"Felix sedang ke Dubai."
Hanna menyuarakan isi pikirannya sesaat setelah Leo duduk dengan santainya di sampingnya. Leo menatapnya dengan alis terangkat.
Cengiran lebar itu kembali Leo berikan seraya berkata, "Aku tahu, lagipula aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya. Aku ingin mengunjungimu."
"Aku?"
Leo mengangguk semangat. Ia tampak seperti anak berumur lima tahun di mata Hanna. "Tidak apa-apa kan kalau aku mengunjungi sepupu iparku sendiri? Lagipula aku tidak sedang menangani kasus apa pun hari ini. Aku tidak tahu harus melakukan apa, jadi aku ke sini saja." Leo adalah seorang pengacara. Ia bekerja di firma hukum milik keluarganya.
Hanna tidak menimpali, ia masih menatap Leo heran. Ia dan Leo tidak dekat, jadi wajar bila ia merasa aneh saat tiba-tiba Leo mengunjunginya seperti ini. Namun, sepertinya Leo tampak biasa saja dengan hal ini.
"Ini hanya perasaanku saja atau kau memang terlihat lebih kurus dibandingkan saat hari pernikahanmu?" Leo memperhatikan Hanna lamat-lamat. Ia memperhatikan wajah dan penampilan Hanna dengan seksama.
Hanna mengalihkan pandangannya dari Leo. "Sepertinya aku memang kehilangan berat badanku," lirihnya.
"Tenang saja, kau masih terlihat cantik kok."
Hanna menoleh cepat pada Leo. Ia menatap Leo yang tersenyum lebar dengan tatapan tajam. Apa Leo baru saja merayunya?
Sadar akan tatapan membunuh yang Hanna berikan kepadanya, Leo seketika mengubah ekspresi wajahnya. Ia mengibaskan tangannya sambil tertawa gugup. "H-hei, jangan tatap aku seperti itu, Mrs! Aku tidak sedang merayumu, aku hanya berkata jujur. Aku yakin Felix juga pasti berpikir seperti itu."
Setelah mendengar penjelasan Leo, Hanna mengubah ekspresi wajahnya. Ia kembali mengalihkan atensinya pada bunga-bunga di sekitar taman. Felix mana mungkin berpikir seperti itu? Dia justru akan tertawa bahagia melihat Hanna terpuruk. Tujuan Felix memperistri dirinya hanyalah untuk membalas penolakan Hanna sembilan tahun yang lalu, tidak lebih.
Setelah mendapat panggilan dari seseorang, Leo pamit undur diri dari kediaman Felix. Hanna ikut bersamanya, mengantarkannya sampai depan pintu. John mengekori Hanna seperti biasa.
"Lain kali aku akan kembali berkunjung," beritahu Leo. Ia melihat kerutan samar di dahi Hanna setelah ia berkata demikian.
Leo buru-buru menambahkan. "Aku tahu kita tidak dekat, tapi apa salahnya kalau kita mencoba untuk lebih dekat, bukan? Kau istri dari sepupuku, itu artinya sekarang kau juga sepupuku. Jadi boleh, 'kan?"
Hanna tampak terperangah oleh penjelasan Leo. Namun, perlahan senyum tipis yang tidak sampai ujung mata terlukis di bibirnya. "Tentu saja," gumam Hanna.
"Bagus." senyum Leo semakin mengembang.
Kemudian, Leo pun berpamitan. Sesaat setelah ia berbalik, Hanna memanggilnya. Leo menoleh.
"Ada apa?"
"Terima kasih sudah berkunjung." Hanna tersenyum. Kali ini senyumannya tidak dipaksakan seperti sebelumnya.
Senyum Leo perlahan menghilang setelah mendengar perkataan dan melihat senyum wanita itu. Ia terkejut karena itu adalah senyum pertama yang Hanna tunjukkan padanya setelah sembilan tahun lamanya. Namun, keterkejutan itu tidak bertahan lama. Senyum lebar kembali terkembang di sudut bibirnya seraya ia melambaikan tangan.
