Bian menghela nafas lalu menutup layar ponselnya, saat layar kotak tersebut menampilkan Una yang masuk ke kamar mandi.
'Astaga, apa yang ku lakukan?' Merutuki dirinya sendiri yang akhir-akhir ini pikirannya selalu bercabang karena wanita cantik itu.
'Dosa tidak ya?' Bian memutar-mutar ponselnya. Bergelut dengan pikirannya sendiri.
Ting... Satu pesan mengagetkannya. Ia pun membaca pesan masuk tersebut.
'Astaga, belum apa-apa sudah ketahuan.' Bian tersenyum tipis sambil mengusap wajahnya. Malu juga.
Tak lama di sebuah mini market, Una sedang mendorong trolinya menyusuri area mini market.
'Awas saja, aku akan membuat perhitungan denganmu!!!' Batin Una kesal sambil memasukkan barang kebutuhan ke troli. Ia kesal dengan perbuatan Bian.
"Kak Una!" Panggil seseorang yang membuat Una pun menoleh.
"Hah benar, ternyata kak Una!" Ucapnya lagi dengan riang. Akhirnya bertemu dengan kakak cantiknya.
Una menatap remaja pria yang tersenyum dengan sumringah. "Kamu siapa ya?"
Senyum bak sedang iklan pasta gigi itu mendadak kecut. Kakak cantik itu tidak mengenalnya. Adit dilupakan begitu saja.
"Adit, kak. Yang beberapa hari lalu kak traktir." ia berusaha mengingatkan wanita cantik itu.
Una masih diam dan berpikir sejenak. Dan mengangguk saat mengingatnya. "Oh kamu."
"Hari ini, Adit akan traktir kak Una. Sebagai bentuk balasan terima kasih." ucap Adit.
"Tidak apa kok, Dit. Jangan sungkan!"
"Benar, kak Una tidak boleh sungkan!" Potong Adit cepat sebelum Una menolak niat baiknya. Ia tidak boleh melewatkan kesempatan ini. Sudah beberapa hari ia menunggu di tempat ini berharap bertemu dengan Una.
Tak lama, Adit membawa Una ke sebuah kafe yang tidak jauh dari mini market. Ia memesan banyak makanan.
"Kenapa kamu pesan sebanyak ini?" tanya Una.
"Tidak apa. Kak Una makan saja!"
"Mana mungkin sebanyak ini bisa habis."
"Kalau tidak habis kita bungkus saja." tawar Adit.
Karena sudah dipesan, mau tidak mau Una pun melahap makanan itu.
"Kamu masih sekolah, Dit?" Tanya Una melihat Adit masih berseragam SMA.
"I-iya, kak." jawab Adit jadi gugup.
"Kelas berapa?"
"Kelas 3, kak."
"Oh." Una pun mengangguk.
"Tapi sebentar lagi aku akan tamat SMA kok, kak!" jawab Adit. Ia tidak mau dianggap Una masih kecil.
Mereka pun kini saling mengobrol ringan. Mata Adit melihat jari manis Una yang terpasang sebuah cincin.
"Kak Una, sudah menikah ya?" Tanyanya dengan serius. Dari pada penasaran, mending tanyakan langsung pada orangnya.
Una tersenyum. "Iya, Dit." Ia sebenarnya juga bingung, apa pernikahannya bisa dikatakan menikah pada umumnya.
"Kak Una, sudah menikah?" tanya Adit tidak yakin menatap wajah Una dengan serius.
Una mengangguk, membuat dunia Adit mendadak terasa gelap gulita. Hujan turun dengan derasnya disertai badai dan petir yang saling bersahutan.
'Patah hatiku.' Batin Adit meronta. Kak Una sudah menikah, apa ia tidak memiliki kesempatan lagi?
"Kak Una masih mau berteman dengan Adit kan?" tanyanya dengan wajah serius. Ia belum yakin dan masih berharap juga.
"Berteman?"
"Iya, berteman. Kak Una sangat baik hati, jadi aku mau berteman dengan kakak. Boleh, kan?" Ucap Adit dengan wajah berharap.
Una pun mengangguk pelan. Ia tersenyum melihat remaja pria itu yang sangat lucu.
Ponsel Una bergetar, wanita itu pun melihat siapa yang meneleponnya. Ia pun langsung menolaknya.
Tak lama nomor itu kembali meneleponnya.
'Dasar!!!' Una yang kesal langsung menonaktifkan ponselnya.
"Kenapa dinonaktifkan kak?" tanya Adit.
"Tidak apa." Jawab Una cepat.
Sementara di apartemen, Bian mendengus kesal. Una menolak panggilannya bahkan menonaktifkan ponselnya.
"Wan, di mana Una?" tanyanya saat menghubungi Wan. Pria itu memegang CCTV kecil yang ada di meja sofa.
