Sejak pembangkanganku terhadap Abi, aku menyetir diriku dan pola pikirku sepenuhnya ke arah kehidupan era modern. Aku tak lagi mempelajari kitab, dan sebaliknya, aku melingkupi keseharianku dengan buku-buku dan segala hal tentang fiksi. Dan sekarang, sebagai pecinta fiksi modern, aku menjelma dari gadis yang mempelajari ilmu agama menjadi gadis yang memiliki fantasi liar. Tak luput dari saat ini, di depan Ustadz Ilham, aku memandanginya -- bahkan tak menjaga pandanganku.
Yeah, Ustadz Ilham yang gagah dan tampan. Melihat brewok tebal di rahangnya membuat pikiranku terbang tinggi ke nirwana: bagaimana saat dia mencumbu seputar leherku dan bulu-bulu itu membelai kulit sensitifku? Dan, bentuk tubuh dan otot-otot di lengannya yang menjanjikan kekuatan dan kekekaran, akankah lelaki semacam dia yang alim itu akan menggunakan otot-otot itu untuk menyenangkan pasangan halalnya? Akankah jari-jemarinya itu aktif di saat kami bercinta?
Hmm... sebelum terlalu dalam, aku bahkan bertanya: bagaimana seorang alim bercinta? Apa mereka menggunakan bibirnya untuk berciuman bibir dengan bibir? Dan selebihnya, apa bibir itu akan menjelajahi bagian lainnya? Mengisa* dan menyesa* pasangan halalnya hingga merah? Lalu, lidahnya, akankan ia akan menggelitik dan liar? Sungguh aku tak pernah tahu bagaimana seorang alim mencintai pasangannya dalam hal kemesraan di atas ranjang. Tak pernah aku membaca hal yang demikian, apalagi menontonnya. Tak akan pernah ada suguhan cerita religi ataupun film religi yang akan menjelaskan hal-hal seperti itu. Bahkan, dari dunia vlog dan youtube pun, para youtuber yang nampak alim, pasangan berpeci dan berjilbab, mereka tak mampu memberi keterangan yang "memuaskan" tentang kebenaran akan halalnya kemesraan di level itu. Sementara pembahasan gaya bercinta yang kita jumpai di berbagai media justru lebih banyak menimbulkan pro dan kontra. Ada yang mengatakan boleh, dan ada pula yang mengatakan tidak boleh. Ada yang terang-terangan mengharamkan ketika mulut bertemu dengan... kau tahulah maksudku.
Dan sekarang, aku -- yang sudah terlanjur tumbuh dewasa dan terbentuk dengan jalan pikiranku sendiri, yang memiliki fantasi liar, yang menginginkan pasangan yang akan sama gilanya denganku saat kami bercinta, tiba-tiba dijodohkan dengan seorang ustadz alim yang -- aku tidak tahu apa dia bisa mewujudkan fantasi liarku, ataukah dia justru termasuk golongan alim ulama yang mengharamkan hal-hal itu?
Bagaimana aku bisa tahu? Apa etis jika aku bertanya langsung padanya? Tapi...
Meski aku pembangkang dan keras kepala, tapi fitrah tetaplah fitrah. Aku perempuan, sedang di depanku adalah pemuda yang walau katanya dia bukanlah penyiar agama dari masjid ke masjid, tetap saja, dia seorang alim.
"Zahra?"
"Ya?"
"Kenapa? Masih ada hal yang mengganjal di hatimu? Kalau masih ada, katakan saja. Please?"
Aku menggeleng. "Bukan sesuatu yang mengganjal," kataku.
"Lalu, apa yang membuatmu diam? Ada yang kamu pikirkan sampai-sampai mangkuk baksomu masih banyak isinya?"
Ustadz Ilham tersenyum tipis, lalu mendorong mangkuk baksonya yang sudah kosong.
"Maaf, Mas... aku...."
"Masih ada pertanyaan yang ingin kamu sampaikan?"
"Yeah." Aku mengangguk. "Tapi aku tidak tahu bagaimana mesti menyampaikannya."
"Kenapa? Memangnya apa yang mau kamu tanyakan? Terlalu pribadi, atau apa? Tanyakan saja."
Aku menggeleng. Tapi, kalau tidak kutanyakan, aku akan terus ragu bagaimana jika kami tak sepemahaman? Aku bingung.
Memang, sebaik-baiknya istri adalah ia yang menuruti perintah suami. Kalau suami tak sependapat dan memerintahkan untuk taat pada perintahnya, maka sebaiknya istri menurut. Dan itulah yang kutakutkan. Aku ini pembangkang dan keras kepala. Jika kelak saat Ustadz Ilham sudah menjadi suamiku, dan pemahamannya tak sesuai denganku, aku takut aku akan membangkang padanya, sebagaimana aku membangkang pada Abi dan Umi.
