Aku Perhatiin

5 tahun kemudian ...

Kehidupan terus berjalan, pernikahan yang tidak jelas akan pondasinya itu nyatanya masih bertahan sampai saat ini. Walau telah menjalani hidup seatap selama lima tahun, tak membuat ego pada diri Arfan luntur. Begitupun perasaan yang tidak pasti dihatinya itupun masih kukuh.

Semenjak kejadian malam itu, pembicaraan keduanya sangat minim. Hanya pertanyaan yang benar-benar pentinglah yang keluar dari lisan keduanya. Jawaban mereka pun singkat, hanya iya atau tidak.

Nathan kecil kini telah menjadi anak laki-laki yang tampan dan pintar. Kini ia telah besar, berpendidikan TK nol kecil.

Pagi itu ...

"Bunda kaos kaki Nathan dimana?" Teriak anak laki-laki itu dari lantai atas.

"Emang itu kaos kaki siapa? Kok kamu tanya Bunda?" Balas Rea dari lantai satu dengan berteriak juga.

"Bunda, *pleas*e ini sudah hampir siang?" Ucap Nathan khas anak kecil.

"Makanya kalau taruh barang jangan sembarangan Tan! Kamu ini setiap pagi ribut nyariin kaos kaki terus!" Lanjut sang Bunda, sembari mematikan kompor kemudian menghampiri Nathan.

"Mulai lagi nih!" Lirih Arfan, saat mendengar keributan diluar kamarnya.

Situasi inilah yang selalu menemani Arfan ditiap pagi beberapa bulan ini. Bukan sapaan manis yang ia nikmati, tetapi perang mulut antara ibu dan anak lelakinya itu. Pria yang masih berkumis tipis itu menghela nafasnya, kemudian menghampiri putranya yang masih sibuk mencari kaos kakinya dikamar Rea.

"Nathan, taruh dimana kemarin kaos kakinya?" Tanya sang bunda.

"Kalau Nathan tahu, Nathan gak akan tanya Bunda lah." Balas Nathan tak lupa menepuk dahinya.

"Nathaaan ... " Tegur lembut sang ayah, sifat Nathan yang seperti itu membuat Arfan sedikit geram.

"Sorry, Yah." Ucap Nathan dengan menarik kedua telinganya kebawah.

Rea terdiam melihat tingkah ayah dan anak itu. "Ini pakai, nanti sepulang sekolah langsung ditaruh ditempatnya!" Ucap Rea sembari menyerahkan kaos kaki Nathan.

"Thank you Bunda," ucap Nathan dengan senyum manis yang berlesung.

Setelah itu Rea kembali kedapur untuk melanjutkan aktifitasnya. Semakin Nathan tumbuh besar, semakin besar pula tanggung jawabnya dirumah itu.

Setiap pagi ia harus membangunkan putranya untuk mandi dan bersiap sekolah. Setelah mengurus Nathan ia pun harus membantu suaminya yang tidak bisa memasang dasi dan kancing pergelangan tangannya itu.

Pekerjaannya belum selesai sampai disitu, ia masih harus menyiapkan sarapan untuk Nathan dan Arfan. Begitulah keseharian sang mamah muda ini. Sudah menjadi alarm, pembantu suaminya, asisten rumah tangga pula. Gadis itu cukup lelah karena hampir setiap pagi ia melakukan rutinitas ini.

Dilantai satu ...

Nampak ia sedang menata tiga piring dan gelas diatas meja. Keringat sedikit membasahi dahinya, tak lama punggung tangannya ia gunakan untuk mengelap.

Selesai ... gadis itu menghela nafas, hatinya lega saat semua perkerjaan sudah rampung.

"Bunda mana roti Nathan?" Ucap anak laki-laki berusia lima tahun itu sembari duduk disebelah Ayahnya.

Rea meletakan roti diatas piring keduanya, tak lupa pula ia tuangkan susu coklat kedalam gelas untuk Arfan dan juga Nathan.

"Terima kasih Bunda," kata Nathan dengan kembali memamerkan senyum manis berlesung itu.

"Terima kasih," lirih Arfan namun bisa didengar Rea, gadis itu mengangguk kemudian ikut duduk untuk sarapan bersama.

"Ayah, Bunda? Kata Bu guru nanti kelas Nathan bakal camping loh!" Anak kecil itu berbicara dengan mulut yang penuh dengan roti.

"Sayang ... biasakan kalau lagi makan jangan bicara ya!" Nasihat sang ayah sembari mengelus lembut rambut putranya.

"Maaf, Yah." Kata Nathan sedikit merendah.

"Tidak apa, ayo cepat habiskan sarapannya." Ucap sang Ayah, ia selalu berusaha tegas dan juga lembut pada anaknya ini. Ia tidak ingin anaknya menjadi salah jalan saat ia salah memberikan penegasan terhadapnya.

"Bunda, Nathan sama Ayah berangkat dulu ya?" Ucap Nathan setelah mereka selesai sarapan. Tangan mungilnya menarik tangan Rea kemudian menciumnya.

