Ziva tampak celingak-celinguk melihat ke arah orang-orang yang memasuki terminal. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 malam. Setengah jam lagi bus akan segera berangkat, tapi Una belum juga tiba.
'Di mana kau, Una?' Ziva hanya dapat meyakinkan hatinya jika Una baik-baik saja dan dalam perjalanan ke terminal bus. Berharap rencana mereka untuk kabur tidak terhalang.
Ziva memegang ponselnya. Ia sangat bingung sekarang. Mau menelpon Una, tapi temannya itu tidak punya ponsel. Mau menelpon bu Ita, akan lebih bahaya. Pasti akan ketahuan jika mereka berencana kabur.
"Halo pak Bos, apa Una sudah pulang?" Ziva memilih menelepon pemilik Swalayan saja.
"Hari ini Una tidak masuk. Tadi saya telepon bu Ita katanya Una ada urusan penting."
"Oh gitu, ya sudah Pak. Terima kasih."
Ziva terduduk lemas di kursi Bus. Ia menepuk kursi di sampingnya. Itu kursi untuk Una nanti. Mendengar alasan bu Ita, bisa diprediksi Una tidak akan pergi dengannya.
Kesedihan mulai menghinggapinya. Tapi ia teringat bahwa Una mengatakan apapun yang terjadi harus tetap menunggunya. Ziva pun bangkit menuju supir.
"Pak supir."
"Ya, tolong segera duduk. Bus akan segera berangkat." ucap pak supir karena hari sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Pak, teman saya masih dalam perjalanan. Saya minta tolong, tunggu teman saya sebentar lagi." Ziva memelas pada pak supir. Ia meyakini Una pasti akan segera datang.
Melihat wajah Ziva yang memelas seperti itu, pak Supir jadi tidak tega. Ia pun akhirnya menurut.
"Pak, kenapa belum jalan?"
"Apa yang mau ditunggu?"
"Ini sudah jam berapa?"
Para penumpang lain mulai gelisah, bus tidak kunjung berangkat. Sudah 10 menit waktu berlalu dari jadwal keberangkatan.
"Kita harus segera berangkat@" Ucap pak Supir yang sudah memberi kelonggaran waktu.
Ziva mengangguk. Ia yang berada di depan pintu bus, perlahan masuk. Pikirannya tidak tenang memikirkan Una. Bagaimana nasib temannya itu sekarang.
Bus pun perlahan bergerak. Mulai melaju pelan keluar dari terminal. Saat bus akan berbelok arah, Ziva melihat wanita yang baru turun dari taksi. Berlari masuk ke dalam Stasiun.
"Pak supir-pak supir, tolong berhenti! Itu teman saya baru sampai!" Ucap Ziva menghampiri supir Bus dan menunjuk-nunjuk keluar Bus.
"Pak, tolong berhenti!" Ziva sampai memohon hingga air matanya jatuh.
Pak supir akhirnya memberhentikan bus. Para penumpang lain pada protes tidak terima padanya.
"Pak, tolong tunggu saya sebentar ya" Ucap Ziva. Supir pun mengangguk.
"Ayo, pak jalan. Ngapain ditunggu lagi."
"Iya buang-buang waktu saja."
"Mau berapa lama menunggu?"
"Seharusnya kita sudah setengah jalan."
"Mau ke mana, pak?" tanya salah satu penumpang melihat Pak supir turun.
"Aku mau beli minum. Kalau aku mau membeli minum membuang-buang waktu kalian. Kalian kemudikan saja bus nya sendiri!" Pak Supir pun turun dari bus.
Para penumpang jadi terdiam. Saat seperti ini, rajanya adalah pak supir.
Ziva berlari menuju terminal. Air matanya kembali berjatuhan melihat Una yang menangis frustasi memukuli dadanya. Sungguh kasihan sekali temannya ini.
"Una." Ziva menepuk Bahu Una.
Wanita itu mengusap air matanya. "Ziva, kau masih menungguku?" wajah Una langsung mewek, air matanya makin tumpah.
"Ayo, kita segera pergi!" Ziva menarik tangan Una. "Nanti kita ketinggalan bus!"
Yang dilakukan sekarang adalah harus segera pergi dari tempat ini. Mendengar cerita Una, urusan belakangan. Mereka pun setengah berlari keluar terminal. Ziva bernafas lega, bus masih menunggu di pinggir jalan.
"Terima kasih, Pak." Ucap Ziva pada pak supir yang masih mau bersabar menunggu. Una juga ikut berterima kasih karena telah menunggunya.
"Cepat masuk. Saya tidak akan menunggu lagi." ucap pak Supir.
Ziva dan Una mengangguk. Ia dan Una pun masuk ke bus. Para penumpang lain melihat mereka dengan sedikit sinis. Apalagi pada wanita yang memakai pakaian seksi dan bertelanjang kaki.
"Va, kita bakal bebas kan?" tanya Una memastikan kembali.
"Pasti. Sudah kamu tidur dulu. Walau aku sangat penasaran apa yang terjadi padamu, besok saja kau ceritakan semua padaku. Setelah kita sampai di sana!"
Ziva sangat bernafas lega. Ia bisa pergi dengan Una. Jika tidak, ia pasti pergi dengan perasaan yang tidak tenang.
"Terima kasih ya, Va." Una segera memeluk sahabatnya itu. Ia menangis menumpahkan segala sesak di hatinya.
"Sudahlah, Na. Semua akan baik-baik saja." Ziva menepuk-nepuk pundak Una. Menenangkan wanita itu.
Ziva mengeluarkan sarung dari tasnya dan memberikan pada Una. Temannya pasti kedinginan berpakaian seperti itu. Nanti jika bus berhenti untuk istirahat, Una harus segera berganti pakaian.
Una tertidur di kursi dengan tangannya yang memegang lengan Ziva. Sangat kuat, sangking takutnya Ziva akan meninggalkannya.
Sementara di tempat lain. Bian meremas tangannya dengan geram. Ia tidak menyangka, ditinggal sebentar ke kamar mandi untuk menuntaskan sesuatu dan wanita malam itu sudah berani kabur. Bahkan mencuri uang dan juga jasnya. Padahal jelas-jelas ia sudah membayar wanita malam itu.
'Dasar pencuri!!!'
"Wan, Perintahkan segera bawa wanita itu ke Apartemenku besok. Jika tidak, hancurkan Club malam itu!!!"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Esok harinya Bian kembali ke rumah orang tuanya setelah ia terbang selama 1 jam.
"Pulanglah, Wan. Hubungi saya jika mereka telah membawanya ke apartemen." Pinta Bian dengan tatapan datar.
Masih ada rasa kesalnya pada wanita malam itu. Apalagi saat ia keluar hotel, ekpresi pegawai hotel seolah menertawakan dirinya. Mereka pasti tahu ia ditinggalkan wanita malam itu.
"Baik, Tuan." Wan mengangguk patuh.
Bian pun turun dari mobil.
"Aku pulang." Ucap pria itu saat memasuki rumah.
"BIAN!" Suara cempreng menggelegar seperti berada dalam konser. Suara siapa lagi kalau bukan sang mama yang jadi tersangkanya.
"Apa yang kamu lakukan? siapa perempuan itu? kamu tidak kasihan melihat Luna?" wanita paruh baya menjewer telinga anaknya.
"Ibu Suri tolong lepaskan jeweran anda!" Ucap Bian. Mendengar itu Mama makin menjewernya.
"Aduh, Ma. Sakit, Ma! Sama anak nyiksa saja tahunya mama ini!" Bian memegangi telinga yang sudah memerah.
"Kamu berani-beraninya bermalam dengan wanita seperti itu!" Murka Mama tidak menyangka anaknya bisa membooking wanita malam.
"Biasa itu, Ma. Namanya juga laki-laki. Bian mau menikah saat itu, tapi Mama memaksa harus menikah dengan Luna. Jadi beginilah cara terbaik menyalurkan hasrat yang terpendam." Ucap Bian dengan santai, seolah tidak ada beban saat mengatakannya.
"Kamu!" Mama memegang kepalanya yang mendadak pusing. "Dalam 2 minggu ini kamu dan Luna harus menikah!"
"Bian tidak mau!" tolaknya.
"Mama tidak mau tahu!" masih memaksa.
"Ya sudah, Mama saja yang nikahi Luna. Atau kalau tidak berikan pada Papa saja!"
"Bian, dasar anak kurang ajar!" Mama kesal melihat anaknya yang tampak santai berjalan menuju kamarnya di lantai 2.
'Kenapa aku bisa punya anak seperti dia?'
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ayhu Ramadhan
si bian wkkwwkkw
2022-06-18
1
Gadis23
yuhu
2022-05-15
1