Part 4 - Curiosity & jealousy.

"Kemarin Felix berulangtahun?"

Hanna menatap penasaran pada Michael yang sedang membaca buku di depannya. Saat di toilet tadi, Hanna mendengar beberapa siswi membicarakannya. Michael meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengisyaratkan Hanna untuk tidak bicara terlalu keras karena mereka sedang berada di perpustakaan. Hanna mengulum bibirnya. Michael pun mengangguk mengiyakan pertanyaan Hanna.

Hanna mengerutkan dahinya. Kalau kemarin benar ultah Felix, kenapa dia justru tampak begitu sedih dan terluka? Apa yang membuatnya seperti itu? Bukankah seharusnya dia tampak senang?

"Setiap Felix berulangtahun, ia hanya akan menyendiri dan tidak ada yang boleh merayakannya dengan memberinya ucapan selamat ataupun kado. Ia tidak menyukainya." Michael menjawab. "Tapi kurasa, ia benci pada ulang tahunnya sendiri," tambah Michael.

"Kenapa?"

Michael mengangkat bahu cuek. Hanna kembali memikirkan perkataan Michael. Sial, ia semakin dibuat penasaran oleh Felix. Kenapa Felix membenci hari ulang tahunnya? Apa yang terjadi pada hari ulang tahun atau hari lahirnya itu? Kenapa kehidupan pemuda menyebalkan itu begitu misterius?

Hanna paham sekarang. Gadis itu mengerti kenapa Felix bersikap dingin padanya kemarin. Itu karena Hanna telah mengganggunya. Bahkan, hari ini Felix masih saja bersikap dingin padanya. Saat ketiga temannya mati-matian menggodanya saat mereka berpapasan tadi pagi, Felix hanya menatapnya dingin kemudian pergi.

Huft. Padahal, Sean sudah mewanti-wantinya. Namun, pada dasarnya Hanna yang memang keras kepala dan tidak mau mendengarkan pemuda itu. Alhasil Hanna harus menerima pelajaran dari Felix—ciuman kasar itu—dan mengetahui tentang apa yang Felix rasakan pada dirinya.

"Hanna?"

Hanna tergagap mendengar panggilan Michael. "Ya?" jawabnya gugup.

Michael mengernyit heran. "Kau kenapa? Setelah mendengarkan penjelasanku tadi kau seperti memikirkan sesuatu."

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya sedang ... em, aku memikirkan tugas kelompok kita," akunya. Hanna tersenyum tipis. Senyum yang sedikit dipaksakan.

Michael menjentikkan jarinya. "Ah, tepat sekali kau membicarakannya. Bagaimana kalau kita mengerjakannya di kafe tempatku bekerja?"

Hanna terkejut. "Apakah tidak apa-apa? Maksudku, memang bosmu mengizinkan?"

"Mark sudah mengizinkanku. Kau tenang saja, dia orang yang baik. Jadi, dia tidak akan memarahiku ataupun memecatku hanya karena hal itu." Michael tersenyum lebar. Hanna menimang-nimang kemudian ikut tersenyum.

"Oke, nanti sore aku ke sana."

***

Hanna duduk menopang sambil menatap bosan kemacetan yang terjadi di luar kafe tempatnya berada. Gadis itu sedang menunggu Michael yang sedang sibuk melayani pelanggan. Hari ini kafe sangat ramai, sementara pelayan yang datang bekerja hanya beberapa orang saja karena shift yang berbeda dan ada juga yang cuti. Jadi, wajar saja kalau Michael dan pelayan lainnya agak kerepotan.

"Maaf, menunggu lama," desah Michael sambil mengempaskan tubuhnya di kursi. Wajahnya tampak sedikit lelah. Titik-titik peluh membasahi kening mulusnya. "As you can see, pelanggan yang datang hari ini sangat banyak. Jadi ...." Michael mengangkat bahunya.

Hanna tersenyum lalu mengangguk paham. "I know. It doesn't matter, anyway."

"Really? But, you look so bored." Michael tersenyum jahil. Hanna tersenyum kikuk.

Michael tersenyum geli menanggapi. Hanna tiba-tiba mengeluarkan tissue dari tasnya. Kemudian, tanpa Michael duga Hanna melap keringat yang bercucuran dari kening Michael. Michael membeku.

Setelah dirasa beres, Hanna menarik tangannya kembali. Dahinya berkerut saat melihat wajah Michael yang tampak syok. "Mic, kau kenapa?"

Michael tersadar. Ia tersenyum kikuk saat melihat raut heran Hanna. "Ti-tidak, hanya saja ... apa kau tidak takut membuat orang salah paham, maksudku ... sikapmu tadi ...."