"Iya, hati-hati, balajar yang benar disana ya?" Nasihat sang bunda.

"Beres Bunda!" Jawab Nathan dengan semangat mengangkat ibu jari tangannya.

Arfan menarik lembut tangan putranya itu untuk bergegas keluar rumah. Namun Nathan menarik balik tangan sang Ayah.

"Ada apa Tan?" Tanya sang Ayah.

"Ayah ... Bunda belum cium tangan Ayah." Cetus Nathan.

Arfan diam kemudian menatap Rea yang berdiri tepat dihadapannya. Rea yang ditatap hanya menunduk, benar-benar diluar dugaan. Tidak pernah dibayangkan Nathan bisa mengatakan hal itu.

Arfan mendekat kearah Rea yang masih menunduk. Tidak disangka, ia menyodorkan telapak tangan kanannya kehadapan istrinya itu. Rea mendangakkan wajahnya menatap Arfan. Suaminya itu melirik tangannya, ia mengisyarat pada Rea untuk mencium tangannya.

Rea bingung harus bagaimana, sedikit senang dan juga sedikit terkejut. Dengan terbata ia menerima uluran tangan suaminya itu, kemudian menciumnnya.

Serrr ... hatinya berdesir, ini pertama kalinya ia mencium tangan suaminya itu. Hatinya berbunga, tangannya serasa tak ingin melepas jabat tangan itu.

"Bunda jangan lama-lama, sudah siang." Cetus Nathan dengan polos.

Rea segera melepas jabat tangan itu, ia nampak salah tingkah, begitupun dengan Arfan. Nathan segera megenggam tangan Arfan. "Aasalamualaikum Bunda." Salam sang putra kemudian berlalu pergi bersama sang ayah.

"Waalaikumssalam," lirih Rea yang menatap kepergian Nathan dan Arfan.

🌷🌷🌷

Malam harinya ...

"Nathan, selesai minum susu langsung kerjain PR-nya ya?" Titah Rea, dengan mata yang fokus mengelap meja makan.

"Iya Bun," jawab Nathan kemudian menuju lantai atas. Wanita itu kembali membersihkan meja makan tersebut.

Tak lama, tiba-tiba Rea memegang perut bagian bawahnya, ia merasakan sesuatu didalam perutnya. Gadis itu sedikit merendah dan meringis kesakitan. Rasa sakit itu semakin menjadi, gadis mini itu seketika meluruh kelantai dengan meringkuk menahan sakit.

Sekuat tenaga ia menahan suara agar tak keluar dari mulutnya. Rea tidak ingin ada yang khawatir terhadapnya saat ini. Rasa nyeri ini sudah sering ia rasakan beberapa tahun terakhir. Namun ia belum berani untuk memeriksakan diri kedokter. Ia khawatir akan mendapat kabar buruk jika memeriksakannya kedokter.

Gadis itu masih merasakan nyeri yang teramat. Jemarinya dengan keras mencengkram kaki kursi dibelakangnya, karena menahan rasa sakit itu. Seketika keringat dingin bercucuran disekujur tubuhnya, dan tulangnya melemah. Rea terdiam, ia sudah pasrah dengan rasa sakit ini.

"Rey? Kau baik-baik saja." Arfan berjongkok desamping istrinya tersebut.

"Aku baik-baik saja kok." Sanggah Rea dengan memaksakan senyumnya.

"Muka kamu pucet loh, kamu sakit apa? Aku perhatiin akhir-akhir ini kamu sering megangin perut." Cetus Arfan sembari menatap lekat wajah istrinya tersebut.

Rasa sakit itu seketika hambar, saat Rea mendengar ucapan Arfan yang 'memperhatikannya akhir-akhir ini.' Gadis mini itu tersenyum manis ...

"Cuman sakit perut biasa kok, mungkin mau datang bulan." Sanggah Rea, sebisa mungkin ia harus tutupi semua ini.

"Owh, ya sudah," lirih Arfan kemudian berdiri dan mengambil segelas air putih dimeja. Sejujurnya ia ingin membantu Rea berdiri, tetapi ia masih ragu untuk melakukan itu.

Rea memegang kaki kursi dan berusaha bangkit dari ringkuknya dilantai. Tangan sebelahnya masih setia memegang perut bagian bawah. Setelah berdiri, gadis itu mulai melangkahkan kakinya. Namun ...

"Rea ..."

Bersambung ...

Terpopuler

Comments

Maurel Nurfaizza

Maurel Nurfaizza

haa maaf ya Thor aku gak pandai nulis hanya pandai baca tapi ini kelewatan udah 5thn masa Arfan gak tau apa sebab rea membatalkan pernikahan masa mama nya Arfan gak cerita Ama Arfan .bikin cerita yang jelas dong

2020-09-24

1

kia

kia

up lagi thorr

2020-06-28

2

ᴱᵛᵒˢɴᴏᴛɴᴏᴛ

ᴱᵛᵒˢɴᴏᴛɴᴏᴛ

aku udh mampir thor cerita bagus aku baca satu² dluh yh

2020-06-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!