Setelah masuk ke dalam mobil, wajah Leo mendadak murung. Ia menghela napas berat sambil memejamkan kedua matanya erat. Tak lama, ia kembali memfokuskan netranya pada kediaman Felix yang begitu megah, khususnya ke arah pintu di mana seorang wanita baru saja berdiri di depannya.
"Ternyata benar dugaanku, selama ini Felix tidak memperlakukannya dengan baik," desah Leo.
Ia menatap sendu pintu berwarna cokelat itu. Ia tak menyangka bahwa kecemasan kekhawatirannya selama ini ia yakini. Felix punya maksud lain pada Hanna yang tidak ia ketahui apa. Namun, di sisi lain, hal ini justru membuat Leo semakin membulatkan tekadnya. Ia semakin yakin dengan keputusannya.
"Aku berjanji akan menjadi pelindung dan pelipur laramu, Hanna. Jangan takut."
***
Hanna tidak menyangka bahwa Leo serius dengan perkataannya. Keesokan harinya, pria itu datang lagi ke kediamannya dengan membawa makanan kesukaannya yaitu rice noodle.
"Darimana kau tahu kalau aku suka rice noodle?" Hanna bertanya saat Leo dengan cekatan membuka kotak styrofoam miliknya dan juga Hanna. Mereka berada di meja makan.
Leo menyengir tanpa dosa. "Aku hanya menebaknya."
Lantas, pria itu menyerahkan bagian Hanna. Hanna menerimanya dengan senang hati. Leo mulai makan dengan lahap. Sementara Hanna memandangi makanannya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Terima kasih," ucap Hanna sambil tersenyum. "Aku sudah lama tidak makan rice noodle. Terakhir kali aku memakannya adalah pada hari ulang tahunku sebelum daddy bangkrut."
Senyum Hanna berubah menjadi senyum getir. Ia memainkan makanan dengan garpunya. Membicarakan ayahnya, membuatnya seketika merindukan pria yang begitu dikasihinya itu. Apalagi, kemarin Felix melarangnya untuk menjenguk ayahnya. Kesedihan Hanna sekarang semakin terasa menyedihkan. Hanna menggigit bibirnya, menahan air matanya agar tak keluar.
"Hanna," panggil Leo yang ternyata menghentikan acara makannya saat Hanna berkata dengan nada sedihnya.
Hanna mendongak, ia mengangkat alis, bertanya. Sesekali, ia mengerjapkan mata agar air matanya yang tadi menggenang tidak tumpah.
Leo tersenyum lebar. "Lain kali, kalau kau ingin makan sesuatu, jangan sungkan untuk bilang padaku. Aku akan membawakannya untukmu sehingga kita bisa makan bersama lagi, oke?"
Kini, Hanna tercenung dengan pernyataan Leo. Tak lama, senyum getir kembali menghiasi wajah cantiknya. "Jadi kau juga tahu ya, kalau Felix mengurungku di mansion ini? Kau tahu kalau aku tidak diperbolehkan keluar rumah, jadi kau datang kemari untuk menghiburku?"
Mendadak, senyum Leo menghilang. Namun, cepat-cepat ia mengibaskan tangannya sambil tersenyum gugup.
"A-ah, mungkin kau salah sangka, Hanna. Felix bukannya mengurungmu, dia hanya tidak ingin kau terluka. Kau tahu, kan kalau Felix punya banyak saingan bisnis? Dia hanya tidak ingin saingan bisnisnya menggunakanmu untuk menghancurkannya." Leo menjelaskan.
"Bahkan, dia juga menugaskan seorang pengawal pribadi untuk menjagamu di dalam mansion ini, bukan? Itu artinya dia memang mengkhawatirkanmu, Hanna." Leo menambahkan. Ia mengedik pada John yang sejak tadi berdiri diam di pojok ruang makan.