Bukankah bagus jika aku sudah tahu bagaimana pandangannya dari awal tentang hal itu?
Mungkin, mungkin tidak salah. Ini bukan hal yang remeh meski bukan hal yang etis untuk dibahas sebelum menikah. Tapi aku mesti tahu seberapa cocok kami untuk menjadi sepasang kekasih yang halal.
Iya, kan?
Lagipula, di luar sana, ada banyak kasus perceraian, lebih parahnya, ada banyak kasus perselingkuhan hanya karena pasangan yang tak memuaskan kebutuhan batin pasangannya. Jangankan untuk sampai ke akhir yang mengerikan itu, untuk mengeluhkannnya saja aku tidak ingin.
Tuhan tahu, aku menginginkan pasangan yang bisa saling mengerti satu sama lain. Tidak hanya tentang perasaan dan kesetiaan, tapi juga pada urusan hasrat. Yang apabila ketiga poin itu semuanya terpenuhi, aku yakin, hubungan akan selalu terjaga dalam keharmonisan. Terpelihara dari mudharatnya perceraian. Perihal ekonomi, aku percaya, Tuhan akan membantu bagi siapa pun yang mau berusaha. Tapi tentang hasratku, aku takut kami berbeda. Sebabnya, dia seorang alim.
"Tulis saja pertanyaanmu jika kamu tidak bisa menyampaikannya langsung. Aku akan menjawab apa pun yang ingin kamu ketahui."
Kepalang basah. Daripada menggantungkan keraguan, lebih baik kutanyakan saja.
"Baiklah," kataku. "Tapi jangan dibaca selagi aku belum selesai menulisnya. Oke?"
Dia mengangguk. Kukeluarkan buku kecil dari dalam tasku dan sebuah pulpen. Aku menuliskan pertanyaanku.
Aku gadis biasa, dengan pola pikir biasa. Aku mencintai dunia fiksi yang membentuk suatu imajinasi liar di dalam pikiranku: tentang dunia percintaan yang lumrah terjadi dan aku tidak tahu akan halal dan haramnya dari sudut pandang agama. Namun, walau demikian aku memimpikannya: seorang pasangan yang mampu mewujudkan fantasi liarku. Bukan sekadar menunaikan kewajiban atas nafkah batin dan kita (maaf) bersetubuh. Tetapi, lebih dari itu. Sesuatu yang lebih. Sesuatu yang liar. (Maaf) Bercinta dengan penuh gairah. Dan, sungguh aku menginginkan seorang pasangan yang tak mengharamkan "gairah dan keliaran" itu.
Bagaimana pandangan Mas Ilham mengenai hal ini?
Dengan ragu, aku menyodorkan bukuku ke arahnya. "Berjanjilah kalau ini hanya di antara kita berdua. Meskipun kita tidak berjodoh, tolong jangan jadikan ini sebagai aib yang akan menyebar ke mana-mana."
Ustadz Ilham mengangguk. "Percaya padaku, Zahra. Aku bukan pemuda berengsek yang akan merusak citramu sebagai seorang wanita, apalagi mempermalukan Umi dan Abi."
"Aku percaya," kataku.
Dan... aku mendadak gelisah saat Ustadz Ilham membacanya.
"Maaf, Mas." Aku menundukkan pandangan.
Lalu, sejenak kemudian...
"Zahra, boleh pinjam pulpennya?"
Kusodorkan, lalu hatiku malah berdegup-degup lebih kencang. Apa yang akan ia tuliskan? Ya Tuhan....
Selesai. Ustadz Ilham sudah menuliskan jawabannya. Dan ia tersenyum ketika mengembalikan buku itu kepadaku.
Aku lelaki biasa. Aku bukan golongan orang yang pandai mengharam-haramkan sesuatu, sebab, aku sendiri tak memiliki pengetahuan setinggi ilmu pengetahuan para nabi dan rasul-Nya. Tapi aku percaya, dari sudut pandangku, sesuatu yang tak haram bagiku dan tak najis untuk kusentuh, maka aku percaya atas kehalalannya.
Terima kasih sudah mengutarakan isi hatimu.
I love you.
Ilham.
Demi Tuhan, aku meleleh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
wkwk...ditembak nih
2023-11-16
0
Afternoon Honey
aku pun yg membacanya ikut meleleh nih.... 😍
2023-08-19
0
VERALI
Aku jg meleleh Mas Ilham..I love you too 😂🤣🤭🤭😘😘😍😍
2022-08-26
1