"Sudah, sudah, jangan meledekku seperti itu," protesnya. Pesanan bakso dan es dawet kami pun datang. "Mending kita mulai apa saja yang mau kita bahas. Oke?"
Aku mengangguk seraya mencicipi es dawetku. Rasa dinginnya menyegarkan tenggorokan. "Boleh, silakan."
"Dimulai dari?"
"Terserah kamu. Kan kamu yang punya jawaban."
"Oke. Kalau begitu kita mulai dari hobimu. Memangnya hobimu apa saja? Baca novel dewasa seperti kemarin? Nonton drama? Jalan-jalan?"
"Ya, semuanya. Semua yang menyenangkan. Termasuk mendengar lagu sampai volumenya super kencang. Dan... juga jalan-jalan. Ke pantai gitu. Hobi yang pada umumnya digemari para gadis modern, ya kan? Jadi bagaimana? Apa itu bertentangan dengan cara pandangmu, dan caramu menjalani hidup?"
Senyum Ustadz Ilham mengembang. Manis sekali. "Aku mau memberitahumu sedikit tentangku," katanya. "Percaya atau tidak, aku ini bukan tipe orang yang suka melarang-larang atau mengharam-haramkan sesuatu. Selagi tidak mengandung hal-hal yang mudharat, aku welcome dengan semua hal."
Sesungguhnya, secara garis besar aku mengerti maksudnya, tapi tidak secara mendetail. Aku tidak bisa membaca hatinya. "Ehm, bisa Mas Ilham jelaskan secara terperinci?" tanyaku kemudian.
"Begini," katanya, "kita mulai dengan mendengar musik. Menurut pandanganku, itu boleh, asal benar kegunaannya, benar waktunya, dan benar mengkondisikannya. Misal... kamu melakukan itu untuk menghibur diri sendiri, silakan. Tetapi... volumenya diatur... jangan sampai membuatmu jadi tidak bisa mendengar ketika seseorang memanggilmu. Jangan sampai membuatmu melalaikan apa yang mestinya kamu prioritaskan, misalnya salat, mengaji, makan, mandi, dan lain-lain. Terus, jangan sampai volume kerasnya mengganggu tetangga. Mana tahu, mungkin di rumah tetangga kita ada yang sakit, ada yang punya bayi, ada yang tidak suka mendengar musiknya, dan lain-lain. Kalau itu memang hobimu, maka silakan, dengarlah lagu itu untuk dirimu sendiri, dan jangan menyebabkan kemudharatan bagi dirimu sendiri, apalagi bagi orang lain. Jadi, intinya boleh. Asal, ya itu tadi. Paham?"
Aku mengangguk. Aku paham maksud penuturannya. "Bagaimana dengan orang yang melakukan konser di tempat terbuka? Apa hukumnya menurut pandanganmu?"
Lagi. Senyumnya mengembang dengan hangat. "Zahra...," katanya lembut. "We talk about you. Kita membicarakan tentangmu, tentang dirimu, tentang hobimu, dan tentang cara pandangku mengenai hobimu itu. Tidak perlu kita membahas hal-hal yang demikian yang menyangkut banyak orang. Bicara tentang hal-hal besar, maka tanggung jawabnya besar pula, iya kan? Dan seperti kataku tadi, aku bukanlah seorang pribadi yang akan mengharam-haramkan sesuatu. Biarkan halal-haram itu menjadi keputusan Allah. Meskipun aku dicap sebagai orang yang cemen atau seorang hamba yang tak berani menegakkan agama hanya karena tidak bisa tegas mengatakan ini haram dan itu halal, biarlah. Allah tahu aku tidak mampu menjadi bagian dari orang-orang yang demikian. Kan aku sudah bilang, aku bukanlah ustadz. Aku hanya seorang guru. Kamu bisa menerima jawabanku?"
Aku balas tersenyum, dan bahkan menahan tawa. "Iya, iya. Aku mengerti. Lagipula, memangnya siapa aku sampai berhak menolak jawabanmu?"
"Well, itu berarti semua jawabanku diterima dan tidak akan ada yang ditolak? Aku dipastikan lulus uji, kan?"
Hah!
Dasar, dia pintar sekali mengambil celah. "Bukan berarti begitu juga, Mas Ilham. Ngapain ditanya kalau tidak perlu dinilai dan langsung lulus uji?"
