"Bersiap-siaplah sekarang!" Ucap Bian setelah menerima telepon.
"Bersiap? memang mau ke mana?" tanya Una dengan mulut penuh makanan. Ia masih memakan ayam kriuknya.
"Sudah cepat. Nanti dilanjut lagi makannya!" Bian mendorong tubuh Una agar segera masuk ke kamar untuk berganti baju.
"Ta-tapi-" Una tidak rela meninggalkan 2 potong ayam kriuknya yang masih tersisa.
"Dandan yang cantik!" ucap Bian kembali lalu menutup pintu kamar.
Tak lama Bian mengetok pintu kamar. Sudah menunggu cukup lama, wanita itu tidak keluar-keluar kamar. Apa yang dilakukannya.
"Na, sudah selesai?" Bian mengetuk pintu dengan tidak sabaran.
"Bentar, aku masih dandan!" teriak Una dari dalam.
"Buka dulu, aku mau ambil baju!"
Bian pun masuk dan melihat Una masih bertempur dengan peralatan make upnya. Pria itu memilih baju di lemari sambil matanya melirik Una yang sedang berdandan.
Wanita memang ribet. Wajah didempul, bibir diwarnai, alis ditebali. Belum lagi, tah untuk apa spidol ditulis di kelopak mata. Itu lagi bulu mata ditempel, biar kelihatan lebat mungkin ya. Dan apa itu yang dimasukkan ke dalam mata?
Bian hanya terbengong melihat step by step ritual make up Una.
"Aku sudah siap." Ucap Una.
Bian terpaku sejenak saat melihat wanita itu sudah berdiri di hadapannya. Ia mengakui Una memang cantik, tapi saat ini dengan sapuan make up, wajah Una lebih cantik dan terlihat lebih segar.
'Astaga!!!'
Yang jadi masalah sekarang adalah pakaiannya. Wanita itu memakai pakaian yang membuat khilaf. Terbuka atas dan bawah.
"Ganti pakaianmu!" pinta Bian mengalihkan tatapannya. Bahaya jika terus dilihat, ia masih pria normal. Akan terpancing jika dipancing begitu.
"Tapi," bagi Una sekarang imagenya adalah wanita malam, maka ia harus berpenampilan seperti itu. Tidak ada yang salah.
"Pakai pakaian santai yang tertutup. Jika kamu berpakaian seperti itu, orang-orang akan merasa kepanasan."
Bian pun keluar dari kamar. Mungkin sebenarnya yang kepanasan sekarang adalah dirinya. Berdua di kamar dengan wanita cantik berpakaian seksi seperti itu bisa membuatnya seakan terbakar.
"Ini rumah siapa?" tanya Una saat Bian memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah.
"Rumahku. Ayo turun!" pinta pria itu sambil membuka sabuk pengamannya.
"Kenapa kita kemari?" tanya Una yang tiba-tiba merasa takut.
"Kenapa kamu banyak tanya? ikut saja!" Pinta Bian yang tidak mau menanggapi pertanyaan itu.
Begitu Una turun dari mobil, Bian langsung meraih tangannya dan menyatukan jari-jari mereka.
"Tu-Tuan," kontak fisik yang dilakukan Bian membuat Una jadi gugup.
"Kenapa tanganmu begitu dingin? bersikaplah seperti biasa. Jangan takut, ada aku." Bian makin mempererat genggamannya.
Bian pun menggandeng Una masuk ke dalam rumah. Begitu masuk Una merasakan suasana yang dingin dan menyeramkan. Pandangan orang tua Bian yang menatap tajam dan sangat tidak suka melihatnya.
"Siapa wanita ini?" tanya Papa setelah Bian dan Una duduk.
"Wanita hamba yang Mulia." Ucap Bian penuh keseriusan. "Ini orang tuaku, sayang." Ucap Bian dengan nada yang sangat lembut seperti gula kapas.
Una mengangguk sambil tersenyum. "Halo, Om dan Tante. Saya Una." Ia bangkit dan akan menyalami kedua orang tua Bian. Tapi uluran tangannya tidak ditanggapi, hingga ia memutuskan duduk kembali.
"Kamu siapanya anak saya?" tanya Mama dengan nada dingin.
"Saya-" Una melirik Bian, pria itu mengangguk mengisyaratkan sesuatu.
"Saya kekasihnya Mas Bian." Ucap Una kemudian.
Bian tersenyum samar mendengar ia dipanggil Mas. 'Mas Bian Mas Bian.'
"Kekasih? Bian itu akan segera menikah. Kamu tidak boleh menjadi pengganggu hubungan orang lain." Ucap Mama yang mencoba bersikap tenang menahan emosinya. Ia tidak suka melihat wanita malam itu.
"Mas, kamu akan menikah? bagaimana hubungan kita?" Mata Una mulai berair menatap wajah Bian. Wajah cantik itu juga penuh dengan kesedihan.
'Kenapa tidak jadi artis saja dia?!' batin Bian. Una kembali bersandiwara.
"Bukan begitu, sayang. Aku akan dijodohkan, orang tuaku menjodohkanku. Tapi kamu tenang saja, aku tidak akan menikah dengannya. Aku hanya mencintai kamu. Percaya padaku, sayang." Bian pun juga mulai berakting meyakinkan. Ia menggenggam erat tangan Una seolah menyakinkan jika sangat mencintai wanitanya.
"Aku hanya mencintai kamu, dan-"
Deg... Una jadi baper. Perkataan dan tatapan cinta Bian membuat Una jadi berdebar. Hatinya seakan melayang terbang dengan adegan saat ini.
"Dan anak kita." sambung Bian kembali.
Una menatap Bian dengan tatapan bertanya. Bian bisa mengatakan hal seperti itu sambil mengusap-usap perutnya. Apa maksudnya?
"Bian, apa yang sudah kamu lakukan?" Bentak Papa yang seperti sudah kehilangan kesabaran. Ia paham ke mana arah perkataan putranya.
"Una hamil. Ia sedang mengandung cucu kalian." Bian mengucapkan dengan tenang sambil tersenyum manis pada Una.
'Apa-apaan dia!!!' Una tidak mengerti apa yang sedang direncanakan pria itu. Hal seperti ini, tidak masuk dalam perjanjian mereka.
"Kamu, kamu pasti sudah menjebak anakku, kan?" tunjuk Mama pada Una, sudah tidak bisa menahan amarah lagi.
"Ibu Suri tolong jaga perkataan anda pada ibu dari anakku. Sebagai seorang pria, aku akan bertanggung jawab padanya. Hanya itu yang mau aku sampaikan pada Papa dan Mama." Ucap Bian menyatakan pembelaannya.
"Kami pulang dulu!" Bian pamit dan menarik tangan Una untuk mengikutinya keluar dari rumah itu. Jika tetap disana, Papanya pasti akan memukulinya lagi. Jadi lebih baik segera kabur.
Di dalam perjalanan, Una menatap Bian dengan kesal. Tapi malah yang ditatap tetap santai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membela jalanan malam.
"Apa aku begitu tampan hingga membuatmu tidak bisa berkedip lagi?" Ledek Bian seraya melirik Una. Wanita itu pasti terpesona pada ketampanannya.
"Maaf, Tuan. Tolong dikurangi kepedean anda." Una menghela nafasnya. "Apa anda tahu anda sudah melanggar perjanjian kita?!" Ucap Una dengan nada serius.
"Aku?" Bian menunjuk dirinya dengan wajah bingung. "Perjanjian mana yang aku langgar, sayang?" pria itu mencubit pipi Una karena gemas dengan wajah serius wanita itu. Bukannya menakutkan, malah terlihat begitu menggemaskan.
"Tuan, tolong jaga tangan anda. Aku bisa mematahkannya!" Ucap Una dengan nada seram seakan keluar taring.
"Ma-maaf." Bian pun melepas tangannya. Ia jadu menggeleng, Una itu tidak ada seram-seramnya. Malah wanita itu sangat lucu.
"Di dalam perjanjian, aku hanya wanita simpanan anda, untuk membuat Luna menjauhi anda." Una mengingatkan isi perjanjian mereka.
Bian mendengarkan sambil matanya tetap menatap jalan. "Benar."
"Terus bagaimana bisa wanita simpanan anda hamil?" tanya Una kembali. Dalam perjanjian, Bian dilarang untuk menyentuhnya. Apa yang direncanakan pria itu?
"Kenapa tidak bisa? kamu mau kita praktekkan sekarang?" Goda Bian yang malah menaikkan alisnya.
"Tuan, tolong serius!" Una yang kesal mengeraskan suaranya. Bian pun jadi mengangguk cepat.
"Jadi begini, orang tuaku berniat menyelenggarakan pesta pernikahan 2 minggu lagi. Jika pengantin prianya tidak datang, itu akan membuat malu mereka. Aku disuruh memilih antara membuat malu keluarga atau tetap menikah. Begitulah cara tersadis Yang Mulia dan Ibu Suri itu lakukan kepadaku, Una. Mereka memaksaku menikah dengan cara yang sungguh kejam." pria tampan itu jadi curhat panjang. Papa dan mamanya merencanakan hal seperti itu.
Una hanya diam mendengar ucapan Bian. Apa orang tua Bian sampai segitunya ingin tetap menikahkan Bian dengan Luna?
"Jadi cara satu-satunya agar pernikahan itu tidak dilaksanakan adalah mengatakan kalau aku sudah menghamili wanita lain. Aku ini tertekan, Na." Bian memijat pelipisnya. Ia sangat tahu orang tuanya pasti akan terus mendesaknya untuk menikahi Luna.
"Jadi kita akan segera menikah." Sambung Bian kemudian.
"A-apa?? menikah???"
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Mirwani Adwa Azizah
Bian.. Una harus segera jadi milikmu ya..
2022-09-22
2