Bian membawa Una ke sebuah Mall. Membelikan wanita itu berbagai pakaian, perawatan tubuh sampai make upnya.
"Sebanyak itu, apa uang Tuan tidak habis?" tanya Una melihat belanjaan mereka dibawa oleh para ajudan.
"Apa kamu takut uangku habis?"
Una mengangguk cepat. "Kalau uang Tuan habis, uang di atm-ku ini tidak akan cukup membayarnya." Wanita itu menunjukkan kartu ATMnya.
"Hei, uangku itu sangat banyak. Tidak akan habis meski aku membeli 100 Mall beserta isinya!" Bian tertawa sombong, lalu mengeluarkan dompet dan memberikan Una sebuah kartu.
"Ini pakailah untuk membeli apapun yang kamu mau!"
"Benarkah?" Una menerima dan melihat kartu itu. Terlihat berbeda dari kartu atm yang diberikan Ziva.
"Apa dengan kartu ini, aku juga bisa membeli 100 Mall beserta isinya?"
Bian menatap Una tidak senang. "Apa kamu mau memerasku?"
"Aku tidak berniat memeras anda,Tuan. Aku hanya bertanya saja. Tapi melihat ekspresi anda sekarang, sepertinya uang anda tidak sebanyak yang kupikirkan." Una lalu melangkahkan kakinya kembali setelah mengatakan hal yang membuat wajah Bian memerah, mungkin saja pria itu merasa tersinggung.
Ponsel Bian pun berdering. Pria itu segera menjawabnya.
"Ya, dia sudah di sini?" Bian memutuskan sambungan teleponnya.
"Kalian boleh pergi. Bawa semua barang-barang ini ke apartemen saya!"
"Baik, Tuan!" Kompak ucap para ajudan berbadan tegap dan berwajah sangar. Mereka lalu berlalu pergi.
"Hei!"
"Ya." Una berbalik menoleh.
"Kita mulai sekarang. Dia ada di sini!"
"Apa?" Una masih tidak mengerti.
Bian merangkul leher Una dan menyuruh wanita itu agar rileks. Tapi Una terlalu tegang.
"Jika kamu tidak bisa bersikap senatural mungkin, aku akan mengembalikanmu ke Club Malam itu!" Ancam Bian.
Una mengangguk dan berusaha rileks. Ia pun berusaha untuk bersikap senatural mungkin.
"Kamu mau ke mana lagi?" tanya Bian dengan suara lembut dan pandangan yang menyejukkan mata. Ia juga menyelipkan rambut Una di telinga, dengan satu tangannya menggenggam erat tangan Una.
Perlakuan Bian membuat Una jadi berdebar. Ini pertama kali ia begitu dekat dengan seorang pria. Dulu hanya bicara sebentar dengan pria saja, bu Ita sudah memarahinya.
Bian menatap Una, mengisyaratkan agar wanita itu membalas ucapan dan perlakuannya. Dari jauh Luna masih memperhatikan mereka.
"Itu, masih ada yang belum aku beli, sayang." Ucap Una manja, telunjuknya ia gerakan di dada pria tampan itu.
'Apa yang ku lakukan??' ronta Una menyadari perilakunya.
Berbeda dengan Una yang mulai santai, Bian malah mengalihkan wajahnya. Wajah Una saat berkata manja seperti itu membuat pikirannya jadi bercabang.
"Kamu mau beli apa lagi, sayang?"
"Itu," Una tampak berpikir. Ia akan membeli sesuatu yang sangat penting bagi seorang wanita.
"Itu," sulit bagi Una untuk mengatakannya.
"Itu apa?" Bian masih tidak mengerti juga
"Ya itu! Itu,"
Bian mengerutkan dahi. Bingung apa sebenarnya yang mau dibeli Una.
"Apa itu? aku akan menemanimu."
"Tidak usah, aku bisa pergi sendiri."
"Sudah, ayo!" Bian pun merangkul Una lalu kembali melangkah. Dan Wanita yang mengendap-endap itu juga mengikuti mereka.
"Aku mau beli kacamata, sayang." Ucap Una akhirnya, berharap Bian bisa mengerti maksudnya.
"Ya sudah, ayo kita ke toko kacamata." Bian pun tampak bersemangat.
"A-apa?"
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Bian melipat tangan di dada. Ia mendengus sebal. Matanya melihat wanita cantik itu tampak memilih kacamata.
Pria itu tadi mengira Una akan membeli kacamata biasa. Ternyata salah, kacamata ini yang dimaksud. Kaca mata gantung.
"Bian, kamu ngapain di sini?" tanya Luna menahan tangisnya. Ia sudah tidak bisa hanya berdiam dan mengendap-endap melihat Bian dengan seorang wanita.
"Wanitaku sedang membeli pakaian dalam. Karena setiap malam disentuh, pakaian dalamnya sudah tidak muat lagi." Ucap Bian santai tanpa beban. Padahal dalam hati ia juga merutuki dirinya yang bisa berkata seperti itu.
"Apa?" Luna terbengong mendengar ucapan Bian yang seperti itu. Terlalu gamblang.
Begitu juga Una yang tidak jauh berada dari mereka, jadi terpaksa tersenyum pada pegawai toko. Sungguh memalukan, bisanya Bian mengatakan hal itu. Orang pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak.
"Kamu mau kenalan dengan wanitaku?" tanya Bian. "Sayang!" panggilnya kemudian.
Una pun menoleh melihat Bian bersama seorang wanita yang cantik dan berkelas.
"Sayang," panggil Bian kembali. Pria itu memberi Una isyarat. Seperti menyuruhnya berakting.
"Iya, sayang." Una pun menghampiri. "Siapa dia, sayang?" tanya Una memberikan senyum pada Luna.
Luna menatap sinis Una dari atas sampai atas lagi. Wanita di hadapannya ini berpakaian cukup ketat, memperlihatkan bodynya yang cukup ideal.
"Dia tetanggaku Luna. Yang sering aku ceritakan."
"Oh... apa kabar aku, Una. Salam kenal." Ucap Una sopan.
Luna diam saja melihat Una yang sok akrab dengannya. Tidak mau membalas perkenalkannya. Rasanya ia ingin saja mencekik wanita yang dekat dengan Bian.
"Sayang... aku bingung nih, aku cocok pakai yang merah apa yang biru ya?" tanya Una menunjukkan 2 hanger kacamata gantung di tangannya.
Bian mencoba untuk menahan tawa, wanita ini sempat-sempatnya menunjukkan hal seperti itu padanya. Sangat totalitas sekali aktingnya dan ia tidak boleh melewatkannya.
"Hmm," Bian nampak berpikir. "Aku belum pernah lihat kamu pakai yang biru sih. Tapi untuk apa pakai ini, sayang. Ganggu lho! Aku harus buka-buka lagi!"
Una melotot mendengar ucapan Bian, ditambah lagi pria itu sengaja menunjukkan wajah mesumnya.
Luna pun pergi meninggalkan mereka sambil meneteskan air mata. Bian benar-benar sangat keterlaluan. Ia harus mengatakan semua pada orang tua Bian.
Tak lama terdengar suara tertawa lepas di dalam sebuah mobil di parkiran. Suara tertawa itu adalah suara Bian. Pria itu sangat puas melihat ekspresi Luna. Pasti Luna akan langsung ilfil padanya dan ia bisa hidup bebas.
"Tuan, anda baik-baik saja?" tanya Una hati-hati. Ia merasa Bian sangat aneh.
"Akting kamu bagus." Bian mengelus kepala Una. "Pasti Luna akan meninggalkanku." Ucapnya yakin sekali.
Una mengalihkan pandangannya ke samping kiri. Perlakuan Bian membuatnya sedikit berdebar. Ia cepat-cepat menepis pikirannya. Hubungan mereka hanya sebatas kontrak.
Sementara di sebuah rumah. Luna menangis histeris di kamarnya. Menghancurkan kamarnya. Semua barang berhamburan.
"Ayah, bunda. Kalian di mana? kak Luna ngamuk!" Adit, adik Luna yang masih duduk di kelas 3 SMA menelepon orang tua mereka.
"Sudah puas?" tanya Adit setelah melihat Luna yang duduk meringkuk di atas tempat tidur. Kini kakaknya sudah tenang dan tidak mengamuk lagi.
"Gara-gara Bang Bian lagi ya?" tanya Adit yang sangat paham. Luna akan menggila jika Bian mendekati seorang wanita.
"Sudah lah kak Lun, cari pria lain yang bisa mencintai kakak. Jangan memaksa, cinta yang dipaksakan itu hanya akan ada sakit hati saja." Adit menasehati sang kakak.
"Diam kau anak kecil!" Luna melempar bantal ke arah Adit.
Adit menangkap bantal itu. "Biarkan bang Bian bahagia dengan pilihannya, kak." Adit masih mencoba agar Luna mengikhlaskan dan melepaskan Bian. Membiarkan Bian hidup bahagia dengan pilihannya.
"Bagaimana Bian bisa bahagia hidup dengan wanita malam?" Luna sudah mencari info tentang wanita itu.
"Wow, wanita malam?"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Ayhu Ramadhan
bian Una lucu Thor🤣🤣
2022-06-18
2