Dia ikut tertawa. "Baiklah," katanya. "Sekarang tentang drama dan novel itu. Kita nilai dulu itu dari sudut pandang sebagai hobi. Sama seperti musik, jangan sampai hobi itu membuatmu larut dan melalaikan hal-hal yang menjadi prioritas utama sehingga menjadikan hobi itu mengandung kemudharatan. Paham, kan? Sekarang kita kaji hal itu lebih dalam, kita bahas ke intinya, ke ranah yang diperuntukkan bagi kaum dewasa dan dari nilai mudharatnya. Sejujurnya, maaf, maksudku dari sudut pandangku, itu tergantung cerita yang ditulis di dalam kisah yang kamu baca, atau adegan yang diperankan oleh aktris dan aktornya jika itu berupa film atau video. Kalau lebih ke arah maksiat, maka lebih baik tidak usah diteruskan. Jangan dibaca dan jangan ditonton, atau diskip bagian itu, atau cari bacaan dan tontonan lain. Kenapa? Karena takutnya bagian itu membuat si pembaca atau si penonton tidak bisa mengontrol diri dan ingin mempraktikkan apa yang dia baca atau ia tonton, padahal... dia masih single. Kan berbahaya kalau terjadi seperti itu. Dan... sebaiknya tidak usah ditonton kalau itu berupa video. Sebab, kamu melihat aurat seseorang. Dosa. Mending melihat, maaf -- aurat suami sendiri, ya kan? Tapi... kalau kamu suka, asalkan itu tidak mengganggu kejiwaanmu, oke... silakan. Kalau saya sudah menjadi suamimu, saya akan rela menanggung dosanya. Dan semoga, suatu saat, hobi itu akan hilang dengan sendirinya. Segala sesuatu itu butuh proses, bukan? Jadi kesimpulannya, monggo. Tapi tetap, semoga ada proses pemberhentian. Untuk yang bacaan, itu masih mending, masih cukup bisa ditolerir. Tapi, kalau tontonan, sebaiknya segera dihentikan kalau itu berupa adegan yang mempertontonkan aurat seseorang. Paham, Zahra?"
Aku mengangguk, lalu menunduk. Poinku saat ini malah lebih tertaut pada sikap Ustadz Ilham ketimbang pada penuturan jawabannya. Dan aku mengerti sikap yang ia tunjukkan itu. Ia ingin menghadapiku dengan sabar. Dengan kelembutan. Bukan seperti seseorang yang memaksa untuk membengkokkan kayu, dan akhirnya justru membuat kayu itu menjadi patah.
Apa benar sikap aslinya seperti itu? Atau ia hanya berusaha keras untuk itu? Memaksakan diri, mungkin?
Ah, andaikan benar... beruntungnya aku jika aku menjadi istrinya.
"Bisa dilanjut? Kita bahas tentang hobi jalan-jalanmu, ya. Emm... ke mana? Ke pantai? Pantai mana? Bali? Lombok? Atau tidak jauh-jauh dari Pulau Jawa ini?"
Wajah Ustadz Ilham mesem-mesem, sementara aku malah jadi mengangguk malu.
"Bisa kali, Sayang, ke pantai yang rada sepi."
"Eh?" aku tertegun sendiri mendengar ia menyebutku Sayang.
"Kenapa? Tidak boleh panggil sayang?" Senyumnya semakin mengembang. "Boleh, kan?"
"Tidak boleh. Nope!" tolakku. "Aku hanya ingin suamiku nanti yang memanggilku sayang."
"Ya sudah... aku panggil sayangnya nanti kalau kita sudah menikah. Aku akan menunggumu."
"Euw! Bercandanya tidak lucu, Mas...." Tapi aku terkekeh. Dia berhasil membuat hatiku kembang kempis dan tertawa bahagia.
"Intinya begini," katanya melanjutkan, "ke pantai boleh, ke mana pun juga boleh. Tapi... kalau bisa, ya, perginya ke pantai yang bagus pemandangannya secara alamnya dan bagus bagi mata yang mesti dijaga. Bukannya sebaik-baiknya seorang muslim itu ialah mereka yang bisa menjaga pandangannya? Iya, kan? Kan masih ada banyak pantai yang masih sepi dan jauh dari... semacam bikini buttom yang berseliweran, dan tentunya bisa dijadikan sebagai destinasi untuk kita berbulan madu. Iya, kan, Zahra?"
O-ow....
Tawaku pecah lagi. Ingin kucubit rasanya dia yang suka sekali menghiburku dengan cara seperti itu. Atau justru untuk menarik perhatianku? Atau dia memang serius dalam segala ucapannya itu? Entahlah.
"So, what? Apa lagi? Kita kesampingkan dulu soal bulan madu kita, ya. Kita bahas tentang kebiasaanmu dulu. Apa saja itu?"
Aku menggeleng. "Tidak usah dibahas lagi, deh. Soal kebiasaanku, kalau kamu tidak suka, inshaallah aku bisa menatanya. Akan kurubah."
"Aamiin... aku percaya kamu bisa menjadi istri yang baik untukku."
Ya Tuhan... kututup mulutku dengan telapak tangan. "Ini memang aslinya kamu, ya? Kepribadianmu memang seperti ini? Hmm?"
"No, aku tidak seperti ini, Zahra. Tapi aku bisa menjadi apa pun yang kamu mau. Seperti apa pun yang kamu pinta. Dan aku bisa menjadi suami yang terbaik untukmu. Hanya untukmu, dalam kesetiaanku."
Oooh... so sweet....
Jantungku berdegup dengan kencang.
Ah, Mas Ilham....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
yakin.. nggak cuma modus ? nggak hanya pencitraan saja demi mendapatkan Zahra ???
2023-11-16
0
VERALI
Mas Ilham aku padamu 😘😘😘
2022-08-26
1
Kurnieya
bleh minta suami 1 aja kyk mas ilham😁😁😁😁
2022-05-17
1