"Tuan, Nona Una sedang bersama remaja pria berseragam SMA di sebuah kafe." ucap Wan memberitahu informasi yang didapatnya dari bodyguard yang mengawasi.
Bian jadi memutuskan panggilannya. Dan berpikir sejenak, siapa remaja pria berseragam SMA yang ditemui Una?
'Apa ia berselingkuh? Atau apa dia mau menjadi sugar mommy?'
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Cekrek... Suara pintu.
Mata Bian menoleh ke asal suara, terlihat Una baru masuk dengan membawa beberapa bungkusan.
"Dari mana kamu?" tanya Bian dengan wajah datar.
Una menunjukkan bungkusan yang dibawanya. Wanita itu cemberut sambil memasukkan isi belanjaannya ke lemari es.
"Tuan!" Ucap Una melangkah menuju Bian yang duduk di sofa.
"Berapa banyak yang sudah anda lihat?" tanya Una dengan nada sedikit tinggi, wajahnya bahkan sudah memerah. Bian pasti sudah melihat semuanya.
"Li-lihat apa?" tanya Bian seolah tidak mengerti apa maksud wanita itu.
"Kenapa anda meletakkan kamera di kamar mandi?" tanya Una dengan tatapan bak laser.
"I-itu-" Bian tampak kikuk untuk menjawab. "Itu, aku hanya berjaga-jaga. Setiap sudut ruangan ini memang terpasang CCTV." Bian pun memberi tahu.
Una melihat sekeliling. Benar, CCTV berada di setiap sudut ruangan.
"Tapi walaupun begitu, anda tidak boleh meletakkan di kamar mandi juga? apa anda juga meletakkan di kamar tidur?"
Una langsung bergegas menuju kamar tidur. Melihat sekitar tapi tidak menemukan CCTV itu. Wanita itu pun melihat setiap selipan di dinding. Ia ingat CCTV yang ditemukannya di kamar mandi berbeda dengan CCTV di ruang tamu. CCTV di kamar mandi seperti CCTV tersembunyi.
"Tuan, di mana anda meletakkannya?" tanya Una dengan kesal.
"Tidak ada." geleng Bian.
"Tuan!" Una menunjukkan wajah seramnya dan membuat Bian jadi harus memberitahu.
"Astaga, Tuan! Apa saja yang sudah anda lihat? anda benar-benar pria mesum yang kurang ajar!" Una memukuli tubuh Bian, saat pria itu menunjukkan CCTV kecil terpasang di samping foto.
"Aku belum lihat apa-apa kok!" Jujur Bian, kalau ia baru meletakkan CCTV di kamar mandi.
"Belum?" Una yang kesal mendengar ucapan Bian, kembali memukuli pria itu.
"Tuan, ayo kita bercerai!" Ucap Una, ia tidak mau berhubungan dengan pria penguntit ini.
"Apa?" Bian menatap Una serius. "Aku bisa mengembalikanmu ke Club malam itu!"
"Silahkan kembalikan saja aku ke sana!" Ucap Una yakin. Ia sudah mentransfer uang yang Bian berikan ke rekeningnya. Nanti Uang tersebut yang akan dipakainya untuk membayar hutang pada Mami Lisa. Dengan begitu ia akan bebas.
Bian menatap curiga wanita itu. Biasanya Una akan menurut jika diancam seperti itu. Ada yang aneh?
"Apa kamu punya pria lain?" tanya Bian mengingat tadi Una bertemu pria berseragam SMA.
"Mau punya atau tidak punya, itu urusan saya, Tuan!" jawab Una tidak peduli.
"Istirahatlah, besok kita akan ke rumahku." Bian mengalihkan topik. Ia tidak mau berdebat lagi.
"Tuan, aku tidak mau melanjutkan perjanjian ini lagi!"
"Tidurlah, besok akan ku perintahkan Wan melepaskan semua CCTV di apartemen ini!" Ucap Bian. Ia akan melakukannya.
"Aku sudah bilang, aku tidak mau melanjutkan perjanjian ini, Tuan!" Ulang Una lagi.
"Aku bisa memblokir kartu atm-mu yang tidak seberapa itu. Jika kamu mau memakai itu untuk lepas dariku!" Ancam Bian kemudian. Ia menebak itu.
Una terdiam dan langsung beranjak ke kamarnya. Ia melupakan satu hal, Bian bisa melakukan semuanya. Bahkan Bian seperti tahu apa yang sudah direncanakannya.
Ting... Una membuka pesan yang masuk ke ponselnya. Ia pun menjedutkan pelan kepalanya ke dinding setelah membaca pesan tersebut. Bian mengirimkan bukti transaksi transfer sejumlah uang dari atm yang diberikannya, ke atm atas nama Ziva. ATM yang diberikan Ziva saat itu pada Una.
'Kenapa ia bisa tahu sih???'
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments