Matahari mulai menampakan wajahnya kembali, menerangi langit dan memberikan kehidupan pada makhluk sekitarnya.
Masih dalam posisi yang sama. Rea meringkuk akibat dinginnya suhu ruangan. Perlahan tapi pasti, cahaya sang surya mulai memasuki ruangan bernuansa biru muda dan putih tersebut, mengantarkan kehangatan tersendiri bagi tubuh Rea.
Mulai mengerjapkan kelopak matanya, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam retina, Rea terbangun dari tidurnya.
Membenarkan posisinya untuk duduk, gadis itu menutupi mulutnya karena menguap. Terperangah ia saat melihat jam dinding menunjukan pukul 06:25, ini artinya ia kesiangan.
Melihat sekeliling ruangan, mencari suaminya, tidak ada. Gadis kusut khas bangun tidur itu menghampiri kamar mandi, bergegas membersihkan tubuhnya.
"Kau sudah bangun?" Tanya seorang wanita saat melihat Rea keluar dari kamar mandi.
Rea mengangguk dan menghampiri ibu mertuanya, memamerkan senyum manis, menutupi hati yang sendu.
"Ayo! Seluruh keluarga sudah menunggumu untuk sarapan," tangan lembut itu kembali menuntun Rea.
Sepanjang jalan menelusuri setiap ruangan, hati gadis itu tidak tenang.
Sebisa mungkin ia menutupi suasana hati yang sebenarnya. Rea menjawab dan membalas ucapan mertuanya dengan senyum penuh tenang.
Hingga tiba saatnya pertahanan itu akan hancur, sepasang mertua dan manantu itu telah sampai disebuah meja lebar penuh dengan hidangan lezat.
Semua yang duduk mengalihkan pandangannya pada Rea. Tak terkecuali Arfan, namun tak lama ia memalingkan wajahnya.
"Rey, duduk disebelah Arfan ya, Anang kamu pindah." Perintah Yati pada anak tertuanya, tak mau cari keributan dipagi buta, kakak kandung Arfan itu segera berpindah tempat.
"Duh pengantin baru, kesiangan nih." Ledek Suci, ipar Rea. Istri dari Andre, kakak kedua Arfan.
Dua jari mendarat tepat dipaha Suci, ia menggerang kesakitan, semua terkejut mendengar Suci menjerit. Melihat kearah suaminya, ia mendengus kesal.
"Berani kamu cubit aku, tidur diluar nanti malem." Bisik Suci pada suaminya, yang hanya dibalas gelengan dengan mata berbinar seolah berkata.
"Tidak jangan, maafkan aku". Ia mengabaikan mata binar itu lalu tersenyum kikuk pada anggota keluarga yang memperhatikannya.
Suci bisa dikatakan menantu yang paling dekat dengan Yati, sifat ghibah pada seorang wanita memang sangat melekat pada dirinya. Suci mengetahui semua kejadian dua tahun lalu, maka dari itu tidak ada sifat benci dalam dirinya untuk Rea.
Semua menggelengkan kepala melihat tingkah Suci yang kadang aneh. Semua anggota keluarga mulai menuangkan nasi dan lauk dipiring mereka, lantaran orang yang mereka tunggu sudah datang.
"Berhenti!" Cegah Yati yang melihat Arfan sedang mengambil sesauk nasi.
Semua mata mengarah padanya, Suci yang sedang mengambil ikan untuk suaminya menjadi diam.
Begitupun dengan Anang yang tengah minum air putih, jemarinya masih memegang gelas berisikan air putih yang menempel dibibirnya. Berhenti meneguk air, kedua bola matanya melirik ibunya, tak sedikitpun ia bergerak.
"Arfan ... biarkan Rea membantumu, sayang cepat bantu suamimu." Perintah Yati pada Rea.
Memutar bola matanya dengan jengah, sungguh pagi ini cobaan yang cukup berat untuk Arfan.
Duduk disebelahnya saja sudah membuat Arfan kesal dan tidak betah, dan apa ini? Wanita munafik itu akan membantunya!
Ingin rasanya Arfan pergi meninggalkan seluruh keluargnya dimeja makan itu.
Sejenak ia menatap wajah suaminya yang mulai kusut, ia tahu persis apa yang suaminya pikirkan. Ingin menolak sebab tahu suaminya tidak menyukainya, tetapi ini perintah langsung dari ibu mertuanya, ia pun tidak dapat menolaknya.
Mengalihkan pandangannya menuju mertua, Rea menatap seolah meminta mertuanya untuk menarik keinginannya tersebut, namun hanya ada anggukan sebagai jawaban "iya lakukan, cepat!" Dari mertunya. Dengan berat, tangannya mulai mengambilkan nasi untuk suaminya.
"Sudah ini saja, aku sudah cukup kenyang pagi ini." Cegah Arfan, saat melihat istri barunya hendak mengambilkan sesauk nasi yang kedua. Gadis itu meletakan kembali nasi yang telah ia ambil.
"Masih pagi sudah main drama saja," lirih Raida, istri Anang. Kakak ipar yang satu ini memang tidak terlalu menyukai Rea.
Terbiasa untuk tidak bicara saat makan sudah menjadi norma tersendiri dalam keluarga Rahardian. Hanya bunyi sendok yang bertabrakan dengan piring sebagai pemecah sunyi pagi itu.
"Mah? Arfan minta izin untuk pulang siang ini kerumah. Sepertinya kami tidak bisa berlama-lama tinggal bersama Mamah." Ucap Arfan, seusai mengelap bibirnya dengan tisu.
"Kenapa?" Tanya Yati.
"Duh mamah kayak gak tau aja pengantin baru," bisik jahil Suci pada mertuanya.
"Owhh ... " Yati mengangguk berlagak polos mengerti akan ucapan menantunya.
"Yasudah jika itu keputusanmu," lanjut Yati.
Rea sama sekali tidak menyiapkan strategi apapun untuk pernikahannya saat ini, maka tiada pilihan lain baginya selain diam dan mengikuti alur.
"Rey? Kenapa wajahmu pucat, dan tubuhmu juga berkeringat dingin." Telapak tangan Yati berpindah dari lengan menuju Dahi Rea, mengecek suhu tubuhnya.
Sekilas Rea teringat akan dirinya yang kedinginan semalaman tanpa selimut, ia tepiskan ingatannya itu. Jangan sampai mertuanya tau apa yang terjadi semalam.
"Emmm enggak kok mah, mungkin aku kelelahan," keduanya masih berjalan menuju pintu rumah.
"Beneran? Kalo gitu pindahannya ditunda aja ya? Siapa yang jagain Nathan kalau kamu kelelahan kayak gini?" Hanya sebatas alasan, sebenarnya Yati masih menginginkan Rea tinggal bersamanya.
"Eng ... ngak mah, Rea baik-baik aja kok, nanti istirahat sebentar pasti sudah mendingan kok Mah." Menyempurnakan kebohongannya, gadis itu tersenyum hambar.
"Serius?" Rea mengangguk dan kembali tersenyum. Meyakinkan mertuanya karena ia tak mau menentang Arfan. Lagi pula ia tahu pasti latar belakang keputusan suaminya untuk segera pindah tersebut.
Sampailah keduanya didepan pintu rumah, nampak seluruh anggota keluarga sudah menunggu untuk melepas kepergian pengantin baru ini.
"Mamah akan ikut mengantar kalian sampai rumah. Enggak tega rasanya, ngeliat Rea yang pucat kayak gini kalau harus gendong Nathan." Pria yang tengah menggendong putranya itu segera mengalihkan pandangannya pada Rea.
"He'em," Arfan mengangguk setuju setelah sekilas menatap Rea. Tanpa ia sadari ternyata masih ada rasa kemanusiaan dihatinya untuk Rea.
Merangkul Suci dan Raida secara bergantian dengan ala cepaka-cepiki, Rea mencoba bersikap ramah pada mereka yang kurang menyukainya.
Rea berpamitan dan mengucapkan salam perpisahan pada iparnya tersebut, tak lama mobil Arfan segera melaju meninggalkan kediaman Rahardian.
Tiada bergerak sedikitpun bibir Arfan untuk mengucapkan sepenggal kata didalam mobilnya, sesekali retinanya melirik kaca sepion didalam itu.
Terpantul bayangan seorang wanita tengah mengajak ngobrol bayi dengan telaten, walau ia tahu bayi itu tak akan membalas ucapannya sepenggal pun.
Memalingkan retina lantaran sang ibu memergokinya tengah melirik Rea, sedikit getaran ia rasakan dihatinya, entah apa itu ia tak tahu pasti, yang author tahu itu satu persen kebencian dihati Arfan mulai meluruh.
Rumah berlantai dua bergaya modern klasik itu sudah mulai nampak, catnya yang berwarna putih tulang menambah kesan gagah pada rumah Arfan tersebut.
"**Tetaplah bersikap normal!
Pada mereka yang berbuat baik ataupun buruk pada kita.
Karena kita tidak pernah tahu kapan yang baik akan jadi musuh dan yang musuh akan menjadi teman."
@ranimutiara31
Bersambung**...
🌷🌷🌷
-Mohon maaf kalau guyonannya garing ya😂 soalnya aku gk bisa bercanda😂.
Jangan lupa like comen votenya ya😊.
kalau ada yang mw promot monggo tpi jangan lupa like ceritaku😅 oke terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Bibit Iriati
sertiap akhir epusode...
kata 2 yg sangat bijak
akyu syuka Thor🥰
2021-01-07
0
Ariati
aku suka ceritanyaaaa... semangat terus thor
2020-07-05
1
JK
semangat up kk
2020-06-28
1