"Tolong buatkan aku kopi!" pinta Bian ketika mereka sudah sampai apartemen dan Una mengangguk.
Tak lama Una membawa secangkir kopi. Ia meletakkan di atas meja. Bian sedang menonton tv.
"Duduklah."
Una pun duduk di sofa.
"Ini untukmu!" Bian menyerahkan sebuah paper bag.
Una menerima dan membuka isinya. Wanita itu terkejut melihat isinya.
"Apa ini, Tuan?" tanya Una bingung.
"Kamu hidup di zaman kapan? ponsel saja tidak tahu." Ledek Bian.
Una menghela nafas. "Aku tahu ini ponsel Tuan, tapi untuk apa diberikan kepadaku?"
"Memang untuk apalagi kalau bukan untuk menghubungimu!"
Tidak ada yang salah dengan jawaban Bian. Ia yang salah bertanya.
"Aku sudah menyimpan nomorku di ponselmu." Timpal Bian kemudian.
"Apa aku boleh mencobanya, Tuan?" tanya Una. Ia ingin menggunakannya.
Bian mengangguk. Ia tersenyum samar melihat wanita itu berbinar-binar menerima pemberiannya. Seperti baru pertama kali melihat barang seperti itu.
Benar, bagi Una ini pertama kalinya ia memiliki sebuah ponsel. Dari zaman dulu ia tidak bisa membeli barang seperti ini, karena gajinya tiap bulan selalu diambil bu Ita.
Ziva selalu meminjamkan ponsel miliknya padanya. Una diajarkan bagaimana cara menelepon dan menjawab pesan. Dan Una hanya sekedar tahu itu saja.
"Kenapa kamu meneleponku?" tanya Bian yang akan meminum kopinya saat melihat ponselnya bergetar di atas meja.
"Aku mau menelepon siapa lagi, hanya ada nomor anda di sini." ucap Una.
"Apa aku harus mengangkatnya?" tanya Bian memegang ponselnya. Una pun mengangguk.
"Halo, Tuan. Apa kabar anda?" tanya Una dan Bian menggeleng melihat wanita aneh itu.
"Ada apa?" walau merasa aneh, masih dijawab juga oleh Bian.
"Aku mau mengucapkan terima kasih." Kemudian Una pun memutuskan panggilan.
"Apa kamu tidak bisa mengucapkan terima kasih secara langsung?" tanya Bian meletakkan ponsel ke meja.
"Aku hanya mencoba untuk menelepon saja. Dan ternyata ponsel ini sangat bagus. Suara anda sangat jernih, Tuan." Una begitu takjub.
"Jelas sekali, itu ponsel mahal." Bian kembali dalam mode sombongnya. Ia memang memberikan Una ponsel keluaran terbaru. Yang bagi sebagian orang harganya bisa membuat kantong jebol.
Ting...
Bian melihat satu pesan masuk dari WANITAKU. Itu nama Una di kontaknya.
"Hai, Tuan?" Bian membaca pesan dan menatap Una dengan ekspresi aneh.
"Aku mencoba mengirim pesan. Ternyata langsung sampai. Padahal baru juga aku tekan kirim!" Una sangat kagum pada kecepatan jaringan.
"Ayo, kita foto berdua. Aku mau memasang foto kita. Kemarilah!" Bian menyuruh Una duduk di sampingnya.
Una bangkit dan duduk di samping Bian. Pria itu langsung mendekat dan menempel.
"Senyumlah!" Bian akan mengambil foto mereka.
Una merasa tidak nyaman, Bian terlalu dekat dengannya. Wajah mereka juga begitu dekat. Jika begini ia tidak bisa tersenyum. Jadi gugup dan merasakan jantungnya berdebar cepat tidak seperti biasanya.
"Apa kamu tidak bisa tersenyum?" tanya Bian melihat foto Una yang ekspresinya sangat tegang. Seperti sangat tertekan.
"Ma-maaf, Tuan."
"Tersenyumlah. Tersenyum seperti wanita malam yang menggoda."
"Tapi aku bukan wanita seperti itu, Tuan." sanggah Una melihat Bian. Jarak mereka sangat dekat. Bahkan keduanya dapat merasakan hembusan nafas saling menerpa di wajah mereka.
"I-itu-, itu kamu bisa, tersenyumlah seperti sedang berfoto dengan orang yang kamu sayangi. Senyum yang ikhlas, bukan terpaksa seperti itu!" ucap Bian yang tiba-tiba jadi gugup.
Una mengangguk, ia pun mencoba mengikuti saran Bian. Tersenyum saat mengingat ayah dan bundanya. Mengingat setiap kenangan indah yang pernah mereka lalui bersama, meski kini kenangan itu mulai samar.
"Bagus!" puji Bian melihat beberapa foto yang diambilnya. Di foto itu mereka seperti pasangan kekasih yang sangat cocok dan mesra.
Bian pun mengganti wallpaper dengan foto-foto mereka. Bahkan foto profil pada aplikasi pesannya. Agar Luna juga melihatnya.
"Tuan," panggil Una.
"Apa?" Bian masih fokus pada layar ponsel.
"Aku kabur ke kota ini dengan temanku bernama Ziva. Sehari sampai di kota ini Mami Lisa menangkapku dan membawaku padamu. Temanku pasti mengkhawatirkanku, bisakah Tuan mencarinya dan menyampaikan padanya kalau aku baik-baik saja. Ia tidak perlu mencemaskanku." Ucap Una. Ia tahu pasti Ziva kebingungan sekarang, karena ia tiba-tiba saja menghilang.
Bian diam dan menatap Una dengan tatapan yang sulit diartikan. Ekspresinya tidak bisa diprediksi. Entah marah atau apa, tidak ada yang tahu.
"Aku pulang. Besok bersiaplah jam 10, aku akan menjemputmu. Luna akan wisuda besok dan kamu harus ikut denganku." Ucap Bian bangkit dan melangkah pergi keluar pintu.
Sampai di luar apartemen, ia mengambil ponsel di saku dan menekan gagang hijau di layar.
"Wan, awasi Una 24 jam penuh. Jaga keamanan dirinya. Dan satu lagi..."
Bian pun melangkah pergi, setelah mengatakan perintahnya pada sang asisten.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Bian, apa maksud kamu???"
Baru juga masuk rumah, pria tampan itu sudah ditanya. Tah maksud apa yang di maksud itu. Papa dan Mama duduk di ruang tamu, sepertinya memang sudah menunggu dirinya.
"Siapa wanita itu?" tanya Papa meninggikan suaranya.
"Wanitaku, Pa." Jawabnya santai.
Plak...
Tangan besar itu mendarat mulus di pipinya. Mama memegangi suaminya yang kembali akan menampar sang anak.
"Berani-beraninya kamu bermain dengan wanita seperti itu!" Papa memijat pelipisnya. Luna sudah menceritakan semuanya. Jika Bian bermain dengan seorang wanita malam.
Bian diam saja dan meremas tangannya. Ia mencoba tenang, bagaimana pun dihadapannya itu adalah kedua orang tuanya.
"Tinggalkan wanita itu! Minggu depan menikahlah dengan Luna. Ia sangat sedih karena kelakuanmu, Bian." Ucap Mama dengan nada lembut seolah sedang membujuk.
"Maaf, aku tidak bisa!" tetap yakin dengan keputusannya. Ia tidak akan mau menikah dengan Luna apapun ceritanya.
"Kamu hanya perlu belajar menerima Luna. Jika kamu memberi kesempatan, Mama yakin kamu juga bisa mencintainya. Hanya masalah waktu saja."
"Aku tidak bisa menikah dengan wanita yang tidak akan bisa kucintai." Bian hanya menganggap Luna seperti adiknya.
"Kau!!" Bentak Papa. "Kita berhutang budi pada keluarganya. Jika saja mereka tidak membantu keluarga kita, kehidupan kita tidak akan seperti ini." Papa mulai memelankan suaranya.
"Cukup kembalikan bantuan yang mereka berikan. Tolong jangan jadikan aku sebagai alat balas budi!"
"Kau!" Papa pun mengambil stick golfnya.
"Pa... jangan, Pa!" Mama memohon memegangi suaminya. Tapi Papa menepis tangan istrinya.
"Dasar anak tidak berguna, apa begitu sulit menuruti apa kata Papamu ini?" Papa memukuli tubuh Bian dengan stick golf. Pria paru baya itu memang begitu, jika Bian tidak menurut padanya stick golf selalu melayang ke tubuhnya.
"Pa... sudah, Pa!" Mama menangis melihat sang putra yang diam saja dipukuli suaminya. Seperti sudah kebal dan terbiasa.
"Kamu harus menikahi Luna minggu depan!" Ucap Papa setelah memukuli sang anak.
"Aku tidak mau!"
"Anak ini!" mendengar jawaban Bian, Papa makin tersulut emosi. Ia akan memukulnya lagi, tapi kali ini Bian menahan stick golf itu.
"Aku tidak akan pernah menikah dengan Luna. Jika Papa merasa berhutang budi pada keluarganya, maka Papa saja yang menikahinya!" Ucap Bian dengan nada datar. Ia menepis stick golf itu, lalu pergi meninggalkan mereka.
Bian berjalan keluar rumah dan menuju mobilnya yang terparkir di garasi.
"Bian, kamu sudah pulang?" tanya Luna yang menghampirinya. Wajah wanita itu begitu sembab akibat menangisi Bian yang tidak bisa tergapai.
"Menjauh dariku!!!" bentak Bian membuat Luna jadi meneteskan air mata lagi.
"Bi-Bian, maafkan aku. A-aku sangat mencintaimu." Luna memeluk Bian.
"Lepaskan aku!!!" bentak Bian kembali. Ia mendorong Luna lalu masuk ke dalam mobil. Tak peduli Luna yang mengetuk-ngetuk kaca mobil memintanya untuk turun. Ia pun menghidupkan mesin mobil dan melaju pergi.
"Bian!!! Bian!!! Aku mencintaimu, Bian!" Teriak Luna melihat mobil pria itu yang semakin menjauh.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
sherly
ya ampun Luna segitunya dirimu itu mah bukan cinta lagi
2024-06-30
0