Hari ini bagaikan mimpi bagi Rea. Bagaimana tidak? Waktu pagi tadi, Rea mencium tangan Arfan. Malamnya, ia digendong, diperhatikan, dan saat ini dimasakin pula.
Entah lelaki itu memasak apa disana. Nampak ia serius mengaduk sesuatu pada sebuah panci teflon. Sudah sepuluh menit, tetapi belum juga selesai. Rea bad mood dibuatnya.
Rasa laparnya sampai hilang, saking lamanya makanan itu jadi. Jika saja ia tak memandang status lelaki itu, sudah pasti ia memilih kembali tidur dikamar.
Beberapa menit kemudian, senyum pun tersungging dari bibir Rea. Pria itu nampak menuangkan untaian mie diatas mangkok, tak lama ia menuangkan air panas kedalamnya.
"Sudah jadi ... silahkan dimakan." Arfan menyodorkan mangkuk putih cukup besar dengan asap yang mengepul keatas. Asap itu membawa harum yang cukup mengembalikan rasa lapar Rea.
"Terima kasih, ternyata kakak bisa masak juga ya?."
"Ya ... kalau mie instan doang aku bisa."
Rea mengangguk. "Ooo," jawabnya.
"Yaudah aku makan ya?" Gadis mini itu menarik mangkuk berisi mie kuah tersebut.
Seketika Rea menelan ludahnya saat melihat mie didalam mangkuk tersebut. "Astagfirullah robbal baroya, astagfirullah minal khotoya." Batinnya yang seketika bersenandung.
"Ayo dimakan, keburu dingin mienya!"
Arfan pura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu. Makanan ini tidak terlihat seperti mie melainkan cacing. Asal kalian tahu, perhelai mie itu sudah membengkak.
Astagfirullah, pria itu terlalu lama merebusnya!
"Oke ... a aku makan mienya."
Memaksakan senyumnya, gadis itu mulai memasukan mie kedalam mulutnya. Nyam ... emm ... bau amis!
Rea menduga, Arfan pasti memasukan mie terlebih daluhu baru telur. Makanya amisnya menyengat.
"Kenapa Rey?" Lelaki itu bertanya saat melihat Rea terdiam sesudah memasukan mie kedalam mulutnya.
Gadis itu tersenyum, padahal jauh didalam hatinya ia sudah sangat mual menikmati mie ini. "Tidak, mienya enak!" jawabnya.
"Benarkah?"
"Kau mau mencobanya?"
"Tidak! kau saja."
Mendengar jawaban suaminya itu, Rea mendatarkan bibirnya.
Rea kembali memasukan mie kedalam mulutnya. Huft ... Rea merasa seperti nenek-nenek saat ini. Pasalnya, saat mie itu dimasukan kedalam mulut seketika melebur saat tersenggol lidahnya, seperti bubur saja!
Arfan menatap Rea yang aneh menurutnya. Saat akan memasukan mie kedalam mulut, ia terlihat menelan salivanya. "Kalau memang sudah lapar kenapa tidak langsung dimasukin saja, malah dilihatin dulu." Lelaki itu membatin.
Rea menggeser mangkuk mie yang sudah kosong. Dengan cepat ia meminum air putih disebelahnya.
Huuft ... plong rasanya, abis mienya lembek-lembek gitu!
Tunggu, ada yang mengganjal disini. Kenapa Arfan menunggunya? Lelaki itu tampak memerhatikan Rea, dari makan sampai ia minum. Rea salah tingkah dibuatnya.
"Kenapa kakak tidak tidur?" Tanya Rea sembari meletakan gelas diatas meja.
"Emm ... sebenarnya, aku tidak bisa tidur." Jawabnya dengan menggaruk tengkuk, tak lupa dengan senyum kikuknya.
Rea terdiam, ia tidak tau harus berbicara apa. Sudah hampir tujuh tahun dirinya tidak berbicara seperti ini dengan Arfan. Ia menundukan wajahnya menatap kaki dibawah sana.
Melihat Rea terdiam, Arfan jadi bingung. Dengan ragu ia bertanya. "Kau juga tidak bisa tidur ya?" Wanita itu mengangguk.
Suasana kembali menghening. Tujuh tahun tak berhubungan dengan baik, membuatnya sedikit canggung untuk memulai pembicaraan.
"Rey ... sebenarnya kenapa kau bersikap baik pada kami? Emm maksudnya aku dan juga Nathan." Kalimat itu begitu saja terlontar dari mulut Arfan.
Rea bingung harus bagaimana. Kenyataannya ia melakukan ini karena memang mencintai Arfan. Dan untuk Nathan, ia hanya ingin bocah lelaki itu tidak bernasib sama dengannya yang mendapatkan ibu tiri yang pilih kasih.
Rea ingin jujur, tetapi akankah disambut respon baik oleh Arfan? Sepatutnya ia mencoba, berhasil atau tidak setidaknya ia sudah mencoba 'kan?
"Menurutmu, adakah orang yang melakukan sesuatu tanpa bersyarat? Aku melakukan ini karena sesuatu." Jawab Rea.
"Apa?" Lelaki itu merespon cepat kalimat Rea.
"Entahlah, biar waktu yang menjawab." Balasnya dengan senyum penuh teka-teki.
Arfan menghela nafas.
Kalimat tersirat Rea gagal total. Berbicara dengan pria yang tidak pekaan memang sulit. Entah sejak kapan pribadi Arfan berubah seperti ini.
Dahulu, sebelum kejadian penolakan Rea. Arfan salah satu pria yang humoris, romantis, dan supel. Tidak seperti saat ini yang dingin, tidak pekaan, dan juga labil. Belum lagi dengan kejutan saat ia solat, menyampaikan hadits, itu bukan Arfan yang Rea kenal. Sepertinya ada orang yang mencoba merubahnya, tapi siapa?
"Sudahlah, ayo! kau kembali ke kamarmu." Tukas Rea. Sejujurnya ia ingin mengajak Arfan kekamarnya, tetapi ia cukup tahu diri saat ini.
"Bagaimana dengan Nathan?" Tanyanya.
"Kalau kau tidak keberatan, maka tidurlah bersama kami. Namun jika keberatan, tak perlu fikirkan itu." Jawab Rea sarkasme.
Sebenarnya Rea ingin mengatakan "kalau kamu mau tidur bareng kami, yaudah aku juga seneng kok. Tapi kalau kamu gak mau, yaudah. Aku masih punya banyak cara untuk membohongi Nathan," nyatanya rasa takut mendapatkan respon buruk, lebih dominan dari rasa inginnya.
Arfan nampak menimbang, hatinya ingin bersama Rea dan juga Nathan. Namun ia malu, mana mungkin secepat ini. Dimana letak harga dirinya!
"Baiklah, aku akan kembali ke kamarku."
"Tunggu!" Wanita itu mencegah Arfan yang hendak pergi.
Hati Arfan berdegub, ia menduga-duga istrinya ini akan mengajaknya untuk tidur bersama. Fikirannya sudah disibukan dengan jawaban apa yang akan ia berikan jika Rea benar-benar mengatakan itu.
"Ada apa?" Arfan memutar tubuhnya menghadap Rea, suaranya terdengar tercekat.
"Em ... besok aku mau ketemuan sama Revina dan Faruk, boleh tidak?"
Jleb ... sungguh diluar dugaan. Ada beberapa butiran kekecewaan dihati Arfan. Hatinya yang berdegub kini berhenti seketika. Hatinya semakin kecewa saat nama Faruk disebut dalam kalimat Rea barusan. Pria itu menghela nafas.
"Terserahmu!" Jawabnya dengan jutek.
"Terserah itu bukan jawaban kak." Timpal Rea dengan segera.
Terlihat wajah pria itu mulai masam. Sudah kesekian lamanya, kini ia kembali menghela nafas.
"Ya sudah."
"Ya sudah apa? Aku butuh kepastian!"
Arfan menatap mata istrinya itu, ia sangat kesal sekali. Sebegitu inginnya 'kah ia menemui temannya itu?
"Iya, boleh Rea."
Rea nampak tersenyum manis. Entah mengapa Arfan sangat kesal saat melihat senyum manis itu. Karena ia merasa itu bukan untuknya.
"Terima kasih kak." Ucapnya, kemudian hendak meninggalkan Arfan.
Arfan lelah dengan perasaannya sendiri. Hati kecilnya meronta meminta Arfan untuk menurunkan ego dan melupakan masa lalu. Hati kecilnya memaksa Arfan untuk menyatakan perasaannya pada Rea saat ini juga.
Ada kekhawatiran yang ia rasakan. Ia takut Rea akan jatuh kepelukan Faruk jika ia tidak segera mengatakan perasaanya itu. Ayolah Fan turunkan egomu itu!
"Em ... Rea tunggu!"
Wanita itu berhenti dari langkahnya, terlihat ia memerkan senyumnya disana. Senyum manis yang sangat cocok untuk gadis bertubuh mungil itu.
Kaki Arfan melangkah menghampiri wanitanya itu. Hatinya berdegub, akankah ia bisa mengatakan hal ini? Apakah ini tidak terlalu cepat?
"Iya ada apa kak?" Senyum itu kembali terukir dibibir Rea, sungguh bidadari dunia.
"Tolong jangan pamerkan senyum mautmu itu, atau aku bisa khilaf!" Batin Arfan.
Kaki Arfan berhenti tepat dihadapan Rea. Sejenak ia menatap mata Rea. Hatinya berdegub. Hati kecilnya terus berdemo untuk segera menyatakan perasaan itu.
"Kak?"
"Em ... ma maaf."
Bersambung ...
Kira-kira babang Arfan nyatain gak ya?🙂🤔 baca lagi episodnya besok ya😗 xixixi
Salam manis dari Rani🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
kia
maaf baru mampir kak soalnya sibuk baca
2020-06-28
2
Afni 🍃
ho ho hooooo jadi penasaran kisah selanjutnya
2020-06-15
1
yuliashafira14
Aku mmpir lagi nih Thor, smngat ya..
2020-06-09
3