Tepat pukul 15.00, sebelum suara azan asar berkumandang, Kiai Rahman sekeluarga sudah pamit undur diri. Namun sebelum mereka pergi, aku mesti memberanikan diri untuk membuat janji temu dengan Ustadz Ilham di lain hari.
"Ustadz Ilham," panggilku sewaktu orang-orang hendak menuju pintu keluar.
Pria itu segera berbalik, begitu pula dengan yang lain. "Ya, ada apa, Bila?" tanyanya.
Dengan ragu, aku berkata, "Maaf, bisa bicara berdua sebentar? Ada yang ingin saya sampaikan."
Praktis, wajah Abi dan Umi jadi sekaku batu. Mereka pasti berpikir bahwa aku akan menyampaikan penolakanku pada Ustadz Ilham saat itu juga.
Tenang saja, aku tidak setega itu.
Ustadz Ilham mengedarkan pandang kepada keempat orang tua di ruangan itu. "Boleh Pak Kiai?" tanyanya pada Abi.
Ya ampun... sopan sekali dia.
Abi mengangguk. "Ya," sahutnya. "Silakan."
"Kita berdua saja yang keluar," kataku. "Tidak enak kalau berdua di dalam ruangan."
Semua orang tua itu mengangguk-angguk, membenarkan pendapatku kemudian mereka kembali duduk.
"Ada apa, Salsabila?" tanya Ustadz Ilham saat kami sudah berada di teras depan, duduk di kursi dan saling berhadap-hadapan.
Aku berdeham. "Begini, Ustadz," kataku, masih bingung bagaimana baiknya memulai membuat janji temu itu.
"Ada apa?"
"Emm... itu...."
"Kamu... mau menolak perjodohan ini?"
"Oh, bukan. Bukan itu Ustadz."
"Oh, Alhamdulillah. Saya kira...."
"Eh? Alhamdulillah...? Maksudnya...?"
"Eh, itu... eee... maaf. Maksud saya...."
"Em, tidak usah dibahas, Ustadz."
"Baiklah. Jadi... kamu mau membahas apa?"
"Itu. Em, begini, tadi kan yang banyak mengobrol itu kedua orang tua kita. Jadi... saya rasa kita butuh waktu berdua untuk lebih saling mengenal. Oh, maksud saya... ada banyak hal yang mesti kita bahas, supaya... supaya di antara kita... supaya kita tahu apakah kita cocok, atau... banyak hal yang tidak cocok di antara kita."
Haddeh! Aku pusing sendiri bagaimana merangkai kata-kata itu.
"Maaf, Ustadz. Ustadz jangan salah paham. Tapi, menurut saya, sebelum kita mengambil keputusan penting seperti... tentang pernikahan, kita perlu tahu banyak tentang satu sama lain. Terutama tentang keburukan... maksud saya tentang kekurangan kita, minus kita, bahkan juga tentang cara pandang kita terhadap sesuatu. Saya perlu tahu banyak tentang Ustadz Ilham. Dan begitu juga sebaliknya. Ustadz Ilham mesti tahu banyak juga tentang... keburukan-keburukan saya. bagaimana keseharian saya, dan... banyak hal lain. Ustadz paham, kan, maksud saya?"
Sungguh dia berjiwa tenang. Dia membiarkan saja aku menyerocos panjang sementara ia hanya menyimak omonganku baik-baik. "Saya paham," katanya kemudian. "Jadi, kamu mau kita mengobrol lagi di lain waktu?"
"Iya, Ustadz. Kalau Ustadz Ilham tidak keberatan tentunya. Dengan begitu, setelah kita mengobrol dan saling mengenal lebih jauh, kita bisa mengambil keputusan untuk menerima atau menolak perjodohan ini. Maaf, lo, Ustadz, saya tidak bermaksud apa-apa atau menyalahi aturan perjodohan atau pernikahan yang biasanya diterapkan oleh... Ustadz mengertilah maksud saya. Intinya, saya ini tidak mau menerima kekurangan pasangan yang tidak saya ketahui sebelum saya menikah dengannya. Ini maksud saya dalam hal-hal besar. Hal-hal yang bersifat fatal kalau diketahui belakangan setelah kita menikah. Dan, saya ingin menikah dengan orang yang bisa menerima saya apa adanya. Termasuk segala kekurangan-kekurangan saya. Begitu Ustadz."
Lagi, dia mendengarkan cerocosanku tanpa bantah. "Baiklah. Saya paham. Sekarang lebih baik kamu masuk. Mungkin kamu haus, minum gih!" candanya dengan sedikit terkekeh. "Nanti saya minta nomor ponselmu dari Umi, supaya kita bisa menentukan kapan kita bisa meluangkan waktu untuk saling mengenal lebih jauh. Boleh, kan?"
"Boleh, boleh. Nanti biar saya saja yang memberitahukan kepada Umi."
