Hari ini subuh-subuh meleduk Rea sudah sibuk menyiapkan sarapan untuk Arfan. Kali ini dia tidak akan menunggu suaminya itu turun dari kamarnya, tetapi akan menyusulnya sendiri.
Dua lembar Roti tawar beserta segelas susu coklat panas diatas nampan ia bawa dengan hati-hati. Kakinya yang sempat lemas karena kecewa, kini kuat kembali setelah mendapatkan suport dari sahabat karibnya, Revina. Dengan kaki itu juga, kini Rea menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya.
Kakinya berhenti tepat didepan pintu kamar Arfan. Perlahan tapi pasti, Rea menelan salivanya saat memikirkan hal menyakitkan yang akan dikatakan Arfan padanya.
Namun hari ini hatinya sudah ia bekali dengan alat khusus anti nyeri-nyeri klub. Semalaman dirinya menyiapkan satu ruang khusus didalam hatinya, untuk menampung sumpah serapah Arfan.
Yang nantinya tidak akan tertampung terlalu lama, karena setelah diserap mana yang penting baginya untuk dicerna kemudian ia akan membuang sisanya yang tidak berguna.
"Alhamdulillah, syukur kalau Non Rea sudah disini," sahut Bi Tuti dari belakang Rea, spontan Rea menengok kearah belakang.
"Kenapa Bi?"
"Dari kemarin Mas Arfan itu minta bantuan Bibi buat masang dasi sama kancing pergelangan tangannya, Non," jawab Bi Tuti.
Tanpa bosan sedikit pun, Rea kembali menghela napasnya untuk kesekian kalinya.
"Ya sudah kalau gitu saya masuk dulu ya, Bi?" ucap Rea, sama sekali tidak ingin menanggapi lebih ucapan Bi Tuti.
Sebelum memutar handle, pintu kamar itu terbuka sendiri dan keluarlah seorang pria dengan tatapan datarnya. Melirik sekilas kearah Rea yang tengah memegang nampan, berisikan dua lembar roti tawar dan segelas coklat panas.
Hatinya ingin sekali menutup pintu kamar itu, tetapi diurungkan saat menyadari Bi Tuti sedang bersama mereka. Dengan senyum yang terpaksa, Arfan memamerkannya pada kedua wanita itu, seolah tidak terjadi sesuatu.
"Mas Arfan, Bibi undur diri, ya? Sudah ada Non Rea," kata Bi Tuti. Sekilas Arfan melirik Rea dan terpaksa tersenyum kemudian kembali memasuki kamarnya.
Rea yang melihat kesempatan besar ini segera masuk dan meletakan nampan yang ia bawa diatas nakas. Mata sipitnya melihat Arfan yang tengah kesusahan setengah mati memasang kancing pergelangan tangannya.
"Hufft ... sok bisa sih," gumam Rea dalam hati, kemudian menghampiri Arfan yang kesusahan memasang kancing pergelangan tangannya.
"Aku bisa sendiri," Cegah Arfan, lalu menangkis tangan Rea yang hendak membantunya.
Rea sedikit terkejut mendengar itu, bagaimana mungkin suaminya ini bisa melakukannya sendiri, padahal sudah jelas barusan Bi Tuti akan membantunya lagi.
"Dasar manusia angkuh," batin Rea, kemudian menepuk dahinya seolah ada nyamuk yang menghisap darahnya.
"Biar ku bantu," Tegas Rea, sembari membalikan tubuh suaminya yang membelakangi dirinya.
Lelah dengan pergulatan jemari dengan pergelangan tangannya, akhirnya Arfan menyerah dan menerima perlakuan Rea dengan terpaksa.
"Berikan itu," ucap Rea setelah selesai memasang kancing pergelangan tangan Arfan, kemudian menunjuk sehelai kain berwarna merah marun digenggaman Arfan.
Tak kunjung memberikan kain yang tak lain adalah sebuah dasi, Rea terpaksa mengambilnya dengan paksa kemudian mulai mencoba memasangnya. Nampak Arfan memutar bola matanya dengan jengah.
Dengan berjinjit, Rea mencoba memasang dasi pada kerah suaminya. Kadang jinjit, tak lama kembali berdiri biasa. Lama kelamaan dirinya merasa pegal karena terus seperti itu. Maklumlah, Rea memiliki kekurangan pada tinggi badannya.
Arfan yang melihat tingkah istrinya ini rasanya ingin tertawa lepas, namun ia tahan lagi karena memikirkan imagenya dihadapan wanita yang dirasa sangat ia benci ini.
Sejenak Rea menundukan wajahnya, malu karena sulit menggapai kerah suaminya. Tubuh pendek milik Rea ini, ia dapatkan dari ibunya yang memang berpostur persis dengannya, mini.
Lain hal dengan Amel yang tinggi semapai seperti ibunya, Vera. Dahulu Rea sering bertanya-tanya pasal postur tubuhnya yang sama sekali tidak sama dengan Vera mapun ayahnya yang tinggi, namun setelah peristiwa dua tahun lalu, akhirnya ia tahu juga yang sebenarnya.
Arfan sedikit bergeser kearah dipan dan memasukan kakinya kekolong dipan tersebut. Dan keluarlah sebuah benda, tetapi Rea tak tahu pasti apa nama benda tersebut, kalau dibilang kursi tetapi itu terlalu pendek.
Ah, tidak terlalu penting apa nama benda itu, yang penting adalah kegunaan benda itu.
Dengan tatapan sedikit rendah, Rea melihat Arfan membawa benda itu kehadapannya dan meletakan benda itu dibawah. Kemudian Rea mendangakan wajahnya menatap Arfan.
"Naik diatasnya," datar Arfan.
"Owh, jadi ini toh kegunaan benda itu," batin Rea. Rea tersenyum puas karena ini merupakan momen langka menurutnya.
Kini ia merasakan sesuatu dari sebuah kalimat yang pernah ia baca dulu. "Cinta itu bagaikan telolet, sederhana tapi bikin bahagia."
Setelah selesai memakaikan dasi suaminya, Rea segera turun dari benda kecil tapi berfaedah itu. Nampak Arfan sedikit merapihkan kemejanya dan memasang jasnya, kemudian bergegas pergi keluar.
"Tidak sarapan dulu?" tanya Rea, berusaha mencegah Arfan.
"Ini sudah siang," singkatnya, kemudian bergegas pergi tanpa memikirkan perasaan Rea disana.
"Ya sudahlah tidak masalah, yang penting bisa bantuin dia pakai dasi tadi, cihuy," ucap Rea dalam hati dengan mimik wajah yang mesem-mesem.
Sedangakan diluar sudah ada mobil hitam terparkir tepat dihalaman rumah Arfan. Saat Arfan mulai mendekati mobil itu, pintunya segera terbuka, Arfan pun segera masuk.
Hari ini Arfan tidak membawa mobil, karena takut mobilnya akan digunakan oleh Rea untuk kepentingan Nathan, jadi selama ia belum membeli mobil lagi, untuk sementara nebeng dulu, nebengan!
"loe gak sarapan dulu, ya?" Tanya teman sekaligus sekretaris Arfan yang bernama Adit.
Mudah saja bagi Adit mengetahui itu, karena menurut Adit, ini terlalu pagi untuk seseorang berangkat kerja yang biasa sarapan pagi.
"Enggak apa-apa, sudah yuk berangkat." Datar Arfan sembari menutup pintu mobil hitam itu.
Namun, saat pintu akan ditutup, tiba-tiba ada sebuah tangan yang menghalanginya. Kedua pria didalam mobil ini pun menatap wanita yang menahan pintu mobil tersebut.
"Kak bawa bekalnya ya? Kakak 'kan enggak sarapan tadi," polos Rea, sembari memegang sekotak bekal.
Adit sedikit menahan senyumnya dengan menutup bibir dengan telapak tangannya. "Kayak anak TK aja bawa bekal," batinnya.
Tak mau permasalahannya dengan Rea diketahui orang lain, Arfan segera keluar dari mobil dan menarik tangan Rea kearah belakang mobil.
"Kenapa kamu ngelakuin ini, hah?" ketus Arfan.
"Aku hanya menyiapkan makanan ini untukmu, apa salahnya?" Polos Rea.
"Apa salahnya? Sudah kubilang, jangan pernah mencoba menjadi wanita baik-baik dihadapanku, Rey?" Sentak Arfan namun dengan suara memelan.
Adit yang tidak tahu apa yang mereka bicarakan, hanya menatap heran dari kaca spion. Namun yang pasti, Adit dapat menyimpulkan tidak ada yang terjadi dengan baik-baik saja disini, jika dilihat dari anatomi tubuh Arfan.
"Maaf," Hanya itu yang terucap dibibir Rea.
Nampak Arfan ingin mengacak-ngacak rambutnya, namun diurungkan saat sadar waktu semakin siang, dan butuh waktu lama baginya untuk merapihkan rambutnya kembali.
Puas berdebat dengan Rea, Arfan bergegas meninggalkan Rea ditempatnya dan meminta Adit untuk menjalankan mobilnya.
Bersambuung ...
🌷🌷🌷
Salam hangatku untuk kalian semua😊.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
icequen_
hai kak Rani aku mampir nih feedback aku ya, aku udah lake dan kommen kaka di chat story'aku yang judulnya MISTERIUS WOMAN
2020-08-07
0
debora sihombing
mendarat 7 like and 10 vote. semangat
2020-07-10
4
kia
semangat kak
2020-06-28
3