"Oh, soal tissue ini? Kenapa kau harus takut dengan orang yang salah paham? Ini hanya wujud perhatianku pada temanku. Apa salahnya?" Hanna menatap Michael dengan mata bulatnya yang membesar. Wajahnya kini begitu imut di mata Michael. Dada Michael berdebar.

Michael kembali tersenyum kikuk. "Kau benar. Apa salahnya mengelap keringat temanmu, 'kan?" Hanna mengangguk mengiyakan. Michael mengutuk dirinya sendiri. Kenapa ia jadi tidak nyaman begini?

Hanna kemudian mengeluarkan netbook dan alat tulis untuk mengerjakan tugas kelompok mereka. Beberapa saat kemudian, mereka sudah tenggelam dalam diskusi-diskusi hangat tentang tugas yang mereka kerjakan. Tidak hanya berdiskusi, mereka terkadang saling bergurau satu sama lain.

Sementara itu, di luar kafe sepasang mata elang sedang mengawasi gerak-gerik mereka berdua. Dialah Felix Alley Huang yang satu jam yang lalu berada di dalam mobilnya yang terus memperhatikan ke arah Hanna. Pemuda itu tadinya hendak pergi ke club seperti biasanya. Namun, tanpa disangka ia melihat Hanna berjalan sendirian di perjalanannya menuju Bar. Karena penasaran, ia pun memutuskan untuk mengikuti Hanna. Dan ia pun terkejut saat mengetahui bahwa Hanna pergi ke kafe tempat Michael bekerja.

Namun, dari keseluruhan adegan yang ia lihat selama satu jam terakhir, ada satu adegan yang membuatnya begitu marah. Apalagi kalau bukan adegan saat Hanna mengelap keringat Michael? Tidak sampai disitu, ekspresi wajah Hanna seolah menunjukkan bahwa tindakannya itu adalah tindakan yang biasa saja. Sial! Apakah Hanna tidak tahu kalau sikapnya itu bisa membuat orang lain, bahkan Michael sekalipun salah paham? Gadis itu polos atau memang tidak peka, sih?!

Felix mencengkeram kemudinya kuat. Ia benar-benar marah kali ini. Hanna adalah pacarnya, semua orang di sekolah tahu itu. Bisa-bisanya gadis itu bersikap manis pada Michael, tetapi tidak padanya. Felix tahu, dialah yang memaksa Hanna untuk jadi pacarnya. Felix juga tahu betapa Hanna membencinya. Namun, Felix tetap saja merasa kalau Hanna telah mengkhianatinya.

Well, sepertinya Felix harus memberi mereka berdua pelajaran khususnya Michael yang masih berani dekat-dekat dengan Hanna.

Felix mengambil ponselnya kemudian mencari kontak seseorang. Setelah menemukannya, ia menekan ikon panggilan lalu menempelkan ponselnya ke telinga. Setelah beberapa saat menunggu, panggilannya tersambung kemudian seseorang di seberang menjawab. "Halo?"

"Aku punya tugas untukmu," ujar Felix sambil tersenyum devil.

***

Untuk kesekian kalinya, Hanna mengecek jam tangan kesayangannya. Lima menit lagi, bel tanda masuk akan berbunyi. Namun, Michael tidak juga kelihatan batang hidungnya. Aneh, biasanya Michael sudah datang sebelum Hanna datang. Kali ini, justru Hanna yang datang duluan. Perasaan heran muncul dibenaknya.

Harapannya untuk melihat Michael masuk ke kelas pun sirna ketika bel sekolah berbunyi. Hanna mendesah. Apakah Michael terlambat masuk? Atau malah pemuda itu memang tidak masuk hari ini? Terlambat jelas bukan gaya Michael. Dia adalah murid teladan yang selalu disiplin. Lantas, kalau dia tidak masuk, apa alasanya? Apakah dia sakit? Kenapa tidak mengabari Hanna? Hanna benar-benar khawatir.

Jam pelajaran pertama, kedua, ketiga, Michael masih tidak kelihatan. Hanna semakin yakin kalau Michael tidak masuk sekolah. Saat jam istirahat, Hanna pun mencoba menelpon Michael sambil berjalan ke Kafetaria. Panggilannya tidak tersambung. Ponsel Michael sedang tidak aktif. Hanna menatap layar ponselnya heran.

"Kenapa ponselnya tidak aktif?" gumamnya heran. Hanna mencoba menelpon kembali. Kaki-kakinya masih melangkah pelan menuju Kafetaria. Lagi-lagi, hanya suara operator wanita yang menyapanya. Hanna berdecak sambil menatap ponselnya sebal.

Bruk!

"Aw!"

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Erlin Pramudyas

Erlin Pramudyas

kasian Michael hiks

2022-06-04

0

Luthfiati Handayani

Luthfiati Handayani

iiiiihhhh....feliiixxx....jujur ajaaaa klo cinta ....keseeell deh 😫😫😫😫

2022-04-07

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!