Ustadz Ilham mengangguk setuju. "Ya sudah, kamu masuk, ya. Saya mau pamit pulang."
"Baiklah, Ustadz." Aku berbalik.
"Bila."
"Ya?" Aku kembali membalik badan.
"Assalamu'alaikum."
"Oh," aku tertegun. "Wa'alaikumussalam, Ustadz." Aku tersenyum tipis kepadanya.
Sewaktu aku meninggalkannya di teras, aku menoleh ke belakang dengan gerakan cepat. Ustadz Ilham kembali menyunggingkan senyum hangat kepadaku. Dia memang sosok yang mempesona.
Sikap manisnya itu bisa membuatku sungguh ingin mempertimbangkan perjodohan ini....
Ah, andai hatiku tak terpaut lebih dulu pada Mas Imam, pastilah aku bisa dengan mudah jatuh cinta pada Ustadz Ilham yang memiliki kesempurnaan fisik dan sikap itu.
Tapi dia seorang ustadz....
"Bagaimana, Nduk?" suara Umi mengagetkan aku yang tengah berdiri di balik jendela, mengintip orang-orang yang masih berbasa-basi sedikit di dekat mobil Kiai Rahman.
Aku tersenyum sambil memain-mainkan gelas kosong di tanganku. Aku baru saja minum karena cerocosanku tadi, atau karena disuruh oleh Pak Ustadz? Eh?
"Dia sempurna, Umi," kataku. "Tapi sayang dia seorang ustadz."
Lagipula, aku juga belum mengenal pribadi Ustadz Ilham dengan baik. Siapa tahu, pandangan Ustadz Ilham mengenai poligami tak jauh berbeda dari pandangan Abi. Meskipun, ada kemungkinan dia juga tipe lelaki setia yang hanya akan mencintai dan menikahi satu perempuan. Namun, who knows?
Umi mengembuskan napas. "Seperti yang sering Umi sampaikan padamu, sebagai perempuan, kita mesti mencoba ikhlas menerima semuanya, baik yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan."
Ikhlas? Sudah berapa kali aku mendengar kata itu keluar dari mulut Umi perihal poligami itu? Tapi itu hal yang mustahil. Mana mungkin seorang wanita ikhlas seratus persen? Hanya Tuhan-lah yang tahu.
"Aku tidak akan bisa ikhlas kalau itu terjadi padaku, Umi. Pokoknya aku akan bertanya pada Ustadz Ilham bagaimana pandangannya tentang poligami. Dan kalau dia...."
Umi mengangguk-angguk. "Ya, ya, tanyakan. Umi percaya kamu bisa menyampaikan ini dengan baik pada Nak Ilham."
Yap, semua itu tergantung pada orangnya, kan?
Aku baru saja masuk ke kamarku dan berganti pakaian ketika ponselku berdenting. Ada pesan whatsapp masuk.
》 Assalamu'alaikum....
Dari siapa? tanyaku pada diri sendiri.
》 Ini saya. Ilham.
Oh, aku terkejut.
》 Maaf, sudah lancang, tadi saya meminta kontakmu langsung kepada Umi.
Semua conteng dua di layar ponsel Ustadz Ilham pasti sudah menghijau. Aku merasa tidak enak kalau aku tidak langsung membalas whatsapp darinya. Jadi, ya sudahlah, aku langsung membalas pesan itu.
《 Wa'alaikumussalam. Iya, Ustadz, tidak apa-apa. Saya akan menyimpan kontak Ustadz.
》 Alhamdulillah. Terima kasih, Salsabila. Oh ya, besok saya ada waktu luang sekitar jam sebelas siang. Apa kamu ada waktu luang di jam yang sama? Barangkali kita bisa sekalian makan siang? Saya antusias untuk mengobrol banyak denganmu. Entah kenapa saya merasa kamu seperti banyak menyimpan pertanyaan di benakmu. Maaf kalau saya salah.
Dia benar. Dan aku jadi tersenyum sendiri dibuatnya. Tadinya kukira dia akan bersikap kaku seperti kebanyakan ustadz-ustadz yang diperankan di dalam film religi. Ternyata tidak, dia orangnya... ya begitu deh. Bisa dibilang, dia bisa bersikap sepenuhnya sebagai teman yang ramah dan asyik. Teman baru yang bisa membawa diri supaya orang tidak merasa bahwa dia sosok pria yang tidak asyik, kaku, dan membosankan, apalagi sok, sombong, ataupun angkuh. Dia sama sekali tidak begitu.
Ustadz Ilham Akbar. Pria 28 tahun itu sungguh mempesona.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
jangan senang dulu Bila... pria di manapun akan bersikap seperti itu ketika ingin mendapatkan sesuatu. kita lihat saja
2023-11-16
0
Luthfi Natasa
bila jatuh cinta pada pandangan pertama
2022-06-26
2
Wirda Aceh
hhhh GK mau dngan ustaz katanya😅😅
2022-05-13
2