20 tahun kemudian...
"Ini gaji kalian." Pria tua pemilik swalayan membagikan gaji karyawan dalam amplop.
Seorang wanita berkulit putih dengan rambut panjang sebahu, tersenyum bahagia menerima amplop itu. Wanita itu adalah Una.
"Va, tolong simpankan ya!" Una menyerahkan beberapa lembar uang pada temannya tersebut. Ia lalu memasukkan sisa uang dalam amplop baru yang telah dimintanya pada pemilik swalayan. Amplop yang sama, ada stempel Swalayan.
Una kini telah sampai di rumah. Ia pulang jam 8 malam lewat.
"Mana?" bu Ita, seorang wanita paruh baya mengarahkan tangan.
Una menghela nafas dan mengeluarkan amplop dari tasnya. Memberikan amplop pada wanita tua itu.
"Hmm, Dinda! besok kita shoping ya!" teriaknya sambil masuk, tidak memperdulikan Una lagi. Yang terpenting hanya amplopnya. Ia tahu Una hari ini gajian.
Sudah 20 tahun Una tinggal dengan keluarga bu Ita dan suaminya. Mereka yang menemukan Una kecil saat terdampar di pinggir pantai. Sebagai balas budi mereka menyuruh Una mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tanpa disekolahkan. Una tidak pernah bersekolah lagi.
Saat Una mulai remaja, ia sudah disuruh untuk bekerja. Dan gaji yang didapat harus diserahkan utuh pada bu Ita, tanpa sedikitpun diberikan padanya. Oleh sebab itu, Una sering menyisihkan uang hasil beberapa jam lemburnya yang disimpan pada sang teman. Dan hanya memberikan gaji pokok saja pada bu Ita. Wanita tua itu tahu berapa gajinya bekerja.
Menjalani kehidupan seperti itu, membuat Una sering mencoba kabur dari kota kecil itu. Tapi selalu keluarga bu Ita bisa menemukannya. Dan berakhir cacian hingga makian dilayangkan padanya. Syukurnya mereka tidak mau main tangan.
Una membuka penanak nasi dan menghela nafas pelan. Nasi sudah habis dan hanya tinggal kerak, bahkan lauk ikan hanya tinggal kepalanya saja. Begitulah ia setiap hari makan, hanya ditinggalkan sisa-sisa saja. Padahal gajinya sebulan telah diambil mereka.
Wanita itu pun mencuci piring, sambil menunggu cucian di mesin cuci. Dulu Una disuruh mencuci pakai tangan. Syukurlah zaman sudah modern dan bu Ita tidak mau kalah saing dengan tetangga lain yang sudah memiliki mesin cuci. Bu Ita membeli mesin cuci keluaran model terbaru dan sangat bagus. Una sedikit terbantu jadinya.
'Ayah, bunda. Apa kabar kalian? Una harap kalian baik-baik saja. Una juga baik-baik saja di sini.' Batinnya berbohong. Mana mungkin ia baik-baik saja, sementara kehidupannya seperti ini. Lepas dari jerat satu masuk ke jerat lain. Kapan akan berakhir? Kapan ia akan bahagia.
Una memandangi tumpukan pakaian yang akan disetrikanya. Jika tidak disetrika hari ini, besok hanya akan menambah tumpukannya.
Hampir jam 11 malam, Una baru selesai dengan setrikaannya. Ia pun masuk ke kamar. Dilihatnya Dinda sedang teleponan dengan seseorang. Dinda hanya beberapa tahun lebih muda di bawahnya saja.
Una menggelar tikarnya, ia hanya diperbolehkan tidur di lantai. Baru berbaring ia sudah lelap saja, ia memang sudah terbiasa atau sangat letih dengan kehidupan seperti ini.
Pagi itu Una akan bersiap berangkat kerja. Ia mendengar suara dari ruang tamu.
"Kalau tidak punya uang 500 juta, jangan berani-berani datang melamar Una!" Ucap Bu Ita.
"Saya hanya punya 50 juta. Saya-"
"Pergi, pergilah!!! Kau pikir ia murahan!!!" Bu Ita mengusirnya.
Begitulah bu Ita, tiap ada yang datang melamar Una ia akan meminta uang 500 juta. Una selama ini adalah mesin uangnya. Jika wanita itu menikah, maka ia tidak akan ada pemasukan lagi dan Una akan terbebas darinya. Maka dari itu ia sengaja meminta uang sebanyak itu, agar tidak ada yang berani mendekati Una. Dan jika pun ada yang berani, maka ia akan langsung kaya mendadak.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Pak, kalau ada yang nanyai Una tolong bilang ia sedang mengantar barang, ya." Ucap Ziva dan Pemilik swalayan yang segera mengangguk.
Sebenarnya pekerjaan Una dari jam 7 pagi sampai jam 6 sore. Tapi Una meminta untuk mengatakan pada bu Ita bahwa ia bekerja sampai jam 8 malam. Waktu 2 jam itu di gunakannya untuk lembur. Pemilik swalayan setuju saja, karena merasa kasihan dengan nasib wanita itu.
Ziva membawa Una ke kafe yang tidak jauh dari swalayan. Mereka memesan minuman.
"Na, aku mau ke ibu kota." Ziva memberitahunya.
Una terkejut, wajah cantik itu langsung berubah sedih. Hanya Ziva satu-satunya temannya.
"Kau tetap di sini saja!" bujuk Una menahan Ziva.
"Tidak bisa! Kau lihat semenjak orang tuaku meninggal tidak ada yang peduli padaku, padahal di sini semua keluarga orang tuaku. Jadi ku pikir untuk apa aku tetap di sini. Aku mau memulai hidup baru dengan suasana yang baru." Tekad Ziva dengan yakin.
Benar yang dikatakan Ziva. Una juga ingin seperti itu, memulai hidup baru. Tapi tidak pernah bisa kabur dari bu Ita.
"Apa kau mau ikut aku, Na?" Bisik Ziva pelan, takut ada yang mendengar.
Dengan cepat Una menggangguk lalu kembali menggeleng. Jika ia pergi percuma saja, bu Ita pasti akan menemukannya.
"Kenapa?" Ziva menatap Una yang menolak ajakannya.
"Aku tidak bisa kabur, tiap kabur selalu kembali lagi!" Una pun berwajah sedih, percuma kabur jika tetap ditemukan bu Ita.
"Karena kau kaburnya masih sekitar kota kecil ini. Kita ke ibu kota lho. Perjalanan ke sana itu saja kalau naik bus sampai 12 jam lho. Kalau naik pesawat kita tidak punya uang!" ucap Ziva sambil tertawa.
"Di sana mereka tidak akan bisa menemukanmu. Di ibu kota itu luas dan besar lho, Na. Juga padat penduduk. Sudah kau percaya saja padaku, apa kau mau selamanya tinggal dengan bu Ita?"
Una menggeleng. "Aku tidak mau, Va."
"Ya sudah percaya sama aku!" Ucap Ziva dengan yakin sambil memegang kedua bahu Una. Berharap temannya itu akan mempercayainya. Ia juga kasihan dengan Una.
"Jadi begini, besok bus akan berangkat jam 11 malam. Kau harus tiba tepat waktu, jika tidak akan ditinggal bus." Ziva memberitahu jadwal bus berangkat.
"Tapi, aku kerja hanya sampai jam 8." Una tampak bingung. Tiap ia pulang telat, bu Ita akan langsung mencarinya.
"Aku sudah katakan pada pemilik swalayan kita, bahwa besok kau akan lembur sampai jam 11 malam. Alasannya kita mau membersihkan gudang. Nanti beliau yang akan menelepon bu Ita meminta izin." Ziva menjabarkan rencananya yang sudah dipikirkannya matang-matang.
"Baiklah, aku setuju!" Una menghela nafasnya. Meyakinkan diri bahwa ia harus bebas.
"Besok aku sudah libur. Jadi aku mau beres-beres. Kau tidak usah bawa-bawa baju!"
Una mengangguk mengerti. "Ziva, kau kan tahu aku tidak punya ponsel. Jadi aku nanti tidak bisa menghubungimu. Besok apapun yang terjadi, kau harus tetap menungguku sampai jam 11 malam itu, ya!" wantinya.
"Aku pasti akan menunggumu di sana. Kita akan bebas bersama!"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
sherly
siuna lepas dr mulut macan masuk mulut harimau... anak gadis yg malang
2024-06-30
0
Sulaiman Efendy
LEPAS DARI SISKA, KTEMU DGN ITA SI WANITA IBLIS... HABIS INI KTEMU SIAPA LAGI..
2023-01-09
1