Di ruang rapat, dari kursinya Bian menatap dan mendengarkan dengan serius kinerja bulanan yang dilaporkan para manajer.
Fokusnya terganggu pada getaran ponsel ada panggilan masuk. Ia tersenyum pada nama kontak yang tertera.
"Ada apa? aku sedang rapat." Jawabnya pelan agar tidak menganggu rapat.
...
"Apa kamu mau menyuapku?"
...
"Hmm... kalau begitu berterima kasihlah dengan cara lain." Bian tersenyum smirk.
...
"Aku ingin lihat kamu pakai baju di lemari itu."
...
"Kamu membeli pakaian seperti itu, akan sangat mubazir jika tidak dipakai. Atau kamu sengaja mau menghambur-hamburkan uangku?"
...
"Aku tidak mungkin bangkrut!" Bian menaikkan satu oktaf suaranya, membuat yang berada di ruangan rapat menatap dirinya.
"Kenapa kalian melihat saya?" Tanyanya dengan tatapan datar. Membuat mereka mengalihkan pandangan dan melanjutkan kembali.
Kini di ruangannya, Bian fokus menatap layar ponsel. Ia melihat CCTV apartemen. Terlihat Una sedang sibuk memasak.
'Dia benar-benar memasak untukku? apa aku harus pulang cepat?'
Bian menghela nafasnya, ternyata masih pukul 2 siang. Belum waktunya untuk pulang.
"Bian!"
Pria itu kaget saat suara berat menggema masuk. Seharusnya mengetuk pintu dahulu sebelum masuk, tapi sepertinya itu tidak berlaku pada yang mulia Raja. Siapa lagi kalau bukan papanya.
"Apa kamu tidak bisa menuruti perkataan Papamu ini?" Tanya pria paruh baya itu seraya mendudukkan diri di sofa.
"Tergantung apa yang harus saya turuti. Saya tidak bisa menuruti semua perkataan anda Yang Mulia." Ucap Bian formal sambil membungkukkan badan.
"Bian!" Ucap Papa dengan nada tinggi. Benar-benarlah, anaknya satu ini buat sakit kepala saja.
"Kami akan mengadakan pesta pernikahan untukmu 2 minggu lagi. Menikahlah kamu dengan Luna!" Pinta Papa dengan tatapan tajam.
"Dari pada menikah dengan Luna, lebih baik Yang Mulia hukum saja hamba."
Bantal sofa pun melayang terbang. Bian menghindar saat bantal itu akan mengenai wajahnya yang tampan.
"Sudahlah, Pa. Jangan paksa aku terus." Bian pun kembali ke mode normal.
"Papa tidak memaksa kamu. Kami menyarankan saja." Papa mengecilkan suaranya.
"Tapi aku tidak mau saran seperti itu, Pa." Bian tetap pada prinsipnya. Menolak untuk menikah dengan Luna.
"Jadi kamu mau apa sekarang?"
"Saya butuh kebebasan Yang Mulia." Ucap Bian sambil melirik sang Papa yang sudah memasang wajah kesal.
"2 minggu lagi akan diadakan pesta pernikahan kamu yang super mewah. Jika kamu tidak mau membuat keluarga kita malu, jadilah pengantin prianya."
"Papa!" Bian tidak terima.
Pria paruh baya itu berlalu pergi ke luar ruangannya. Tanpa peduli Bian yang memanggilnya. Ia yakin Bian tidak akan mungkin tega pada keluarganya. Itu akan menjadi satu-satunya cara tersadis menikahkan Bian dengan Luna.
Bian menghembus nafasnya dengan kasar lalu mengusap wajahnya. Ini benar-benar pemaksaan.
Di perjalanan pulang, Wan melajukan mobilnya sedang. Bian duduk sambil menatap jalanan.
'Apa yang dia lakukan sekarang?' batin pria tampan itu.
Pria itu penasaran dan mengambil ponselnya. Bian mengerutkan kening saat tidak mendapati Una di dalam apartemennya. Padahal ia meletakkan CCTV di semua tempat. Kecuali di kamar mandi.
'Apa ia sedang pergi?'
"Wan, apa Una keluar?" tanyanya pada Wan.
Pria yang sedang menyetir itu menekan-nekan alat yang terpasang di telinganya. Langsung terhubung dengan para pengawal yang mengawasi Una.
"Setelah pulang menemui temannya tadi, nona Una hanya berada di apartemen anda, Tuan." Wan memberitahu.
'Apa besok aku harus pasang CCTV di kamar mandi? mana tahu ia pingsan di sana.' Bian melihat layar ponsel cukup lama, Una tidak keluar-keluar dari kamar mandi.
Glek...
Bian menelan salivanya dengan susah, saat rekaman itu memperlihatkan Una keluar dari kamar mandi. Tubuh wanita itu hanya ditutupi handuk. Memperlihatkan pahanya yang putih dan mulus.
'Apa ia akan menggodaku?' Bian melihat Una mengeluarkan hanger baju penggoda iman itu dari dalam lemari. Wanita itu juga mencocokkan ke tubuhnya lalu mencampakkannya ke tempat tidur. Una pun mengambil pakaian yang lain, lalu kembali ke kamar mandi.
Bian senyum-senyum melihat tingkah Una. Wanita itu takut sendiri memakai pakaian seperti itu. Wan dari spion melirik aneh pada Bian yang senyum ke layar ponsel.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Una keluar dari kamar dan terkejut melihat Bian duduk di ruang tamu sambil menonton tv.
"Tu-Tuan, kenapa anda di sini?"
Bian menatapnya aneh. "Apa aku tidak boleh kemari?"
"Anda sudah melanggar perjanjian, Tuan!"
"Maafkan aku. Aku ada masalah di rumah. Bolehkah aku menumpang di sini?" Bian menunjukkan wajah sedihnya.
"Ke-kenapa anda berkata seperti itu. Ini kan apartemen anda, Tuan!"
"Aku lapar."
Tak lama Una menyajikan masakan yang sudah dipelajarinya dari video tutorial. Ia juga mengambil piring lalu diisi nasi dan lauk lainnya.
"Apa kamu tidak merasa kita seperti pasangan suami istri?" Goda Bian menatap wajah cantik itu.
Mendengar pertanyaan Bian, Una tidak jadi menyodorkan piring berisi makanan itu.
"Ini piring anda, Tuan." Una menyerahkan piring kosong saja. Biar pria itu ambil sendiri.
Bian malah mengambil piring berisi makanan milik Una. "Kenapa kamu jadi baper?" Ledek Bian menatap Una dengan wajah setengah mengejek.
"Bagaimana Tuan rasanya?" Una ingin tahu hasil rasa masakannya.
"Biasa saja."
Una melihat Bian melahap masakannya.
"Bagaimana rasanya?" tanya Una kembali.
"Aku bilang biasa saja."
"Jika biasa saja, kenapa anda menghabiskan semuanya?"
Bian pun melihat meja makan, masakan Una sudah habis dilahapnya.
"Kamu sudah memasaknya, akan sangat mubazir jika dibuang." Alasan Bian, padahal ia sebenarnya sangat suka makan masakan Una.
"Tapi aku belum makan, Tuan."
Mulut Bian berhenti mengunyah dan melihat Una. Benar wanita ini belum memakan masakannya dan ia sudah menghabiskan semua.
Tak lama Una tersenyum di ruang tamu. Ia melahap ayam kriuk yang dicocol dengan saus. Karena masakannya ludes dimakan Bian, pria itu menggantinya dengan memesan ayam kriuk.
"Tuan, apa aku bisa bekerja?" tanya Una disela makannya.
Bian menggeleng kepala.
"Aku bosan di sini."
"Apa uang yang kuberi kurang? apa perlu ditambah?"
Una mengkibaskan tangannya tanda tidak perlu.
"Kamu sewaktu-waktu harus berada di sampingku. Jika kamu bekerja itu akan sangat menyusahkan. Kamu bisa bekerja jika perjanjian kita berakhir." ucap Bian.
Una pun diam. "Tuan, apa anda bisa membantuku?"
Bian melirik Una. "Kamu semakin banyak maunya ya!"
"Bu-bukan begitu! Anda sangat kaya dan berkuasa. Pasti anda tidak akan sulit membantuku." ucap Una dengan yakin.
"Bantu apa?" tanya Bian.
"Tolong bantu aku mencari orang tuaku."
Bian pun tampak berpikir. Menurut info dari Wan, Una hanya anak yang ditemukan terdampar di pinggir pantai. Mungkin ia terpisah dari orang tuanya.
"Orang tuaku meninggalkanku karena mereka mengalami kesusahan. Aku ingin tahu kabar mereka dan ingin membantu mereka." Una akan menyerahkan uang hasil tabungan itu untuk membantu kedua orang tuanya.
Saat mulai dewasa, Una mulai mengerti jika ia ditinggalkan bukan karena masalah ia minum susu. Tapi karena kedua orang tuanya terhimpit faktor ekonomi.
"Tuan, tolong bantu aku ya!" Ucap Una mengkedip-kedipkan matanya seolah sedang memohon.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
KASI TAULH NMA ORTU LO KE BIAN..
2023-01-09
0
Mirwani Adwa Azizah
ceritanya bagus.. aku suka.. semangat thor
2022-09-22
1