Hot Couple: Ilham Dari Tuhan (I Love You, Ustadz!)
...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
Namaku Salsabila Azzahra. Orang-orang biasanya memanggilku Salsa atau Bila. Aku tipe gadis dengan dua kepribadian. Di satu sisi, aku orang yang ceria, terlebih di depan teman-teman dan anak-anak didikku. Tetapi, di sisi lain, di rumahku, aku merupakan sosok penyendiri. Aku pribadi yang keras dan pembangkang, tapi sungguh, itu bukanlah sifat asliku. Ada alasan di balik sikapku yang demikian itu.
Berdasarkan hobi, aku menghabiskan waktu luangku dengan cara yang sama sepertimu, seperti kalian semua yang membaca tulisan ini. Aku gemar membaca novel romansa dewasa, bermain game, dan juga menonton drama, tak terkecuali drama dari negara-negara luar. Aku juga menyukai musik. Aku suka mendengarkan lagu di kamarku dengan volume cukup kencang asal suaranya tidak terdengar sampai ke luar rumah. Sebab, aku tinggal di dalam lingkungan pesantren.
Aneh, bukan? Aku, dan kepribadianku, tidak seperti gadis-gadis muslimah lainnya yang hidup dan tumbuh besar di lingkungan pesantren. Sekali lagi, aku punya alasan -- alasan yang kau, bahkan orang tuaku sendiri, tidak mampu mematahkannya.
Yap. Aku masih gadis. Perawan. 24 tahun. Tepat satu bulan yang lalu sudah genap 24 tahun. Masih muda, bukan? Tentu saja itu usia yang masih sangat muda. Tetapi, bagi teman-teman seusiaku, mereka sering kalut karena menganggap itu usia di ambang pintu. Menghampiri usia seperempat abad. Kalau aku, aku tenang-tenang saja dengan usiaku. Aku merasa tidak ada yang perlu dicemaskan dengan angka itu. Aku cenderung cuek. Bagiku angka bukan jaminan kebahagiaan seseorang. Merasa bahagia di usia berapa, itu tergantung si pemilik usia itu sendiri. Jadi, yap, aku merasa enjoy-enjoy saja.
Yang suka rewel itu malah kedua orang tuaku. Terutama ayahku. Kiai Muhammad Siddiq. Abi yang sebenarnya sangat kucintai. Beliau seorang kiai ternama di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Yeah, aku tahu, ayahku bersikap begitu bukannya tidak beralasan. Tapi, karena ia menginginkan aku supaya cepat menikah dan ia ingin memiliki seorang menantu yang notabenenya juga seorang ustadz. Sebab itu ia hendak menjodohkan aku dengan anak temannya sesama kiai. Kenapa? Supaya pesantren yang ia asuh kelak ada penerus yang bisa ia percayai. Tentu, menurutnya itu juga demi kebaikanku. Jika memiliki suami seorang ustadz, tentulah anak gadisnya ini kelak akan dibimbing supaya menjadi pribadi yang salehah. Lebih salehah daripada aku yang sekarang ini.
Tapi aku tidak mau. Aku tidak ingin menikah dengan seorang ustadz. Aku tidak ingin terus hidup di dalam ruang lingkup pesantren. Dan sejujurnya, aku memiliki traumaku sendiri tentang seorang pemuka agama.
Jujur, tak bisa kupungkiri bahwasanya di sekitarku para lelaki kebanyakan membina keluarga dengan cara berpoligami. Seakan-akan itu sudah menjadi tradisi. Memang tidak semua, tapi sebagian besarnya begitu. Termasuk Abi. Sebab itu, aku tidak ingin dijodohkan dengan seorang ustadz. Aku takut jika kelak nasibku akan sama seperti nasib ibuku: yang nampaknya biasa-biasa saja, tapi hatinya mana tahu. Yang kutahu, sejak hidup dipoligami, wanita salehah yang kupanggil umi itu selalu bangun malam lebih awal dan salat malam lebih panjang. Menangis dalam sujudnya.
Oh Tuhan... aku membayangkan diriku seandainya aku bernasib sama: saat aku terbangun di tengah malam, namun suamiku tak ada di sisiku, melainkan ada di sisi perempuan lain.
No!
Betapa buruknya itu. Aku tidak ingin bernasib demikian. Jangan sampai. Jangan sampai hal itu terjadi padaku.
Kuperkenalkan diriku lebih jauh. Aku ini tipe gadis dengan karakter di level medium. Sejak ayahku berpoligami beberapa tahun yang lalu, di mana waktu itu aku baru menginjak usia balig, baru masuk Madrasah Tsanawiyah, jenjang sekolah setingkat SMP, aku mulai menjadi pribadi yang pembangkang. Aku tidak suka atas keputusan yang diambil oleh Abi, apa pun alasannya. Apalagi kalau alasannya hanya karena Umi sakit dan rahimnya diangkat, dan dia tidak bisa memberikan keturunan lagi bagi keluarga kami, aku semakin tidak bisa menerimanya. Sakit hatiku karena keputusan ayahku yang menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih muda. Lebih sakit lagi ketika adikku dari perempuan lain itu lahir ke dunia. Adik pertamaku, perempuan. Usianya sekarang sepuluh tahun, empat belas tahun lebih muda dariku. Dan aku masih punya adik perempuan kedua yang berusia lima tahun. Dan satu lagi, masih calon, baru dua bulan di dalam kandungan ibu tiriku.
Oh, astaga...
Apa salah jika aku menganggap mereka egois? Demi kelangsungan pesantren sampai harus berpoligami untuk mencetak generasi pendakwah yang akan meneruskan perjuangan mereka dalam membela agama Tuhan? Dan, haruskah mereka memaksaku menikah dengan lelaki yang memenuhi kriteria mereka?
Kenapa aku tidak boleh menentukan sendiri jalan hidupku dan memilih sendiri pasangan hidupku? Aku berhak, bukan?
Cara mereka yang demikian egois itu membuatku ingin selalu membangkang. Seperti dulu, keinginan mereka untuk melahirkan keturunan yang saleh dan salehah, malah membuat anak pertama mereka ini justru membelokkan diri dari apa yang mereka harapkan.
"Abi sudah mengizinkanmu memilih jalan hidupmu sendiri. Kamu tidak ingin memilih jurusan pendidikan agama, Abi mengizinkan. Kamu mau sekolah di kota, Abi juga mengizinkan. Tolonglah, Nduk, sekarang kamu yang turuti permintaan Abi. Menikahlah dengan Ustadz Ilham. Ini juga demi kebaikanmu. Abi ini kan sudah tua, Abi butuh orang yang bisa dipercaya untuk membantu Abi mengurusi pesantren."
Haduuuh... puyeng kepalaku mendengar omongan Abi selama satu bulan ini. Tak ada henti-hentinya ia menjejaliku dengan kalimat-kalimat yang bagaikan teror itu. Rasanya aku ingin memundurkan lagi usiaku, seandainya saja bisa.
Argh! Kenapa juga aku berada dalam karakter medium begini? Mestinya, kalau mau nakal dan jadi seorang pembangkang, jangan nanggung. Minggat sekalian!
Tapi aku tidak sanggup menjadi penyebab Umi semakin menderita batinnya kalau aku melakukan hal itu. Aku tidak tega. Umi sudah mulai tua dan mulai mengeluhkan kesehatannya. Tapi aku juga tidak ingin dijodohkan, apalagi dengan seorang ustadz. Kenapa mereka tidak mau mengerti itu?
Lagipula, aku punya seseorang yang kucintai. Mas Imam. Pemilik bengkel yang lokasinya tidak jauh dari SMA tempat aku mengajar. Kami dekat, tapi memang tidak terikat hubungan pacaran. Hanya sebatas tahu sama tahu kalau kami memiliki perasaan yang sama. Mas Imam punya niat baik ingin menikahiku, namun kendalanya cuma satu: restu kedua orang tua kami.
Bukan. Bukan karena orang tuanya tidak menyukaiku. Tetapi, mereka tidak memperbolehkan Mas Imam menikah sebelum kedua kakak lelakinya dan satu kakak perempuannya menikah lebih dulu. Mas Imam anak bungsu dari empat bersaudara. Usianya sekarang 26 tahun, dan aku tidak tahu kapan kakak-kakaknya itu akan menikah. Bisa jadi setahun, dua tahun, atau lebih dari lima tahun. Busyet, usiaku bisa mencapai kepala tiga. Hiks!
Belum lagi kendala berikutnya, tentang restu dari Abi yang juga tidak kunjung kudapatkan.
Sama, Abi bukannya tidak suka pada Mas Imam. Ia tidak membencinya sama sekali. Tapi... alasan ia tak merestui kami adalah: karena dari segi ilmu pengetahuan agamanya, Mas Imam tak sesuai kriteria yang diinginkan oleh Abi. Jangankan untuk berdakwah, mungkin, menjadi imam salat di masjid pun ia tak mumpuni. Tetapi dia lelaki baik. Selama dekat denganku, ia tidak pernah berbuat macam-macam. Bicaranya pun sopan terhadapku.
Oh Tuhan, aku sangat galau....
Tetapi aku takut untuk salat istiqharah. Aku takut membayangkan bahwa Mas Imam bukanlah jodohku.
Aku mencintainya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Ida. Rusmawati.
/Smile/
2024-04-20
1
VERALI
Nyimak
2022-08-26
1
Vera Diani
Nyimak dan mampirr
2022-08-26
1