Hanna mengembuskan napas lesu setelah mendengar perkataan Leo. 'Kau tidak tahu, Leo. Felix menyuruh pengawal mengawasiku agar aku tidak melukai diriku sendiri. Dia tidak suka ada orang lain yang melukaiku, kecuali dia sendiri.' Hanna berteriak dalam hati. Ingin sekali ia mengatakannya pada Leo. Namun, apa daya, ia dilarang keras mengatakan hal-hal apa apa saja yang telah Felix perbuat padanya. Karena kalau sampai ia bicara macam-macam, maka nyawa ayahnya yang menjadi taruhan.
"Lagipula, aku mengunjungimu karena aku tidak punya teman makan. Aku kan masih single, jadi akan sangat menyebalkan kalau aku makan sendirian. Apa kata dunia kalau pria setampan aku makan sendirian, bukan?" Leo merengut kesal.
Hanna mau tak mau terkekeh pelan mendengar gerutuan Leo. Lucu sekali saat melihat pria seperti Leo merajuk bak anak Tk. Ekspresi Leo benar-benar sangat menggemaskan di matanya.
"Akhirnya kau tertawa juga." Leo tersenyum lega sambil memperhatikan Hanna lekat.
Hanna yang merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu, lantas menghentikan tawanya. Ia berdehem pelan, kemudian berkata, "Sudahlah, lebih baik kita lanjutkan saja makannya."
Bermenit-menit kemudian, mereka habiskan dengan makan dalam diam.
Setelah makan, Hanna menyuruh pelayan untuk membawakan mereka apel yang baru saja dibeli oleh pelayan. Ia berniat memakannya bersama Leo sebagai makanan penutup.
"Biar aku saja yang mengupasnya," ujar Leo saat pelayan hendak mengupaskannya untuk mereka.
"Tidak perlu, Tuan. Biar saya saja." Pelayan itu menolak secara halus. Leo berdecak.
"Sudah, biar aku saja yang mengupas apelnya. Kau kembali bekerja saja."
Pelayan itu akhirnya menuruti perkataan Leo dan kembali ke dapur. Leo tersenyum senang, kemudian mulai mengupas apelnya. Namun, ia tampak kesulitan, mungkin karena tidak biasa mengupas buah. Hanna tersenyum geli melihatnya.
"Sini biar aku saja," ujar Hanna. Tangannya terulur untuk meminta Leo memberikan apel dan pisau yang dipegang pria jangkung itu kepada dirinya. Leo menolak.
"Tidak usah, aku saja."
"Leo, sini aku saja."
"Tidak, aku saj-argh!"
"Leo!"
Leo berteriak kesakitan saat jarinya teriris. Ia refleks menjatuhkan pisau dan apel yang dipegangnya. Hanna terkejut mendengar teriakan itu. Ia langsung beringsut meraih jari Leo yang terluka dan menghisap darahnya. Leo membeku.
"Nyonya!"
John secepat kilat menarik tangan Hanna yang menggenggam jari Leo. Pria itu menatap Hanna khawatir. "Nyonya tidak boleh melakukannya," ujarnya.
Hanna menatap John kesal lalu menghempaskan tangan pria itu sedikit kasar. Kemudian beranjak ke wastafel dan meludahkan darah Leo di sana. Saat ia kembali, seorang pelayan sudah berada di sana membawa kotak P3K. Pelayan itu sedang membersihkan luka Leo dan mengobatinya.
"Kau baik-baik, saja?" Hanna bertanya setelah ia menghempaskan dirinya ke kursi. Ia menatap Leo khawatir.
Leo tersenyum menenangkan. "Aku tidak apa-apa, tenang saja."
"Sini kulihat." Hanna pelan-pelan menarik tangan Leo dan memeriksa luka di jarinya.
"Tidak terlalu dalam," gumamnya setelah beberapa detik.
"Ekhem!"
Suara dehaman yang cukup keras membuat Hanna yang masih menggenggam tangan Leo. Leo menoleh. Mereka dibuat terkejut oleh tatapan tajam dari sang pemilik suara. Terutama Hanna yang langsung melotot tak percaya.
"Fe-felix!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments