Una berada di dalam kamar, tepatnya di atas tempat tidur yang sangat empuk. Ia berguling-guling di atas ranjang itu. Lalu melihat ponselnya. Ia ingin menghubungi Ziva dan bertanya keadaan temannya itu bagaimana, tapi hanya ada satu nama di kontaknya. Tidak ada nomor temannya itu.
Bugh...
Una kaget mendengar suara pintu. Wajahnya mendadak ketakutan, mungkinkah itu maling. Bisa jadi ini sudah pukul 12 malam.
Wanita itu pelan-pelan menuruni tempat tidur. Ia mengambil tali pinggang. Benda itu akan dicambuknya pada maling. Ia harus bisa melindungi dirinya.
Dengan pelan Una membuka pintu kamar, kepalanya keluar memantau keadaan. Kanan dan kiri aman terkendali. Ia pun keluar kamar, lalu berjalan mengendap-endap.
"Hei, apa yang kamu lakukan?"
"Ma-maling!" teriak Una melihat seorang pria di dapur. Una memanjangkan tali pinggang itu. Memukul ke lantai untuk menakuti maling.
"Sudah main maling-malingnya?" tanya Bian menghidupkan lampu dapur yang berada tepat di sampingnya.
"Tu-Tuan, ternyata Tuan malingnya!" Una segera menutup mulutnya, ia malah ceplos bicara.
"Untuk apa aku maling di tempatku sendiri?" balik Bian bertanya yang membuat Una jadi terdiam.
"Ta-tadi ku pikir ada maling." Kata Una merasa tidak enak.
Bian menenggak air botol dalam lemari pendingin. Ia pun berjalan ke ruang tv.
"Kenapa belum tidur?" tanyanya.
"Be-belum ngantuk," jawab Una. "Kenapa anda kemari, Tuan?"
Bian pun menatap Una. "Apa aku juga perlu menjelaskan padamu?"
Nada bicara Bian yang dingin membuat Una jadi ciut. Ia akan menutup mulutnya agar tidak ada ucapan yang keluar begitu saja.
"Bisakah kamu ambilkan kotak obat?!"
Una mengangguk dan mengambil kotak obat. Tak lama ia kembali dan memberikan pada Bian.
"A-apa yang anda lakukan, Tuan?" ucap Una dengan suara yang cukup menggema, wanita itu juga menutup matanya dengan kedua tangan saat Bian akan membuka kaosnya.
"Kenapa kamu begitu berisik? ini sudah malam. Tidur sana!" Usir Bian.
Una pun akan melangkah ke kamar. Tapi ia melihat Bian yang kesulitan membuka kaosnya.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bian saat Una membantunya membuka kaos.
"Aku hanya membantu anda, Tuan." Una mengalihkan wajahnya melihat pria itu yang sudah bertelanjang dada.
"Tu-Tuan, apa yang terjadi? kenapa punggungmu ini?" Una kaget melihat begitu banyak bekas pukulan di punggung pria itu.
"Apa anda berkelahi, Tuan?" tanya Una seraya tangannya mengoleskan salep ke punggungnya.
Bian meringis. "Pelan sedikit!"
"Ma-maaf." Una pun pelan-pelan mengoleskan salep sambil meniupnya juga. "Apa anda kalah berkelahi, Tuan?"
Una lalu fokus pada bekas luka di punggung Bian. Pria itu menatapnya dengan aura membunuh. Wanita itu jadi lebih memilih diam saja. Sepertinya ia salah tanya lagi.
"Tu-Tuan, sudah selesai. Tunggu sebentar lagi agar salepnya meresap. Aku akan kembali ke kamar." Una juga membereskan kotak obat.
"Terima kasih."
Di lagi yang cerah Una bangun. Ia melihat Bian tidur meringkuk di sofa. Ingin membangunkan tapi ia takut.
'Apa dia tidak bekerja? tapi sepertinya tidak. Dia kan banyak uang.' Una pun pergi ke dapur. Ia akan membuat sarapan saja.
Tak lama Bian pun bangun dan melihat jam dinding sudah pukul 9 pagi.
"Wan, tolong kamu handle pekerjaanku!" Pintanya. Ia sangat malas ke kantor hari ini. Ia akan bersemedi dan juga akan menonaktifkan ponselnya.
'Ke mana Una?'
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Bian melihat Una menjemur pakaian dan pakaian lainnya.
"I-itu mencuci baju." Ucap Una gugup seraya menyembunyikan di balik tubuhnya.
"Bawa ke laundry saja!" pinta Bian.
"Tidak usah! aku bisa mencucinya sendiri!"
Una bernafas lega melihat Bian pergi. Ia pun menyembunyikan kacamata gantung di balik pakaian yang lain.
"Silahkan sarapan, Tuan." Una kini menghidangkan masakannya di meja. Ia juga membuatkan teh manis hangat.
"Kamu tidak sarapan?" tanya Bian melihat Una akan pergi.
"Tadi aku sudah sarapan. Aku akan bersiap, Tuan."
"Bersiap mau ke mana?" tanya Bian bingung.
"Semalam anda mengatakan akan datang membawaku ke wisuda Luna." Ungkap Una.
Una sudah berpikir keras semalaman, ia akan berakting lebih meyakinkan. Agar Luna segera melepaskan Bian dan perjanjian mereka otomatis akan berakhir. Lalu ia akan mencari Ziva.
"Kita tidak akan pergi ke sana." Akibat kejadian tadi malam, Bian benar-benar sangat malas. Ia mau menenangkan diri saja.
"Oh, baiklah." Una mengangguk. Ia tidak akan bertanya alasan kenapa tidak jadi.
Una duduk di kursi meja makan. Ia melihat Bian yang melahap masakannya.
"Tuan, apa aku boleh keluar sebentar?" tanya Una meminta izin.
"Mau ke mana?"
"Kebutuhan bahan dapur habis. Aku mau berbelanja."
"Pergilah. Tapi ingat, jangan mencoba kabur atau kamu akan kembali ke Club malam itu!" ancam Bian kembali mengingatkan.
Una menggeleng kepala dengan cepat. Jika ia kabur maka ia sudah dipastikan akan menjadi wanita malam.
Sementara Bian mencibir melihat gelengan ketakutan Una. Wajah wanita cantik itu berubah pucat jika mendengar Club malam.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Kak Lun, selamat." Ucap Adit memeluk sang kakak yang telah diwisuda.
Bukannya senang telah menyelesaikan pendidikannya, wajah Luna tampak kesal. Ia tidak melihat Bian. Mana nomor pria itu sedang tidak aktif.
"Mana Bian?"
Adit mengangkat bahunya tanda tidak tahu. "Bang Bian sepertinya digondol maling, kak." ledek Adit yang malah mendapat tatapan tajam dari Luna.
"Ayah dan bunda baru sampai bandara. Kemungkinan mereka tidak bisa kemari. Jadi mereka menunggu kak Lun di rumah." Adit memberitahu.
Luna diam saja, matanya masih melihat sekitar. Berharap pria pujaannya datang.
"Selamat ya, sayang."
Malah kedua orang tua Bian yang datang. Tak ada terlihat batang hidung pria tampan itu bersama mereka.
"Tante, Bian mana?" Tanyanya dengan wajah sedih. Ia menunggu kehadiran pria itu.
"Dia masih banyak kerjaan." Alasan papanya Bian.
"Sudah kamu tenang saja. Kamu bisa menikah dengan Bian dalam waktu dekat ini. Kami akan berusaha."
"Benarkah yang tante katakan?" tanya Luna memastikan. Mamanya Bian mengangguk, membuat Luna tersenyum dan memeluknya erat.
"Katakan pada Bian, agar segera kemari." Ucap Papanya menelpon seseorang.
"Apa?? dia tidak masuk kantor?"
Mendengar itu Luna langsung menoleh. Pikirannya pun bercabang. Jika Bian tidak berada di kantor, ke mana Bian?
'Apa Bian di apartemennya dengan wanita itu?'
"Luna luna!" Mamanya Bian bingung melihat Luna yang langsung berlari pergi.
"Biar Adit saja yang ngejar kak Lun. Permisi Om dan Tante." Pamit Adit sopan dan segera mengejar sang kakak.
Luna meremas tangannya kesal, membuat Adit yang menyetir di sampingnya melirik takut.
"Sudahlah kak Lun, lepaskan bang Bian!" bujuk Adit, kadang merasa kasihan sang kakak yang selalu ditolak mentah-mentah.
"Diam! Kamu bisa cepat tidak?" Luna berucap dengan nada kasar.
"Kita pulang saja ya. Ayah sama bunda sudah menunggu di rumah, mereka-"
"Kalau kau tidak mau mengantarku, aku akan pergi sendiri!" potong Luna dengan nada tinggi.
"Baiklah." Adit pun mengalah. Ikuti sajalah, tah apa yang mau kakaknya ini lakukan.
Di apartemen Bian bangkit saat mendengar bel pintu yang berkali-kali berbunyi.
"Akan ku patahkan tanganmu!" Dengus Bian sambil membuka pintu. Una sangat tidak sabaran sekali menekan bel.
"Bian."
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments