Masa Lalu Yang Terus Mencuat

Rumah berlantai dua bergaya modern klasik itu sudah mulai nampak, catnya yang berwarna putih tulang menambah kesan gagah tersendiri pada rumah Arfan tersebut.

Seketika bayangan masa lalunya bersama Arfan kembali mencuat, memenuhi ruang otak Rea. Hal yang ia takuti selama ini sedang ia hadapi, tidak ada pilihan bagi Rea selain menghadapi ini. Lantaran ingin berlaripun ia tak bisa, karena ibarat nasi sudah menjadi bubur.

Membuka pintu mobil dengan sebelah tangannya, lantaran sebelah tangannya menggendong Nathan kecil. Berucap dengan lirih kalimat basmalah berharap pada Tuhan semesta alam supaya melancarkan segala urusannya.

Setelah dua tahun melewati masa suram, kini ia kembali menapakkan alas kakinya dirumah impiannya bersama Arfan tersebut.

"Rea? Sini, biar mamah yang gendong Nathan. Kamu bantuin Arfan untuk beres beres." Tanpa mendengar jawaban, tangan keriput itu segera mengambil alih gendongan cucunya.

Dengan perasaan berat dan canggung Rea menghampiri suaminya, mencoba membantu memindahkan koper mereka kedalam rumah. Tanpa komentar pedas, Arfan segera memberikan kopernya untuk Rea bawa kedalam rumah.

"Biar saya saja yang membawa kopernya, non Rea!" Seorang wanita paruh baya menghampiri Rea.

"Bi Tuti ..." Ucap Rea antusias. Meninggalkan kopernya menuju Bi Tuti, yang tak lain pembantu dirumah itu.

Berpelukan dengan ala-ala tante arisan yang cepaka-cepiki. Sudah lama Rea mengenal Bi Tuti lantaran dua tahun lalu Rea sering berkunjung kerumah ini.

Berbicara ringan, mengingat-ngingat kenangan indah yang pernah mereka lalui dirumah besar itu, lagi-lagi bayangan masa lalu itu mencuat memenuhi ruang otak Rea.

Menghela nafas dengan berat, Rea berpamitan pada bi Tuti dan kembali fokus membawa koper kesebuah ruangan yang tak lain adalah kamar Arfan.

Kakinya mulai memasuki kamar yang akan ia tempati, terhenti seketika semua kenangan indah yang sedari tadi menghantui fikiran Rea, saat melihat sebuah figura besar berlukiskan Arfan dan Amel.

Sesak ...

Seakan oksigen tak dapat ia hirup lagi, Rea segera menepiskan penyesalan akan keputusannya dua tahun lalu.

Sedangkan dilantai bawah, Yati masih menggendong Nathan sembari mengajaknya bicara dengan ala-ala bocah. Tiba-tiba terdengar suara seperti letupan kecil. Tak lama, indra penciuman Yati menghirup sesuatu yang ... eem entahlah, yang jelas itu bau.

Dilihat lengan kirinya sudah basah dan bajunya sedikit berwarna kuning, kini Yati sadar bahwa cucunya tengah poop. Menggelengkan kepalanya, Yati memandang cucunya yang sedikit tersenyum seakan mengerti perasaan hati neneknya saat itu.

"Masih kecil suara metabolismemu udah besar saja, ya?" Menepuk dahinya seakan ada nyamuk yang hinggap, sembari tersenyum mengingat suara letupan itu.

Tanpa berfikir lama, Yati segera menuju kamar putranya untuk mengganti popok Nathan.

"Arfan?" Yang punya nama menengok keasal suara.

"Ada apa mah?"

"Nathan poop, dimana Rea?" Arfan gelapan, tak bisa menjawab pertanyaan ibunya.

"Aku disini mah." Sahut Rea yang berdiri ditengah pintu. Arfan menghela nafasnya dengan lega saat mendengar sahutan itu.

"Kamu dari mana Rey?"

"Dari dapur mah, oiya nanti jangan pulang dulu ya mah? Rea mau beli makanan, soalnya didapur kosong." Ucap Rea dan mengambil alih Nathan dari gendongan neneknya.

Itu benar, pasalnya rumah mewah tersebut sudah lama tidak ditempati setelah kepergian Amel. Bi Tuti selalu pulang diwaktu sore, karena ia hanya membantu membersihkan rumah saja, selebihnya dikerjakan oleh tuan rumahnya, seperti memasak.

Mengendus lengannya yang basah dan berwarna kuning itu, Yati mengeluarkan lidahnya dengan ekspresi mual. Rea hanya terkekeh pelan melihat salah satu tingkah konyol mertuanya.

Selesai mengurus Nathan dan membereskan pakainnya, Rea segera pamit untuk membeli makan siang.

Setelah lima belas menit mengarungi jalan aspal, kini Rea sampai disebuah Rumah makan. Rea segera masuk dan memesan makanan untuk ia dan keluarga kecilnya dirumah.

Rumah makan ini salah satu kedai favorit Rea, pasalnya harga makanan disini terbilang murah dan juga enak, maklumlah orang indonesia asli kan memang seprti itu, mau murah tapi yang enak hehe!

Sejujurnya bukan karena mencari yang murah dan enak, tetapi memang inilah salah satu sifat keluarga Kusuma dan Rarhardian yang tidak hanya melihat dan memilih yang segala elit, tetapi juga yang sederhana mereka pilih.

Segera memberi uang dan mengambil bungkusan makanannya, Rea bergegas pergi meninggalkan kedai makanan itu, lantaran cacing didalam perutnya tengah dandutan. Langkahnya tergesa-gesa dan tak menyadari orang yang berada didepannya.

Magebuuk...

"Ucing mbe endogan, eis... Astagfirullah," latah orang yang baru saja Rea tabrak.

Plastik makanan Rea jatuh, tetapi untung saja sayur yang ia beli tak tumpah. Ia pun segera berjongkok, guna mengambil makanannya.

"Maaf mba, apa makananmu tumpah?" Mendengar suara yang tidak asing, Rea mendangakan wajahnya menghadap asal suara, raut wajahnya seketika berubah saat melihat orang yang baru saja ia tabrak.

Bersambung...

🌷🌷🌷

Das ist genug, Danke schön🤗

Terpopuler

Comments

Bibit Iriati

Bibit Iriati

siapa di??

2021-01-07

0

Dhiana Francisska

Dhiana Francisska

ceritanya bagus thor

kalau ada waktu mampir juga ya kekaryaku☺ 'warna warni pelangi'

2020-07-06

4

noT🎵🎭🎼

noT🎵🎭🎼

he he

2020-07-02

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!