ia lebih dahulu tumbang.
"Aku haus ...." Hanna berbisik pada dirinya sendiri. Sungguh, kerongkongannya sudah sangat kering. Entah, sudah berapa lama ia tidak minum. Yang pasti, ia harus membasahi kerongkongannya sekarang juga.
Ia melirik nakas di samping ranjangnya. Nihil, tak ada sesuatu yang bisa ia minum. Dengan sedikit kesusahan, Hanna menegakkan badannya. Gerutuan keluar dari bibirnya seraya ia menurunkan kedua kakinya untuk perlahan bangkit dari ranjang. Dengan tertatih, ia mulai berjalan keluar kamar membawa infus bersamanya.
Saat Hanna membuka pintu, rupanya John pengawal pribadinya tidak sedang berjaga di depan kamarnya. Yeah, perlu kuberitahu bahwa selain mengurung Hanna, Felix juga mengutus seorang pengawal untuk mengawalnya. Pengawal itu adalah John yang usianya hanya terpaut 5 tahun darinya, dan Hanna baru-baru mengetahui soal pengawal tadi, sesaat sebelum ia pingsan. Bahkan, sepertinya pengawal itu juga yang pertama kali menolongnya saat jatuh pingsan tadi.
Lantas, Hanna kembali menggerakkan kakinya menjejaki lantai marmer untuk menjangkau anak tangga, ia harus ke dapur untuk mengambil minuman. Juga mungkin makanan karena ia sungguh lapar.
Lima menit berjalan ke dapur yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari itu kalau Hanna tidak tertatih- akhirnya membuat senyum tipis terukir di bibir Hanna. Langsung saja ia menjangkau kulkas dan mengambil sebotol air mineral di sana. Hanna meminumnya. Ah, rasanya begitu segar saat air mineral air dingin itu membasahi kerongkongannya. Setelah sebotol air itu ia habiskan, Hanna kembali mengorek isi kulkas. Ia menemukan roti di dalamnya dan langsung melahapnya rakus.
Setelah rasa haus dan laparnya terobati, Hanna segera kembali ke kamarnya.
Lagi-lagi Hanna berjalan tertatih menuju kamarnya di lantai dua. Lantai yang sama di mana letak kamar Felix berada. Bicara soal pria brengsek itu, Hanna sudah dua hari tidak melihatnya. Hanna bersyukur atas hal itu karena dengan begitu, ia tidak akan teringat akan kelakuan biadab Felix saat terakhir mereka bertemu. Sepertinya juga pria itu sedang tidak berada di rumah, tapi ... Ah, masa bodohlah! Untuk apa Hanna memikirkannya?
Saat sudah berada di kamarnya dan hendak naik ke ranjang, langkah Hanna tiba-tiba berhenti. Tubuhnya tiba-tiba menegang, matanya membulat saat mendapati ada sosok lain yang berada di kamarnya. Atau lebih tepatnya di atas ranjangnya.
"Darimana kau?"
Suara bariton yang sudah ia kenal menyapa gendang telinganya. Nada bicara yang terlontar begitu dingin. Hanna juga bisa melihat kalau wajah si pemilik suara juga mengeras. Tatapannya seolah mengintimidasinya. Hanna menelan salivanya dengan susah payah.
Sesaat, Hanna hanya mampu terdiam. Batinnya berperang. Haruskah ia menjawab pertanyaan itu? Sebetulnya, ia lebih suka bersikap tak acuh pada Felix, tapi ... kalau ia tak menjawab, ia takut Felix akan menghukumnya lagi. Sungguh, Hanna kalau sampai itu terjadi lagi. Ia benar-benar merasa trauma.
"Da ...." Hanna berdehem guna menetralkan suaranya yang tersentak. "Dapur, aku dari dapur." Hanna berujar dengan begitu pelan. Usai mengatakannya, ia lantas menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia mendengar Felix mendengkus kasar.
Dengan panik, Hanna memundurkan langkahnya saat tiba-tiba Felix bangkit dari ranjang dan menghampirinya dengan langkah lebar. Rasa paniknya makin jadi saat Felix menarik pinggang dan tengkuknya kemudian menyatukan kedua material basah milik mereka. ******* kasar dan tergesa Felix berikan pada Hanna yang hanya melotot terkejut karena ciuman tiba-tiba itu Hanna ingin melawan, kalau ia boleh jujur. Namun, ia lagi-lagi hanya bisa pasrah menerima perlakuan Felix karena takut membuat pria itu marah.
Hanna mengecap rasa yang aneh dari lidah Felix saat pria itu melesatkannya kedalam mulutnya. Rasanya seperti ... Ah, vodka! Pasti Felix habis mabuk, dan sepertinya ia juga habis ... tidur dengan ******? Hanna mengetahui hal itu karena tubuh Felix berbau parfum wanita ******. Entah kenapa Hanna seperti tertohok oleh fakta itu. Fakta bahwa Felix menciumnya setelah ia mencium dan meniduri ****** membuat harga dirinya teriris.
Saat Hanna masih sibuk dengan pemikirannya, Felix justru menghentikan aksinya. Ia tampak terengah, pun dengan Hanna yang baru sadar kalau ia menahan napas sedari tadi.
"Itu hukumanmu untuk hari ini, Hanna Osment!" Felix mengeram. "Lain kali, saat kondisimu tidak seperti ini, aku akan menghukummu dengan cara yang lebih menyenangkan untukku dan menyakitkan untukmu."
Kemudian, Felix menarik diri menjauhi tubuh Hanna. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar Hanna.
Sementara itu, Hanna hanya bisa mengernyitkan dahinya heran memikirkan perkataan Felix. Hukuman? Memang apa kesalahannya pada Felix hari ini?
Hanna menggeleng kemudian melanjutkan kegiatannya yang tadi tertunda. Ia segera menaiki ranjang dan membaringkan tubuhnya dengan nyaman di sana.
Bersambung.
Maaf banget ya, baru up. Karena kemalasan yang tidak bisa dihindari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Lubna Aysha
jgn2 dalang dibalik kecelakaan michael jg felix ya..
2023-01-01
1
Imelda Riya
Felix kebangetan sih susah buat jujur sma Hanna!!!!!!
2022-10-07
1
yest
jgn lama2 up lg. penasaran.
2022-04-22
1