Part 5

Seseorang menjegal kaki Hanna sehingga menyebabkan gadis itu jatuh tertelungkup. Hanna memekik kesakitan. Beruntung saat itu koridor sedang sepi, jadi tidak ada yang melihatnya terjatuh dengan posisi yang menggelikan seperti itu. Namun, ponselnya yang ikut jatuh pun rusak berkeping-keping karena begitu kerasnya berbenturan dengan lantai.

Hanna menatap ponselnya horor kemudian menggeram marah. Dengan masih dalam keadaan tertelungkup, Hanna menoleh untuk melihat siapa pelaku penjegalannya. Matanya membulat ketika mendapati wajah Felix yang sedang menatapnya tajam.

Hanna mendengkus kasar lalu langsung berusaha bangkit. Dengan sedikit terseok, Hanna berjalan menghampiri Felix. Seakan tidak merasa bersalah sedikit pun, Felix tetap bertahan dengan ekspresi datar dan dinginnya sambil menatap Hanna tajam.

"Apa-apaan ini? Kenapa kau menjegalku? Sebenarnya apa masalahmu?" Hanna berkata dengan gigi terkatup rapat menahan amarah. Tangannya terkepal kuat disisi tubuhnya. "Apa kau mulai menindasku, Felix Huang?"

"Bukan menindas. Aku hanya ingin memberimu pelajaran." Felix berujar ringan.

"Pelajaran?"

"Pelajaran agar kau tidak menelepon saat sedang berjalan karena itu bisa mencelakaimu."

"Omong kosong!" Hanna mencebik. "Aku celaka justru karena dirimu."

Felix mengangkat bahu cuek. "Itu lebih baik daripada kau celaka karena orang atau hal lain."

Hanna menatap Felix jengkel. Kemudian ia mendengkus kasar. Ia menatap Felix penuh penghakiman. "Lagipula kenapa kau peduli aku akan celaka atau tidak?"

"Karena kau pacarku, maka dari itu aku peduli."

"Omong kosong lagi," cibir Hanna. "Kupikir kau sudah tidak menganggapku sebagai pacarmu lagi setelah seharian kemarin kau bersikap dingin padaku dan menghindariku."

"Oh, jadi kau sudah menerima kenyataan kalau kau itu pacarku? Kau kesal karena kemarin aku mengabaikanmu?" Felix menatap Hanna dengan sudut bibir terangkat tinggi. Tatapannya penuh selidik. Hanna semakin kesal dengan ekspresi Felix.

"Jangan mimpi! Sampai kapanpun, aku tidak akan sudi jadi pacarmu. Sekalipun kau memaksaku jutaan kali, aku tetap tidak akan mau." Hanna berbalik dan mulai melangkah pergi. Hanna menggerutu pelan, ia memaksakan kakinya untuk berjalan cepat walupun engkelnya terasa sangat sakit. Ia benar-benar harus segera pergi dari hadapan Felix sebelum emosinya benar-benar memuncak. Tak lupa, ia mengambil ponselnya yang sudah hancur berantakan. Namun, saat ia merunduk untuk mengambil ponselnya, tiba-tiba tubuhnya terangkat. Hanna memekik pelan.

Felix menggendongnya.

"What the hell are you doing? Turunkan aku, Felix Alley Huang!" desis Hanna. Ia bergerak gelisah, tak nyaman. Felix hanya terus menatap lurus ke depan. Hanna mendengus.

"Felix Hu-"

"Diam atau aku akan menciummu di sini sekarang juga."

Mendengar ancaman Felix, Hanna langsung terdiam. Ia memperhatikan sekeliling dan mendapati tatapan penuh tanda tanya dari para murid yang melihat ia dan Felix. Hanna jelas tidak bisa membantah Felix karena Ia yakin, Felix adalah tipikal orang yang akan benar-benar melakukan ancamannya. Tidak peduli ada banyak orang di sekitar mereka. Dia tebal muka. Buktinya, dia berani mencium Hanna di Kafetaria waktu itu.

"Kau mau membawaku ke mana?" Hanna bertanya saat Felix menggendongnya melewati kelasnya. Ia menatap Felix bertanya-tanya.

"Uks. Aku akan bertanggung jawab atas rasa sakit yang kau alami."

Pernyataan Felix sukses membuat Hanna menatapnya terkejut dan ... takjub.

***

Hanna mengembungkan pipi sebal sambil bersidekap. Perhatiannya kembali ia tujukan pada pintu kaca sebuah toko di mana 15 menit yang lalu Felix masuk ke dalamnya.

Hanna sedang berada di dalam mobil Felix. Felix memaksa untuk mengantarnya pulang atas nama tanggung jawab karena telah membuat kaki Hanna terkilir.

Oh, yang benar saja! Tanggung jawab? Cih. Hanna mengira kalau Felix sengaja menggunakan kesempatan ini untuk mendekatinya. Pasti itu. Kalau tidak, ia pasti akan dengan tulus memberikan bantuan, bukan dengan paksaan.

Dan kini, lagi-lagi Felix memaksanya untuk menerima ponsel yang baru Felix belikan padanya. Ponsel itu sebagai pengganti ponselnya yang telah hancur.

"Tidak perlu kau ganti, aku bisa membelinya sendiri," ujar Hanna ketus. Sungguh, ia sudah bosan berada terlalu lama di mobil Felix. Aroma Felix yang tercium di mana-mana di setiap sudut mobil mewah itu terasa sangat menggelitik indera penciumannya. Ia sungguh tidak tahan dan tidak nyaman. Rasanya sangat aneh.

Felix mendengkus. "Kau tahu aku tidak suka ditolak, 'kan? Jadi, terima saja!" Felix meletakkan ponsel baru yang masih disegel didalam kotak kardus itu ke pangkuan Hanna. Kemudian, ia pun tancap gas.

Hanna mendelik, tetapi ia tidak memprotes ataupun mengansurkan ponsel itu kembali pada pembelinya. Percuma saja, Felix pasti akan mengancamnya lagi. Apalagi, saat ini mereka hanya berdua. Siapa tahu Felix nekad dan benar-benar melakukan ancamannya, bukan? Hanna benar-benar tidak ingin itu terjadi. Alhasil, ia memilih untuk mengalah. Mengalah bukan berarti kalah, bukan?

Akhirnya, mereka sampai di depan rumah Hanna. Rumah Hanna besar dan bergaya minimalis. Ada taman yang cukup luas di halaman depan rumahnya, setelah pintu gerbang. Hanna melihat Felix memperhatikan rumahnya dengan seksama. Ia mendengkus. "Aku tahu rumahku tidak sebesar mensionmu, jadi tidak perlu memperhatikannya seperti itu."

Felix mengerjap menatap Hanna. "Bukan itu yang kupikirkan. Aku hanya suka pada desainnya. Desain rumahku sangat Eropa, padahal-"

"Ya, ya, terserahlah!" Tahu-tahu Hanna sudah membuka pintu mobil dan hendak keluar dari sana.

Felix terkejut. "Hei!"

Belum sempat Felix mencegah Hanna keluar duluan dari mobilnya, Hanna sudah lebih dulu menutup pintu mobil Felix. Felix melepas seatbeltnya sambil mendumal. Kemudian, secepat kilat ia melompat keluar dari mobilnya.

Sambil masih terseok, Hanna melangkahkan kakinya menuju gerbang. Tangannya sudah hampir mencapai bel pintu gerbang saat Felix dengan sigap memencetkan bel untuknya. Hanna mendelik kesal padanya. Ia yang tadinya hendak memasukkan kode pintu, mengurungkan niatnya karena ada Felix di sampingnya.

"Pulanglah. Aku sudah di rumah, ada Bibi Chen yang akan membantu. Jadi, untuk apalagi kau ada di sini?" ketus Hanna.

"Aku sudah bilang akan bertanggung jawab, 'kan? Itu artinya aku akan benar-benar memastikan keselamatanmu sampai ke dalam rumah," ujar Felix ringan. Hanna melongo.

"Sesukamulah!" Hanna mendengkus. Felix menyeringai tipis.

Tidak lama kemudian, Bibi Chen tergopoh-gopoh keluar. Wanita setengah baya itu terkejut saat melihat kaki nona mudanya diperban.

"Aku hanya terkilir. Bibi tidak perlu khawatir," jelas Hanna menenangkan.

Saat Bibi Chen hendak membopong Hanna masuk ke rumah, lagi-lagi Felix dengan tanpa rasa malu menggendong Hanna. Hanna memekik, Bibi Chen melongo terkejut karenanya.

"Di mana kamarnya?" tanya Felix. Wanita paruh baya itu bengong sebentar.

Bibi Chen baru akan membuka mulut saat Hanna berkata, "Jangan beritahu dia, Bi!" Hanna beralih pada Felix. "Turunkan aku!"

"Di mana?" desak Felix pada bibi Chen.

Bibi Chen menggaruk tengkuknya bimbang. Hanna menggeleng sebagai tanda bahwa ia tidak mau Felix membawanya ke kamarnya. Namun, Felix juga tak mau kalah, ia terus menatap bibi Chen menanti jawaban. Karena melihat kaki Hanna yang diperban dan merasa kalau Hanna pasti akan sulit berjalan ke kamarnya, bibi Chen pun memilih untuk menunjukkan di mana letak kamar Hanna.

"Ayo, ikut saya, Tuan Muda."

Felix tersenyum puas lalu mengikuti arah yang dituju Bibi Chen. Dalam gendongannya, Hanna hanya bisa memaki dalam hati. Terkutuklah kau, Felix Alley Huang!

Terpopuler

Comments

Hikmah Junaedi

Hikmah Junaedi

masih lisa namanya

2022-04-07

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!