Keesokan harinya, pagi mulai menampakkan diri ditemani mentari yang memunculkan pancaran panasnya sedikit-sedikit. Aku sudah siap dengan seragam mengajarku dan lekas berpamitan pada Umi. Aku juga menyampaikan kepadanya bahwa aku dan Ustadz Ilham sudah membuat janji temu siang nanti.
Umi tersenyum ceria. Dia sudah tahu katanya. "Semalam Nak Ilham sudah meminta izin pada Abi. Jadi Abi dan Umi sudah tahu."
Aku hanya mengembangkan senyum karena lagi-lagi aku melihat sirat penuh harap di wajah Umi.
"Dia lelaki baik. Dia tahu bagaimana cara menghargai seorang gadis dan menghargai kedua orang tuanya. Dengan meminta izin kepada Abi, artinya Nak Ilham sadar betul bahwa kamu itu merupakan tanggung jawab Abi dan tidak boleh diajak bertemu tanpa sepengetahuan orang tuamu."
Kata-kata Umi menohokku dengan telak. Seperti sindiran bahwa cara Mas Imam selama ini tidak sesuai dengan yang seharusnya. Kami bertemu di luar dan tak pernah sekali pun meminta izin dulu kepada Abi.
Yeah, aku menyadari, sudah dewasa bukan berarti aku bebas ke mana dan bertemu siapa tanpa sepengetahuan dan izin dari Abi. Sebab, selagi aku belum bersuami, tanggung jawab atas diriku seratus persen masih di pundak Abi. Itulah hakikatnya seorang anak perempuan jika ia memiliki orang-orang dalam ruang lingkup mahramnya. Dan aku tahu, itu patut disyukuri. Ada banyak orang yang tak memiliki ayah dan ibu, saudara laki-laki, atau belum bersuami, dan hidup tunggal untuk dirinya sendiri. Aku patut bersyukur.
Ah, Abi. Andai saja dia tak pernah menyakiti hatiku dengan keputusan poligaminya.
Sudahlah, Bil. Yang penting, berjuanglah untuk masa depanmu supaya tak bernasib sama. Perempuan tak boleh lemah dan iya iya saja saat suami hendak mendua. Perempuan punya hak untuk bersuara, bahkan menolak. Masa lalu Umi bukan masa depanmu.
Pagi ini aku hanya mengajar dua jam pelajaran. Jam setengah sebelas waktu mengajarku telah usai. Aku segera bergegas melajukan motor ke sebuah rumah makan sederhana tak jauh dari sekolah tempatku mengajar, tempat aku dan Ustadz Ilham akan meluangkan waktu untuk bertemu. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke rumah makan itu jika aku melajukan motorku dengan santai.
Di dalam, suasananya masih sepi karena belum jam makan siang. Sambil menunggu, aku memesan jus alpukat, dan membaca novel romansa modern selagi Ustadz Ilham belum sampai. Tidak ada istilah menunggu adalah pekerjaan yang membosankan, asal menggunakan waktu itu untuk hal-hal yang menyenangkan. Begitulah prinsipku.
Dua puluh menit berlalu.
"Assalamua'laikum."
Aku spontan menutup bukuku ketika mendengar suara salam dari arah samping, suara yang sudah kukenal.
"Wa'alaikumussalam, Ustadz. Silakan duduk."
Ustadz Ilham mengembangkan senyum. Baru sehari aku melihat senyuman itu, tapi aku sudah menyukainya. Ia memiliki tipe senyuman tulus dan menyenangkan.
Dan, tadinya aku ingin menyimpan novelku ke dalam tas, tapi tidak jadi. Sengaja kutaruh novel itu di atas meja dan membiarkan Ustadz Ilham melirik ke arah buku itu. Dari judulnya saja jelas-jelas itu novel khusus dewasa, dan, sama sekali bukan novel religi. Kurasa semua pecinta novel roman tahu persis kalau novel-novel semacam itu pastilah menyajikan cerita panas, minimal adegan berciuman, bahkan lebih dari itu.
Ustadz Ilham melirik novel itu, lalu ia tersenyum. "Sudah jam sebelas. Mau pesan makan sekarang?" tanyanya.
Lagi-lagi aku terkesima, seolah tak percaya dengan pemandangan di hadapanku. Pembawaan Ustadz Ilham yang sangat tenang dan santai membuatku mengatakan bahwa: dia benar-benar seperti lelaki biasa, bukan seorang pria alim seperti yang disajikan di dalam film atau sinetron, yang terlalu menjaga pandangan, bahkan bicara saja tak berani memandang. Bukan seperti itu. Tapi tetap, dia memandang dengan penuh kesopanan.
Aku mengangguk, mengiyakan pertanyaannya. Dia memesan nasi dengan ikan bakar dan es teh manis, lalu menanyaiku. Kuputuskan memilih pesanan yang sama supaya lebih praktis.
Saat itu aku masih menyimpan tanya di hati -- kira-kira bagaimana respons Ustadz Ilham saat aku mengutarakan segala sesuatu tentangku secara terang-terangan? Secara gamblang?
"Jadi, kira-kira, apa yang ingin kamu bahas? Maksud saya, apa yang akan kita obrolkan?"
Keningku mengernyit, lalu menggeleng. "Saya tidak tahu bagaimana mesti memulai obrolan ini," kataku. Aku pun menunduk, meraih novelku dan menatap judul dewasanya.
Mendadak aku merasa kikuk. Keringat dingin sedikit demi sedikit mulai menitik dari pori-pori kulit wajahku. Aku mendadak merasa kehilangan keberanian untuk mengucapkan kalimat-kalimat dan pertanyaan-pertanyaan yang telah kurancang sejak semalam, bahkan untuk tersenyum sekalipun.
"Halo... Salsabila. Ilham memanggil."
Deg!
Ada sesuatu yang menggetarkan hatiku ketika Ustadz Ilham mengatakan itu. Ilham memanggil.
"Bukankah Ilham itu datang? Dan bukannya memanggil?"
Terlalu dalam.
Ustadz Ilham lagi-lagi tersenyum kepadaku. "Baiklah. Ilham sudah datang, kepadamu, Salsabila Azzahra binti Muhammad Siddiq."
Hah?
Aku melongo, menyadari ada sesuatu yang aneh menyusup ke dalam hatiku. Pipiku terasa panas, bahkan tak pernah sepanas ini jika di depan Mas Imam.
Ada apa denganku?
Aku beristighfar di dalam hati.
Sebenarnya, kalau kucerna lagi, tidak ada yang salah dari kalimatnya. Ilham, Ustadz Ilham, dia sudah datang untuk menemuiku, Salsabila Azzahra, dan Muhammad Siddiq adalah nama ayahku. Tapi sesuatu di dalam diriku, tak mampu menolak makna tersirat dari satu baris kalimat yang pendek itu.
Tenanglah, Salsabila. Jika kau tidak tenang, bahkan kau tak akan bisa bertanya apa pun kepadanya.
Aku menghela napas dalam-dalam. Untunglah di saat itu pelayan menghampiri, membawakan es teh manis ke meja kami, berikut nasi dan lalapan. Perlu beberapa menit untuk menunggu ikan bakarnya matang dan disajikan.
"Mungkin sebaiknya kita minum dulu, Ustadz."
Argh! Aku mendadak merasa gugup.
"Emm... boleh tidak, jangan panggil saya ustadz?"
"Lo? Kenapa?" tanyaku spontan. "Bukannya... oh, atau mau dipanggil Gus? Gus Ilham?"
"Bukan. Maksud saya panggilan lain. Jangan bawa status saya sebagai tenaga pendidik, atau status saya sebagai anak seorang kiai."
Huh! Dia meresahkan hatiku. Aku berusaha keras untuk bersikap tenang dan menyembunyikan semburat merah yang hendak menghiasi pipiku. "Lalu, saya mesti memanggil apa?"
"Emm... mungkin dengan panggilan mas misalnya?"
Mata dan mulutku sama-sama membulat. "Mas?"
"Ya, Mas Ilham, kalau kamu tidak keberatan."
"Oh, ya, eh... baiklah, Mas Ilham. Tentu, saya tidak keberatan."
"Terima kasih," ucapnya seraya tersenyum. "Nah, sekarang, boleh saya memanggilmu Zahra?"
Sungguh, dia membuat keningku mengernyit. "Ustadz tidak suka... maaf, maksud saya, Mas Ilham tidak suka dengan nama Salsabila? Kan artinya bagus. Mata air surga."
"Bagus, kok. Bagus sekali malah. Tapi semua orang memanggilmu seperti itu."
Jadi? pertanyaan itu tak terlontar.
"Saya ingin memanggilmu Zahra. Panggilan khusus. Boleh?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
hemm...modus
2023-11-16
0
Afternoon Honey
aish so sweet ada panggilan sayang dan khusus... Zahra... 💖
2023-08-19
0
fa_zhra
nggih ustadz,saya zahra🤭🤭
2023-02-10
1